Mohon tunggu...
Marieta Sahertyan
Marieta Sahertyan Mohon Tunggu... Guru - Pendeta SINODE GMIT

Pendeta SINODE GMIT

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memoria Passionis Pekerja Migran Nusa Tenggara Timur (Catatan ke III)

30 Desember 2019   21:24 Diperbarui: 30 Desember 2019   21:37 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua jenazah pekerja migran asal Nusa Cendana tiba di kargo bandara El Tari, 28 November 2019. Pulang sebagai jenazah setelah bertahun tahun mencari nafkah di negeri Jiran. Jenazah pekerja migran yang berhasil pulang ke kampung halamannya kini menembus 100-an lebih anak manusia. Rerata berusia 30 tahun. 

Saya merenung. Diam pada ruangan terbuka tempat penitipan sementara jenazah. Masih adakah rasa kemanusiaan? Apakah kepedihan keluarga adalah kepedihan kita?

Langit masih terus murung. Riuh ramai kendaran keluar masuk-mengambil dan mengantar-barang pada tempat keluarga bertemu dengan berurai air mata menjemput jenazah. Dengan tatapan penuh tanya dari pengunjung kargo. Dong ada buat apa datang tiap hari jemput ini mayat dong?

Kematian demi kematian mungkin akan membunuh rasa peduli. Seperti sirene tanda pesawat landing yang kini akrab di telinga petugas, juga dering bising pesawat di atas 1000 meter dari atap rumah tak mampu mengusik tidur yang lelap. Manusia bumi Cendana sedang menyangkal perasaan peduli menjadi banal menyaksikan kematian pekerja migran yang sampai mati pun tidak dianggap sebagai pekerja.

Seorang pengurus jenazah di tempat pemulazaran jenazah Rumah Sakit W. Z. Yohanes pernah berkisah tentang pengalamannya mengurus berbagai manusia meninggal.

Mereka wajib diurus secara manusiawi. Entah meninggal karena sakit, kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, konflik maupun penyiksaan. Tanpa melihat dia sebagai siapa semasa hidup. Tak peduli seberapa hebat atau bejatnya. Pada ruang kematian itu, peti jenazah sering disemayakan di garasi. Anggaran masih terbatas untuk pemugaran.

Pernah ada inspeksi untuk membangun. Namun hingga kini tak ada kejelasan.  Ruang pemulazaran itu telah uzur. Sempit. Terkadang pengap. Kesan angker terbersit di lorong. Seberang jalan dari ruang jenazah terdapat tempat penjualan peti jenazah. Jalanan selalu ramai hingga pagi beradu pekik knalpot motor dengan isak tangis dan air mata yang terus tumpah di tempat itu.

Bagi lelaki paruh baya itu, mereka adalah ciptaan Tuhan. Hidup manusia adalah perjalanan menuju kematian tetapi itu masih bisa dicegah terutama pemuda dengan cara hidup sehat secara jasmani dan rohani.

Sebagai petugas pengurus jenazah beliau selalu sedih bila yang meninggal itu anak muda yang masih menjadi harapan orangtua. Mengurus jenazah adalah pelayanan. Demikian prinsipnya.

Sesewaktu, air matanya meleleh pada pelipisnya di sudut kamar mandi. Tiada yang melihat. Cahaya lampu yang suram turut menyamarkan. Ia baru saja memulazari jenazah seorang anak muda. Sesudah ratapan seorang ibu karena anaknya meninggal dengan sakit mematikan. 

Namun sebagai petugas pengurus jenazah dia harus "menyangkal" perasaan itu, dan menunjukan wajah biasa saja lalu dia berkata kepada saya, "Kalau sudah mati mau bilang apa lagi tinggal kubur saja, itu jalan yang dipilihnya sendiri yang berakibat kematian"

Jangan-jangan saya seperti petugas pengurus jenazah itu mulai menyangkal kepedihan itu. Rasa gentar mulai melandaku. Jika perasaan menyangkal itu akhirnya membuat kita apatis untuk mencari cara untuk mencegah kematian dini bagi pekerja migran lalu pasrah pada iman yang fatalistik bahwa ini karena Tuhan yang panggil mereka, membebaskan mereka dari kesakitan dan penderitaan. Lalu agar tidak ditimpa rasa berdosa (guilty feeling) kita berkata bahwa jalan berisiko ini adalah pilihan mereka dengan risiko ditanggung sendiri.

