Mohon tunggu...
Marim Purba
Marim Purba Mohon Tunggu... Penjahit - Pria Prima Rindu Sumba

Jalan kesana kemari dan clingak clinguk sambil berusaha menuliskannya..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Gereja Over Dosis

15 November 2019   22:27 Diperbarui: 15 November 2019   22:27 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seratus orang penari Kataga ramai ramai masuk ke arena dengan paras bahagia. Begitu memang makna tariannya. Walau Jokowi tak datang mereka tetap riang. Kuda putih yang hendak diberikan kepada Presiden terus berdiri, setia menanti. Padahal saat itu udara gerah, panas matahari dari atas dan panas bebatuan dari bawah. Lengkap lah sudah.

Di suasana itulah Sidang Raya XVIII PGI dibuka, 18 November 2019 di tempat asal kain Kanatang, di pantai Purru Kambera yang terik. Menteri Hukum dan HAM Prof Yasonna Hamonangan Laoly  hadir dan membuka acara. Ada juga Gubernur NTT  Victor Laiskodat, juga 'petugas partai' Olly Dondokambey yang juga Gubernur Sulut.

Sebelumnya telah berlangsung Pertemuan Perempuan Pra Sidang Raya di Tambolaka Sumba Barat Daya. Cukup banyak yang hadir. Pertemuan Pemuda di Waikabubak Sumba Barat, dari 200-an peserta hanya 36 utusan Sinode yang hadir. Sejujurnya acara di Perempuan lebih menarik dari Pemuda. Isunya lebih menggigit, cocok dengan konteks Sumba.

Kembali ke acara pembukaan; di areal seluas 5 Ha di padang karang yang telah di-cut & fill oleh Pemda NTT, ada gerak Harama menyambut tamu. Ada juga tarian Papu Kopi (petik kopi), dan 300 orang penari Manandang Paori (merangkul dengan baik). Tarian perang riuh rendah dengan puluhan pemuda mengayunkan Katoppo, menyambut parade kuda kuda yang berpacu. Ini penyambutan khas Sumba- riang, egaliter, dengan senyum perempuan cantik dan sekumpulan lelaki perkasa. Kita bangga Sumba. Walau udara panas mendera, tapi semua terasa biasa.

Umat GKS dari berbagai desa berkumpul hikmat. Litani dinyanyikan dan doa dinaikkan. Mereka sadar ini event yang hanya sekali saja dalam seumur hidupnya. Hidup dalam alam Sumba yang selalu disyukuri. Gadis Rambu Loyaa yang cantik mengucap lirih bersama umat lainnya, mengaku iman "Hamanai Yehu Karitu na anana mini nama kamiahangu, na miri nda.."

Perempuan hadir berkain sarung warna warni. Lelaki diselimuti Hinggi, diikat Kabialal dan Tiara pengikat kepala. Itu hasil ketekunan orang Humba merajut kain seiring merajut hidup, seperti menelusuri urat dan nadinya sendiri; memilin kapas menjadi benang, mewarnai benang dengan Kombu (untuk warna merah) dan Wuara (untuk wara biru), menenunnya selama berbulan bulan dan menjemur lama di terik matahari. Hebat!

Itulah semua yang mereka beri. Totalitas persembahan umat kepada tamunya. Memberi seikhlasnya dari semua kekurangannya. Pendeta dari Bandung bilang, 'spiritualitas keugaharian in action, suatu spirit penyangkalan diri yang mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri maupun kelompok.' Tak sekedar diri dan hati, juga materi. Sebagai umat GKS, ASN di Sumba Tengah memberikan sebagian gajinya untuk pembiayaan rangkaian Sidang Raya.

Pemda NTT membantu 5 milyar, Sumba Barat menghibahkan 1,6 milyar, Sumba Tengah 2 milyar(?) dan Sumba Barat Daya 500 juta. Tak cuma itu, umat GKS lakukan acara mengantar Ballang, bahan makanan untuk peserta. Dilakukan dalam acara "Wottu Witti Tuamalima" - mengulurkan tangan untuk memberi bantuan. Setidaknya selain beras dan lauk pauk juga 40 sapi dan 60 ekor babi. Menghidangkan daging adalah penghormatan kepada tetamu.

Hanya itu ko? Tidak. Umat juga sediakan rumahnya untuk menginap, umumnya ajak tamu sarapan bersama. Juga antar tamunya kesana kemari. Kemenhub pinjamkan 25 bus untuk transportasi peserta. Gedung Pdt Hapu Mbay (nama pendeta GKS yang mati martir) direnovasi atas biaya Kementrian PUPR. Semuanya lebih dari cukup.

Lha, partisipasi jemaat GKS membuat PGI tak harus keluarkan dana untuk perhelatan Sidang Raya? Gak tau tuh, tapi PGI bahkan mendapatkan pemasukan. Karena 1500-an orang harus membayar kontribusi Rp 750 ribu per orang. Hasilnya sekitar Rp 1,5 milyar-an masuk ke kantong PGI. Belum lagi kontribusi gereja Anggota PGI Rp 750 ribu untuk menanam pohon. Alamak, tajirnya. Padahal peserta dari seluruh Indonesia rata rata berbeban harus mengeluarkan biaya Rp 5 juta untuk ke Sumba (pp).

Apakah anda tau ada perhelatan Sidang Raya? Tentu saja tidak, karena tak satu media nasional pun yang memberitakan. Wartawan tak diundang. Beberapa pembicara juga harus bayar sendiri. Hmm, eksklusif. Katanya supaya hemat. Aduh, pelitnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun