Mohon tunggu...
marink
marink Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apapun Risikonya, Ahok Harus Lolos!

12 Desember 2016   12:27 Diperbarui: 12 Desember 2016   12:55 2248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada bulan Januari 1965, Bung Karno mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Potongan dari dokumen tersebut dapat dilihat pada gambar di atas. Dapat dilihat pada Pasal 1 regulasi tersebut, Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia..

Bung Karno sebagai pimpinan tertinggi hukum di Indonesia saat itu telah menyatakan seperti ditulis di bagian menimbang, bahwa demi mengamankan “Negara dan masyarakat,cita-cita Revolusi Nasional..” dirinya menetapkan Penpres No. 1/1965.Sebagai Pemerintahan yang menetapkan dirinya sebagai penerus Revolusi Mental Nasional sesuai ajaran Bung karno, maka Jokowi seharusnya mendukung proses hukum yang seadil-adilnya dalam kasus Ahok.

Seperti kita ketahui, Kejaksaan Agung sebagai institusi hukum yang seharusnya dapat menuntut seberat-beratnya Ahok dalam kasus penistaan/penodaan agama, malah dipimpin oleh seorang partisan. HM Prasetyo, Jaksa Agung, berasal dari parpol pendukung Ahok. Maka, untuk menjamin terselenggaranya proses hukum yang adil, sudah selayaknya Prasetyo dicopot.

Karena bila tidak dicopot, Kejaksaan dapat saja melakukan melemahkan materi tuntutan sehingga mudah dipatahkan oleh pengacara Ahok. Pelemahan ini dimungkinkan ketika komposisi Jaksa penuntut dalam Persidangan Ahok juga diisi oleh jaksa yang beragama sama dengan agama Ahok. Dalam kasus penodaan Agama, seharusnya konflik kepentingan semacam ini tidak diperbolehkan. Seluruh jaksa setidaknya dipilih dari mereka yang beragama sesuai agama yang dirugikan oleh pernyataan Ahok.

Selain itu juga dapat saja Kejaksaan mentolerir permintaan pengacara Ahok untuk mengulur-ulur waktu persidangan, misalnya menjadi dilangsungkan setiap bulan. Sedangkan tahap kampanye sudah akan berakhir pada Februari 2017. Akibatnya adalah Ahok dapat mengikuti tahapan pencoblosan, sementara proses hukum kasus penistaan Agama belum selesai.

Padahal seharusnya proses peradilan terus dipercepat mengingat kemendesakan kasus ini. Di kalangan kelompok radikal kabarnya sudah berhembus akan membuat situasi chaos bila penanganan kasus Ahok lamban. Demi Keamanan Nasional, seharusnya percepatan proses pengadilan menjadi prioritas Pemerintah. Sayangnya di kalangan pemerintah masih saja ada yang berpikir, bilapun kelak akhirnya Ahok lolos menang di Pilkada dan muncul reaksi masyarakat, tinggal di­-”bulldozer”saja secara represif secara all-out. Apapun resikonya.

Betul. Skenario Ahok lolos pasti akan tetap didorong oleh parpol-parpol pengusung Ahok di Pilkada. Mereka tak akan peduli (atau tidak mengerti?) dengan resiko, upaya mereka telah membahayakan Keamanan Nasional. Dengan dukungan para Taipan, mereka akan membiayai berbagai pollster untuk menjaga agar elektabilitas Ahok berada di level yang tetap tinggi (26-30%). Sehingga menjadi cukup rasional untuk Ahok melaju ke Putaran Kedua.

Kemudian dengan “lobby pakai oli” oleh Taipan juga, penyelenggara pilkada (KPUD DKI Jakarta) akan memanipulasi suara untuk kemenangan Ahok sesuai angka para pollster tersebut. Tentu para Taipan pendukung Ahok juga akan jor-joran membiayai kampanye media massa, yang biayanya sangat mahal.

Tentang potensi kecurangan. Sebenarnya beberapa saat lalu sudah pernah terungkap tentang ratusan ribu daftar pemilih ganda (DPT) seperti diberitakan di sini. Hanya saja isu ini tidak ditindaklanjuti secara serius oleh institusi yang berwenang, seperti Bawaslu dan Kepolisian. Dengan tak terungkapnya kasus DPT ganda, langkah KPUD memanipulasi suara dukungan Ahok akan semakin lancar.    

Sementara, untuk memastikan jatuhnya elektabilitas pesaing terkuat Ahok, Agus H Yudhoyono, kasus-kasus lama di era SBY akan kembali dibuka. Para napi seperti Antasari Azhar, Angelina Sondakh, dan M. Nazaruddin akan ditekan agar kembali “menyanyikan” kasus-kasus lama, seperti: Skandal Bank Century, Skandal Proyek e-KTP, Skandal Wisma Atlet Hambalang, dsb.

Maka, dengan semua strategi ini, Ahok akan lolos melenggang kembali menjadi DKI1. Apapun resikonya terhadap keamanan Negara dan Masyarakat. Seperti yang dikhawatirkan Bung Karno di masa lalu sehingga dirinya menelurkan Penpres 1/1965.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun