Kriminalitas yang melibatkan anak di bawah umur adalah fenomena yang memprihatinkan di Indonesia. Dalam banyak kasus, anak-anak tidak hanya menjadi pelaku tindak pidana, tetapi juga korban dari situasi sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak mendukung perkembangan mereka. Sistem hukum Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) telah mencoba memberikan pendekatan berbeda bagi anak-anak yang terlibat dalam tindak kriminal, yaitu melalui sistem peradilan yang ramah anak. Meski demikian, masih terdapat sejumlah kekosongan regulasi dan implementasi yang perlu diatasi untuk memastikan perlindungan dan rehabilitasi yang lebih baik bagi anak-anak ini.
UU SPPA yang mulai berlaku sejak tahun 2014 dirancang untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih manusiawi bagi anak. Beberapa poin penting dalam undang-undang ini adalah pengaturan kategori anak dalam proses hukum, pembatasan usia, serta pemberlakuan sanksi yang berbeda untuk anak di bawah dan di atas usia 14 tahun. Selain itu, hak anak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, dipisahkan dari tahanan dewasa, dan tidak dijatuhi hukuman berat seperti pidana mati juga diatur dengan tegas. Namun, dalam praktiknya, banyak kekurangan yang muncul, terutama dalam penerapan prinsip diversi. Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian kasus dari jalur peradilan ke jalur alternatif seperti mediasi atau pembinaan, sering kali tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Faktor seperti kurangnya pemahaman aparat penegak hukum, minimnya sarana rehabilitasi, hingga budaya hukuman yang masih dominan menjadi tantangan utama. Di sisi lain, meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2022 memberikan rincian teknis mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana terhadap anak, regulasi ini belum cukup untuk menjawab masalah fundamental, seperti pencegahan kriminalitas anak dan pemulihan mereka sebagai individu yang berpotensi positif di masyarakat.
Kesenjangan dalam Penanganan Kriminalitas Anak
Kesenjangan pertama yang mencolok adalah kurangnya perhatian terhadap faktor pencegahan. Banyak kasus kriminalitas anak yang muncul dari latar belakang kemiskinan, pendidikan rendah, dan kurangnya pengawasan keluarga. Sistem peradilan yang baik seharusnya tidak hanya fokus pada penanganan anak setelah mereka melakukan tindak pidana, tetapi juga menciptakan kebijakan yang proaktif untuk mencegah terjadinya tindak pidana tersebut. Kesenjangan kedua adalah minimnya infrastruktur rehabilitasi. UU SPPA mengamanatkan pendekatan rehabilitatif bagi anak, tetapi realitanya fasilitas seperti lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) sering kali terbatas dalam jumlah dan kualitas.
Banyak anak yang akhirnya tidak mendapatkan pembinaan yang layak, sehingga mereka rentan kembali melakukan tindak pidana setelah bebas. Ketiga, ada pula ketidakselarasan antara tujuan peraturan dan pelaksanaannya. Misalnya, meskipun anak berhak atas bantuan hukum, pada kenyataannya akses terhadap bantuan hukum ini masih sangat terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil. Hal ini mengakibatkan anak-anak sering kali menghadapi proses hukum tanpa pendampingan yang memadai, yang bertentangan dengan prinsip keadilan yang diusung UU SPPA.
Urgensi Penguatan Kebijakan
- Pendekatan Pencegahan yang Lebih Komprehensif
Salah satu langkah penting adalah meningkatkan program pencegahan yang melibatkan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan karakter, konseling keluarga, dan penguatan peran masyarakat dalam pengawasan anak-anak harus menjadi prioritas. Pemerintah juga perlu memperhatikan aspek ekonomi dengan menciptakan kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, sehingga anak-anak tidak lagi terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang berujung pada kriminalitas.
- Peningkatan Sarana Rehabilitas
Sarana rehabilitasi yang layak tidak hanya mencakup fasilitas fisik, tetapi juga program pembinaan yang efektif. Pemerintah perlu bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan program rehabilitasi yang berfokus pada pendidikan, pelatihan keterampilan, dan konseling psikologis. Anak-anak yang dibina dengan baik selama menjalani sanksi akan memiliki peluang lebih besar untuk kembali ke masyarakat sebagai individu yang lebih baik.
- Harmonisasi Peraturan dan Pelaksanaannya
Regulasi yang baik harus diiringi dengan implementasi yang efektif. Untuk itu, diperlukan pelatihan bagi aparat penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim, agar mereka memahami pendekatan ramah anak yang diatur dalam UU SPPA.
- Penegakan Prinsip Diversi
Diversi sebagai salah satu kunci dalam sistem peradilan pidana anak perlu diperkuat. Pemerintah harus memastikan bahwa seluruh kasus anak di bawah umur diproses melalui jalur diversi, kecuali untuk kasus-kasus berat. Hal ini membutuhkan koordinasi antara lembaga penegak hukum, lembaga sosial, dan komunitas masyarakat.
- Monitoring dan Evaluasi Kebijakan