Lalu ingatan saya tertuju pada pernyataan kontroversi Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor B. Laskodat. "Ini kan akibat mereka yang mau menjadi TKI ilegal. Jadi kalau mereka meninggal di sana, ya sudah kita tinggal kubur saja mereka, mau apalagi," kata Viktor kepada Kompas.com, Selasa (26/11/2019)"

Bagi saya ini merupakan ungkapan yang menyatakan beberapa hal: pertama, Penyangkalan. Penyangkalan terhadap kepedihan rakyat yang tak memiliki kekuatan untuk memilih jalan kehidupan dalam migrasi kerja kecuali menyerah pada para mafia berkuasa dan berduit yang mengirimkan mereka bekerja menempuh jalur nonprosedural.

Viktor sebenarnya sedang meratapi kepedihan itu di ruang sempit kantornya. Tetapi ketika dia keluar ke publik dia harus menyangkal ratapan itu dengan ungkapan di atas.

Kedua, Putus Asa.  Ungkapan ketidakberdayaan sebagai anak Nusa Tenggara Timur yang diberi mandat sebagai Orang Nomor Satu untuk mengatur, mencegah dan melindungi rakyatnya. Rakyat yang nekad memilih "jalan kematian" untuk bertahan hidup karena memang kerja para aparat terutama mulai dari RT, RW, Camat, Bupati, dan aparat pada dinas dinas terkait di bawahnya tidak tanggap dan terampil, bahkan masih terlena dengan kedudukan politis pasca Pilkada.

Hal yang sama terjadi juga dengan lembaga legislatif yang geraknya lamban bila disejajarkan dengan gencarnya "mafia gaya baru" Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Akhirnya kalah dengan konspirasi mafia penjualan manusia yang mulai beralih modus kejahatan.

Dalam penanganan korban perdagangan orang, kami temukan bahwa pemain lama yang sudah pernah dipenjara kini kembali bermain dengan modus baru yang tidak diantisipasi dengan sasaran rakyat yang terdesak kebutuhan akan uang tunai untuk hidup.

Pernyataan ini merupakan ungkapan jujur seorang gubernur yang putus asa dan kehilangan cara untuk mencegah lalu pasrah pada kekuatan kejahatan itu yang sudah terjadi sejak periode periode yang lalu padahal dia adalah 'petarung hebat' yang pantang terhadap putus asa.

Betapa bahayanya bila seorang petarung yang diberi kekuasaan untuk bertarung baik oleh rakyatnya maupun oleh Tuhannya tiba pada kulminasi keputusasaan justru akan berimbas pada semakin terbuka dan meluasnya ruang kematian bagi rakyatnya.

Menurut Penulis, putus asa adalah pergumulan iman seorang warga gereja yang diutus untuk memimpin rakyatnya. Sebuah ungkapan yang ikut mempertanyakan peranan gereja, peranan agama agama yang umatnya berlalu lalang di "jalan kematian. Membiarkan para pemimpin rakyat menjadi putus asa. Menyangkal kepedihan rakyatnya bahkan sebagian dari mereka justru adalah pelaku tamak dari perdagangan manusia. Sebuah pertarungan iman bagi peradaban Nusa Cendana dalam konteks proklamasi Kerajaan Allah yang mengandung makna Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan.

Sambil membatin saya melangkah bersama teman teman yang melayani penjemputan jenazah Pekerja Migran bersama keluarga duka berdiri di antara 2 ambulans yang berisikan 2 peti jenazah. Kami memanjatkan doa pada Sang Pencipta.

Doa merupakan alat bedah keimanan agar jangan sampai kami menyangkal kepedihan itu lalu putus asa dan menjadi apatis menerima ruang kematian yang semakin luas terbuka akibat terlucutinya kekuatan untuk mencegah dan melindungi umat dan rakyat kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun