Mohon tunggu...
Mario PatriatamaMaith
Mario PatriatamaMaith Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Student

A student

Selanjutnya

Tutup

Film

Kualitas vs Diversitas: Apa yang Kehilangan dalam Film?

20 November 2024   07:49 Diperbarui: 20 November 2024   07:54 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Kalian sudah nonton trailer Snow White yang baru belum? Kalau belum, coba deh lihat dulu dan mungkin Kalian akan kaget. Pasti muncul pertanyaan di benak Kalian, "Kok karakter Snow White jadi Latina? Padahal aslinya kan nggak gitu. Kenapa ceritanya jadi beda banget?" Gak hanya Kalian kok yang mikir gitu, banyak orang juga yang mempertanyakan hal itu. Kira-kira kenapa ya?
Kalau kalian sadar, diversity menjadi topik yang sering di masukan pada film Hollywood baru-baru ini. Dengan semakin banyaknya film dan serial yang menghadirkan karakter dari berbagai latar belakang ras, etnis, gender, dan orientasi seksual, muncul pertanyaan penting: Apakah keberagaman ini benar-benar memperkaya cerita, atau justru mengorbankan kualitas narasi dan kedalaman karakter?

Industri perfilman modern menghadapi tantangan besar dalam menciptakan karya-karya yang tidak hanya menghibur tetapi juga mencerminkan keberagaman yang ada dalam masyarakat. Representasi ini mencakup berbagai aspek, termasuk ras, gender, dan orientasi seksual seperti komunitas LGBT. Meskipun tujuan utama dari representasi adalah untuk menciptakan karya yang lebih inklusif, fenomena "forced diversity" atau keberagaman yang dipaksakan justru mulai mengemuka. Dalam beberapa kasus, representasi yang tidak organik ini justru mengorbankan kualitas narasi dan pengembangan karakter.

Forced Diversity: Keberagaman yang terpaksa

Pernah gak kalian nonton film atau serial yang rasanya tuh kayak "memaksakan" keberagaman? Istilahnya sekarang banyak yang sebut sebagai "forced diversity," yaitu ketika keberagaman dimasukkan bukan karena penting buat ceritanya, tapi kayak buat "tandain kotak" atau sekadar ikut tren. Salah satu contoh yang sering dikritik adalah serial Batwoman dari CW. Di sini, karakter utamanya dibuat sangat berfokus pada identitasnya, sampai-sampai fans yang mengkritik malah dibilang "toxic" dan gak diterima. Banyak yang akhirnya ngerasa kalau narasinya jadi nggak fokus, karena cuma kayak ngasih tahu kalau karakter ini "beragam" tanpa mengembangkan cerita lebih dalam. Serasa nonton film yang tujuannya cuma buat bikin orang sadar kalau karakter ini "diverse," tapi nggak ada hubungan kuat sama alur ceritanya.

Atau mungkin kalian ingat The Rings of Power? Di serial ini, ada banyak karakter dengan latar belakang ras yang berbeda. Bukan berarti diversity ini negatif, tapi ada yang merasa kalau representasi karakter tertentu terlihat "ditonjolkan" tapi nggak dibarengi pengembangan karakter yang mendalam. Makanya, banyak fans Lord of the Rings yang ngerasa ceritanya jadi kurang menyatu sama vibe orisinalnya.

Nah, kalau ngomongin forced diversity, pasti nggak bisa lepas dari Snow White yang baru. Versi terbaru ini dibintangi oleh Rachel Zegler, seorang aktris Latina. Dalam beberapa wawancara, seperti di Variety dan Good Morning America, Zegler menyatakan ketidaksukaannya pada karakter asli Snow White, yang ia anggap "menghina" wanita karena terlalu bergantung pada pria untuk menyelamatkannya dan hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Untuk itu, karakter Snow White diubah menjadi lebih mandiri, dengan cerita yang tidak lagi berpusat pada pangeran sebagai penyelamat.

Sementara itu, penampilan Ratu Jahat, yang diperankan oleh Gal Gadot, juga memicu reaksi unik. Banyak yang merasa bahwa Gadot sebagai Ratu Jahat justru terlihat lebih menawan daripada Snow White sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan di antara penonton tentang logika di balik kecemburuan Ratu pada kecantikan Snow White. Banyak yang merasa perubahan ini agak aneh dan tidak mendukung cerita secara keseluruhan, menghasilkan reaksi yang cukup beragam dari para penggemar.

Film-Film yang Sukses Tanpa Perlu Representasi Dipaksakan

Tapi, ada kok film yang berhasil besar tanpa perlu ngandelin keberagaman yang dipaksakan. The Lord of the Rings trilogi, misalnya. Kalau kalian sadar, mayoritas karakternya memang gak menonjolkan keberagaman dalam hal ras atau gender. Tapi, penonton dari seluruh dunia tetap bisa merasa terhubung sama ceritanya, karena karakternya dikembangkan dengan kuat dan dunia fantasi yang kaya. Alur cerita yang berkesan dan penulisan yang baik jadi alasan utama kenapa film-film ini dicintai penonton, bukan karena adanya keberagaman karakter secara fisik.

Contoh lainnya ada di Inside Out, di mana film ini fokus di emosi sebagai bentuk representasi. Tanpa perlu menunjukkan karakter dengan latar belakang ras atau gender yang berbeda, film ini menyentuh banyak orang lewat karakterisasi emosional, bukan identitas sosial atau etnis. Begitu juga dengan The Wild Robot, di mana representasi datang dalam bentuk robot dan hewan, tapi kita tetap bisa terhubung sama cerita dan pesan yang disampaikan.

Film yang Berhasil Menggabungkan Representasi dengan Kualitas Cerita

Nah, lalu gimana dengan film-film yang memang berhasil menggabungkan representasi secara autentik tanpa mengorbankan kualitas? Coco jadi contoh bagus di sini. Film ini membawa penonton ke dalam budaya Meksiko dengan sangat autentik. Mulai dari tradisi Da de los Muertos sampai nuansa musikal dan kehangatan keluarga, semuanya terasa organik dan jadi bagian dari cerita yang kuat. Representasi di sini bukan sekadar tempelan, tapi benar-benar bagian dari tema besar filmnya.

Film Black Panther juga jadi contoh yang sukses. Representasi budaya Afrika di sini terlihat dalam detail pakaian, arsitektur, dan gaya hidup yang diperlihatkan. Elemen-elemen ini nggak hanya menambah warna, tapi juga memperkuat dunia fiksi Wakanda dan cerita keseluruhan. Hasilnya? Penonton gak hanya terhibur, tapi juga merasa lebih dekat sama budaya yang ditampilkan.

Jadi, Representasi di Film Itu Harusnya Kayak Gimana, sih?
Akhirnya, gimana sih cara terbaik buat menghadirkan keberagaman di film tanpa kehilangan esensi cerita? Contoh yang baik bisa kita lihat di film seperti The Wild Robot atau Inside Out. Di sini, karakter-karakternya bisa mewakili emosi, pertumbuhan, dan perkembangan diri, bukan melalui fisik atau identitas sosial. Representasi kayak gini lebih universal dan menyentuh penonton karena yang diangkat adalah karakter dan perjalanan batin mereka, bukan sekadar latar belakang etnis atau orientasi tertentu.

Kalau pun ingin menghadirkan budaya atau latar belakang khusus, penting banget buat melakukannya secara alami. Misalnya, kalau mau mengangkat budaya Meksiko, seperti di Coco, ceritanya bisa benar-benar berpusat di dalam budaya tersebut, bukan hanya sekadar menambahkan karakter dari latar belakang tertentu tanpa alasan yang jelas. Sebaiknya, pilih cerita yang memang relevan dan terhubung langsung dengan budaya itu sendiri, bukan sekadar memenuhi "kuota."

Pada akhirnya, representasi yang baik adalah yang mengalir alami dalam cerita dan mampu membawa penonton lebih dekat ke dunia yang dibangun oleh film. Dengan begitu, kita dapat menikmati keberagaman tanpa mengorbankan kualitas cerita dan pengembangan karakter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun