Mohon tunggu...
S. Marindra
S. Marindra Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pendidik dan Pegiat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat dari Seorang Kakak kepada Adiknya di Kampung Jauh

22 Maret 2020   17:33 Diperbarui: 22 Maret 2020   17:35 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adikku yang kucintai, kusayangi sepenuh hati..! kakak berharap engkau membaca surat ini bukan di dalam cafe tempat biasa nongkrong bersama kawan-kawanmu. Semoga engkau sedang duduk di rumah, di sofa kusam kita, sambil menikmati teh panas dan sepiring ubi jalar goreng bersama ayah dan ibu kita.

Adikku yang keras kepala..! Kakakmu ini tak tahu apakah kita masih bisa lebaran bersama pada Syawal mendatang. Jika memang masih diberi waktu, kakak masih mikir-mikir dulu untuk pulang ke kampung kita. Bila engkau bertanya tentang alasanku, jawabannya karena aku terlalu mengasihi kalian semuanya.

Adikku yang pembangkang..! Untuk sementara waktu, kakak berharap engkau betah dulu tinggal di rumah. Beritahu ayah dan ibu kita, kakek-nenek kita, om dan tante, sepupu-sepupu kita, juga tetangga-tetangga agar menghindari keramaian dulu. Kakakmu tahu, bagaimana pun membangkangnya engkau, tapi otak dan hatimu masih bisa membedakan dan menerima perihal yang lebih benar.

Dik, sudah hampir sebulan kita dihinggapi rasa khawatir sejak diumumkannya penderita pertama dari wabah yang selama ini kita sebut sebagai azab bagi orang China. 

Saat masuk ke negara kita, alih-alih berpikiran bahwa negeri kita pun berarti sama diazab-Nya, kita malah asyik mencaci-maki negara orang lalu menjalar ke pemimpin sendiri. Untunglah ayah menegur kita lalu menjelaskan bahwa sesuatu bisa dikatakan azab adalah karena kitab suci yang mengatakannya, selebihnya wallahu alam.

Adikku..! Kemarin engkau menulis di statusmu kalimat yang mengumpat pemerintah sebab lamban dan terkesan bercanda menghadapi wabah ini saat awal kemunculannya. Kakak setuju dengan alasanmu mengumpat.

Di saat banyak orang dari berbagai negara sudah terjangkit, mereka masih bangga menyebut bangsa kita kebal karena minum ini, itu, dan sebagainya. Tiba saat kita yang terkena jangkitannya, mendeteksi penyakit pun, dalam beberapa kasus, baru bisa disimpulkan setelah pasien selesai dikuburkan. Betapa lambannya.

Tapi sudahlah, Dik. Tak ada gunanya juga mengumpat. Lagian, sejak kapan ayah dan ibu mengajarimu berkata-kata kotor begitu? Barangkali yang musti dilakukan adalah mengajak warga kita untuk menghindari keramaian dan sebisa mungkin berada di rumah saja sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Mengajak warga kita engkau bilang sulit? Kakakmu ini pun membenarkannya, Dik. Mungkin karena kita besar dari dunia sosial media yang penuh dengan caci maki sehingga bila bukan "orangnya" yang memberi perintah, maka dianggapnya itu bisikan iblis yang akan menyeretnya ke jahannam. 

Aih, sulit memang, Dik. Engkau berikan pendapat pemuka agama dengan reputasi baik dan pendidikan agama yang mumpuni pun mereka pasti akan tolak. Yang diterima hanyalah ceramah yang akan mendukung pendapatnya saja, meskipun orang tersebut masih tak jelas asal-usul ilmunya.

Adikku yang kusayangi..! Sebenarnya kakakmu ini sedang khawatir. Berada di tengah-tengah wilayah terjangkit bukanlah hal yang mudah. Kakak sudah takut bepergian, Dik. Jika bukan untuk beli bahan makanan, kakak pasti hanya berdiam diri di rumah mendoakan kita semua. Tentang hidup dan mati? Semua memang sudah ditakdirkan Tuhan. 

Namun, jika engkau tahu bahaya di depanmu dan tidak segera mencari tempat berlindung, bukankah itu sinonim dengan bunuh diri? Jika tak sepakat dengan ungkapan "bunuh diri", janganlah kita seolah-olah sedang menguji Tuhan. Sebab, siapakah kita ini yang merasa punya hak menguji-Nya? Alangkah sombong kita ini, Dik, padahal dosa pun begitu hitam dan tebal.

Maafkan kakakmu yang terkesan marah-marah ini, Dik. Kakak hanya sedang membuang pikiran-pikiran yang sedang menganggu. Waktu kakak, bisa jadi, tidak lagi lama. Kakak takut tidak sempat menyampaikannya dan waktu sudah keburu habis.

Adikku yang kusayangi, bila boleh, kakak ingin menitip salam buat para dokter dan tenaga medis kita. Kakak mendoakan mereka senantiasa kuat. Jika nanti engkau bertemu mereka, jangan lupa engkau sampaikan, ya.  

Mereka luar biasa dan patut mendapat apresiasi setinggi-tingginya. Di saat harus menjaga diri dan keluarganya sendiri, mereka dengan ikhlasnya mengurusi pasien. Padahal resiko tertularnya hampir seratus persen. 

Sungguh, itu sebuah pengorbanan yang luar biasa. Berjuta-juta salut untuk mereka. Kita doakan juga pihak manajemen rumah sakit yang telah menolak penderita wabah ini, agar segera insyaf dari perburuan bisnisnya. Atas nama kemanusiaan. Kita berharap pula agar rumah sakit yang belum dilengkapi perlengkapan memadai untuk menangani ini segera dibenahi. Dan, semoga pemerintah tahu harus berbuat apa.

Dik, kakak memiliki kekhawatiran lain yang tak kalah besarnya. Mengingat tingkat kematian warga kita akibat virus ini adalah yang terbanyak di ASEAN, dengan jumlah penduduk yang begitu banyak serta bentang alam sangat luas, sebenarnya itu berarti negara kita berpeluang membuat jumlah penderita jauh melampaui negara ASEAN lainnya. Tapi, semoga saja kekhawatiranku ini tidak menjadi kenyataan. Jangan sampai.

Kekhawatiran paling buruk, mungkin saja negara kita akan memimpin daftar penderita dalam beberapa waktu ke depan. Kekhawatiran itu muncul setelah menyaksikan jalan-jalan yang masih penuh, mall yang masih buka, tempat wisata yang masih ramai, ditambah lagi wakil rakyat di beberapa tayangan malah memberi contoh tak bagus sebab menolak diperiksa. 

Padahal, negara besar yang hari ini menerapkan aturan sedemikian ketat saja masih terus bertambah korbannya. Sedangkan kita? Tapi, lagi-lagi kakak berharap itu tak pernah terjadi, Dik. Jangan sampai terjadi.

Mungkin itu saja dulu, Dik. Jaga dirimu baik-baik, ya. Engkau menjaga diri, berarti engkau telah menjaga ayah-ibu, keluarga, dan orang-orang sekampung kita. Jangan segan mengingatkan untuk berjaga-jaga. Jangan lupa doakan kita semua. Barangkali ini juga cara Tuhan menegur kita. Barangkali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun