Mohon tunggu...
M Arifin Pelawi
M Arifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - PNS

Mahasiswa PhD yang dibiayai LPDP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pahlawan dan Identitas Diri

11 November 2020   10:36 Diperbarui: 11 November 2020   10:47 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pahlawan? Seberapa paham kita arti kata pahlawan? Ketika hari berganti maka pahlawan selalu berganti. Saat di masa lalu pahlawan adalah ksatria hebat tanpa rasa takut demi perjuangan atau pemimpin perang yang tanpa tanding.

Namun saat bergeser hari, maka bergeser pula arti kata pahlawan. Pahlawan tidak bisa dikaitkan dngan perang lagi. Karena perang yang terjadi saat ini berbeda.

Pahlawan saat ini lebih ke arah mereka yang yang menjadi inspirasi bagi banyak  orang. Pahlawan modern bisa dalam bentuk Malala Yousafzaia atau Greta Thurnberg yang masih muda belia.

Atau dalam bentuk mak Eroh dan Abdul Rozak yang menggali gunung untuk menyalurkan air ke desa mereka yang kering.  Namun pahlawan bagi banyak orang juga berupa Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo atau Jokowi dan habib Rizieq Shihab.

Pahlawan saat ini beragam macam. Pemujaan pahlawan itu sendiri merupakan kodrat dari manusia. Teori tentang kepempinan menunjukkan manusia membutuhkan figur yang bisa menyediakan pengikut dengan keamanan, arah, bagian dari sesuatu yang besar, dan identitas. Sosok pahlawan adalah penyaluran identifikasi positif diri untuk sosok yang dianggap sesuai dengan jati diri individual kata Freud.

Jika berbicara pahlawan maka kita tidak bisa mengelakkan untuk berbicara tentang musuh. Musuh itu sendiri adalah penyaluran identikasi negatif diri tehadap sesuatu yang dianggap tidak sesuai jati diri. Setiap pahlawan harus memiliki musuh.

Contohnya adalah musuh yang ditaklukkan oleh mak Eroh dan Abdul Rozak merupakan kekeringan di desanya dan masyarakat yang mencibir perbuatan mereka sebagai kegiatan orang gila. Contoh yang paling baru adalah tentu saja antara pengagungan dan kebencian antara pengikut Jokowi dan habib Rizieq Shihab.

Hal yang menjadi masalah adalah ketika pengagungan terhadap pahlawan serta kebencian terhadap musuh sudah mencapai kulminasi tertinggi maka terjadilah pandangan kebenaran dengan kaca mata kuda. Setiap tindakan pahlawan adalah benar adanya dan informasi keburukannya adalah fitnah yang dibuat pihak lawan.

Setiap tindakan pihak musuh pasti salah dan mengancam kebenaran. Tidak ada rasionalitas disini karena manusia memang bukan robot yang bisa dengan mudah mengindahkan emosi atau subjektifitas dalam memandang sesuatu. Benar dan salah sering difilter dengan subjektifitas yang tertanam kuat di dalam diri.

Hal yang menyedihkan adalah pemujaan dan kebencian ini bisa mengakibatkan kehancuran. Ketika emosi yang menguasai jiwa yang telah terbalut identifikasi yang kuat terhadap pahlawan dan musuh akan menghilangkan kepedulian tindakan yang lebih baik bagi diri dan orang sekitar.

Teriakan rela mati demi kebenaran terkadang menjadi pembenaran untuk mengikuti kehancuran buat diri dan tidak memperdulikan efek samping tindakan. Kehancuran dengan tidak memperdulikan bahwa pihak seberang tentu saja bukan semua penjahat dan tidak semua di pihaknya dalah orang baik.

Pemujaan pahlawan dan kebencian atas musuh berlebihan telah banyak menghancurkan negara seperti Syria dan Libya. Pemujaan dan kebencian berlebihan menjadikan dunia tidak lebih baik karena identifikasi kaca mata kuda definisi kebenaran selalu membawa kehancuran kedua belah pihak pada masa modern saat ini.

Tanggal 10 november ini diharapkan menjadi pengingat bagi kita bahwa identitas sebagai warga Indonesia didapatkan dengan pengorbanan gigih jutaan pahlawan yang menaklukkan musuh berupa pihak yang akan menghalangi kita memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia.

Rasa kebencian dan pemujaan berlebihan akan mengakibatkan kita kehilangan banyak hal yang lebih berharga. Semoga dengan semangat hari pahlawan kita bisa mengingat bahwa pahlawan modern sangat berbeda dengan pahlawan di masa perjuangan. 

Di masa perjuangan musuh kita adalah penghilang identitas kita sebagai bangsa. Hal yang menjadi tidak lucu jika kita menganggap bahwa identitas kebenaran kita saat ini lebih berharga dan tidak perduli jika itu menjadi sumber perpecahan identitas sebagai bangsa Indonesia. 

Padahal identitas kebenaran kita didasarkan bahwa sosok yang kita puja adalah penyelamat bangsa dan sosok musuh adalah penghancur bangsa. Karena perpecahan yang didasari fanatisme berlebihan, entah siapapun yang menurut kita benar, maka keduanya akan berubah menjadi penghancur bangsa secara bersama.

Kita harus selalu mengingat bagian identitas sebagai bangsa Indonesia adalah yang terbesar bukan identitas sebagai pengikut seorang pahlawan dan musuh sesama warga negara Indonesia.

Kita adalah manusia yang dibesarkan oleh tanah pertiwi, kebenaran untuk menjaganya adalah yang terbesar dan tidak bisa dihargai lebih rendah atas pemujaan dan kebencian sosok individu manusia yang pasti tidak sempurna. Karena bagaimanapun dia maka manusia pasti tidak sempurna dan memiliki kelemahan.

Selamat Hari Pahlawan Nasional 2020.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun