Mohon tunggu...
M Arifin Pelawi
M Arifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - PNS

Mahasiswa PhD yang dibiayai LPDP

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hubungan Pemujaan atas Nilai Anak dan Keturunan Monyet

23 November 2020   10:09 Diperbarui: 23 November 2020   10:22 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika berbicara tentang pasar maka mayoritas masyarakat memandang bahwa pendidikan disebutkan tidak boleh mengikuti konsep pasar karena jika pendidikan berhubungan dengan pasar maka cita-cita suci pendidikan bisa hilang. 

Pasar dinilai bisa melakukan korupsi terhadap pendidikan. Pada sisi ini pasar diidentikkan dengan neoliberal salah satu hantu yang ditakuti sedikit dibawah komunisme. Untuk menghindari pasar menguasai pendidikan maka pemerintah diwajibkan untuk tidak lepas tangan dari pendanaan pendidikan.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana tentang nilai murid? Ini menjadi hal yang sangat diagungkan sebagian besar orang tua di Indonesia. Nilai anak merupakan jalan bagi mereka untuk bisa meraih sekolah elit. Sehingga ketika pemerintah membuat peraturan berdasarkan zonasi maka kita bisa melihat banyak orang tua protes. 

Menurut mereka ada ketidak adilan karena hasil belajar anak tidak dihargai. Para orang tua memberikan konsep keadilan bahwa para anak yang memiliki nilai tinggi wajib diterima di sekolah elit. 

Sementara yang gagal harus bersedia berada di sekolah kelas bawah. Sekolah kelas bawah milik yayasan yang menarik biaya rendah. Sekolah kelas bawah berbentuk SMK yang hanya mengajarkan teori sebagian besar tanpa  cukup praktik karena kekurangan dana dan menerima subsidi jauh di bawah sekolah negeri top dengan subsidi besar neagra.

Pada sisi ini banyak orang tua bisa disebutkan mendukung bahwa ada hierarki pada manusia. Calon manusia sukses dengan nilai tinggi ada pada hieraki teratas. Nilai murid berfungsi sebagai seperti sumber seleksi. 

Seleksi pembeda calon manusia sukses dengan calon manusia gagal. Kegagalan yang dianggap  banyak orang tua dikarenakan si anak tidak cukup bekerja keras serta tidak cukup pintar.

Obsesi para orang tua dengan nilai sebagai sumber seleksi pembeda anak calon sukses dijawab oleh pasar dengan menjamurnya bimbel. Anak-anak bukan hanya diberikan jam belajar panjang disekolah bahkan setelah pulang harus ditambahkan dengan bimbel plus kursus. Banyak anak yang bahkan memiliki jam belajar lebih panjang dari jam kerja pekerja kantoran. 

Semua demi memiliki nilai tinggi serta keahlian sebagai sumber seleksi alam untuk sukses masa depan menurut para orang tua. Kerja keras anak akan terbayar di masa depan dengan kesuksesan. Kerja keras untuk mendapatkan nilai tinggi adalah ethos yang harus dimiliki setiap anak telah menjadi dogma.  

Pernyataan ini sangat menarik bagi saya. Pernyataan hidup itu keras serta penuh persaingan adalah pernyataan para pendukung neoliberal. Penilain atas siswa dan pemberian rating itu sendiri berkembang pesat dengan dorongan utamanya adalah teori berbasis neoliberal.

Berbicara tentang neoliberal maka kita melihat dulu pada salah satu teori ilmua sosial yang terkenal pada abad 19 disebut Social Darwinism. Social Darwinism merupakan konsep teori ilmu sosial yang menerapkan konsep biologis seleksi alam dan 'survival of the fittest' pada sosiologi, ekonomi, dan politik. 

Salah satu proponent utama dari teori ini adalah sosiologis Herbert Spencer. Dalam The Social Organism (1860), Spencer membandingkan masyarakat dengan organisme hidup dan berpendapat bahwa, seperti pada teori biologi yang menyatakan bahwa makhluk hidup berevolusi melalui seleksi alam dan masyarakat berevolusi dan meningkat dalam kompleksitas melalui proses yang sama.

Sejalan dengan teori seleksi alam Darwin, Spencer menyimpulkan bahwa hukum biologi dapat disesuaikan dan digabungkan dengan teori sosial untuk menjelaskan masyarakat Barat yang sangat bertingkat pada abad ke-19. 

Mengingat bahwa alam telah memilih untuk 'the fittest', Social Darwinism Spencer mengakui adanya peringkat pada kelompok dan budaya manusia menurut kemampuan mereka menyesuaikan diri dengan keadaan kebutuhan persaingan evolusi. Masyarakat kulit putih Eropa dan Amerika berada di puncak tatanan sosial adalah yang terkuat sejalan dengan hukum alam. 

Hal ini mengakibatkan akumulasi kekayaan dan kekuasaan di seluruh dunia berada di tangan mereka. Ini juga legitimasi adanya perbudakan serta kolonialisasi bangsa dan negara non-Eropa sebagai produk sampingan oleh hukum alam. Inti pemikiran keliru mereka bahwa stratifikasi dibutuhkan oleh kemajuan. 

Sehingga menyatakan intervensi dari persaingan memilih yang terbaik dalam persaingan bebas berarti bahwa kekuatan alam diatur. Efek sampingnya akan menghalangi umat manusia ke arah kemajuan yang lebih besar. Teori yang bisa dikatakan menjadi dasar teori bagi rasis dan Nazi pada perang kedua mendukung superioritas kulit putih dan pemusnahan ras.

Layva (2009) menyatakan bahwa Social Darwinism juga muncul kembali dalam ekonomi neoliberal dan kebijakan pasar bebas dengan banyak persamaan antara teori survival the fittest Spencer dan liberal ekonomi oleh Friedman dan Hayek tentang persaingan pasar tanpa kontrol pemerintah. 

Cita-cita esensialis tentang superioritas meritokrasi  dan persaingan yang dimajukan oleh neoliberalisme melalui konsep pasar adalah turunan dari teori social darwinism . Menurut retorika neoliberal oleh Friedman, sistem pendidikan harus diberikan kebebasan bagi sekolah untuk bersaing tanpa intervensi negara. 

Dengan adanya kebijakan ini maka sekolah bisa bersaing secara bebas serta secara alami sekolah yang jelek akan punah. Pada teori neoliberal ini terlihat adanya pengaruh social darwinism teori.

Jika kita melihat pada teori diatas dan dibandingkan dengan pendapat bahwa anak perlu punya nilai tinggi dan mengajarkan persaingan hidup yang keras untuk menang seleksi, maka sangat jelas memiliki kaitan pengaruh oleh social darwinism dan neoliberal. 

Perlu ada persaingan untuk memilih siapa yang terbaik. Ada kasta diantara anak yang tebaik dan anak yang lemah. Persaingan antara anak mendapat kasta tinggi bisa sekolah negeri top dengan dibayari oleh negara sebagian besar biayanya. 

Anak miskin di sekolah swasta murah dimana biayanya sebagian besar ditanggung orang tua. Sehingga secara alami mereka akan tersingkir dengan legitimasi karena bodoh, malas belajar dan tidak menggunakan kesempatan dengan baik sehingga wajar menjadi pariah selamanya.

Dengan kata lain banyak orang tua di indonesia sebenarnya setuju dengan teori social darwinism serta neoliberal. Penolakan yang terjadi atas teori neoliberal mengundang tanda tanya. 

Apakah karena neoliberalnya atau ketidak-relaan bayar uang sekolah tanpa bantuan pemerintah karena dianggap anaknya adalah pemenang persaingan maka wajib mendapat sumber daya terbesar?

Pada sisi lain, nilai itu sendiri seharusnya sebagai gambaran tingkat ilmu yang dikuasai anak. Bimbingan tes dengan persiapan anak menjawab soal menurut banyak ahli pendidikan adalah kecurangan. 

Curang dalam arti kata si anak bukan diajari ilmunya di bimbingan tes tetapi bagaimana mengalahkan tes dengan  memberikan banyak materi berupa soal apa yang sering keluar an bagaimana menajwab soal tersebut. 

Sehingga nilai yang dimiliki anak bukan menunjukkan pengetahuan atas ilmu itu sendiri tapi kemampuan menguasai menjawab pertanyaan. Obsesi ditujukan kepada alat bantu yaitu nilai bukan kepada tujuan utama belajar yaitu penguasaan pola pikir yang diharapkan dari pengetahuan atas suatu ilmu.   

Darwinisme Sosial berpendapat bahwa yang kuat melihat kekayaan dan kekuasaan mereka meningkat sementara yang lemah melihat kekayaan dan kekuasaan mereka menurun dan wajar dalam persaingan berdasarkan hukum alam si kuat menghancurkan si lemah. 

Sementara neoliberal menyatakan bahwa persaingan dibutuhkan untuk mendapatkan yang terbaik berhak memperoleh lebih banyak sumber daya yang terbatas serta kepunahan yang kalah dalam persaingan. 

Tidak ada keadilan sosial bahwa yang lebih lemah selayaknya dibantu sehingga mereka bisa hidup layak dan mampu bertahan hidup. Pada sisi ini bolehkan saya bertanya apakah sebagai umat manusia Indonesia yang beragama kita percaya bahwa kita berasal dari monyet yang berkembang karena mampu menjadi mahluk terkuat karena berhasil mengalahkan dan menghancurkan banyak mahluk lain atau sebagai agen dari sang pencipta di bumi untuk menjaga alam buatannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun