Mohon tunggu...
Marieta Sahertyan
Marieta Sahertyan Mohon Tunggu... Guru - Pendeta SINODE GMIT

Pendeta SINODE GMIT

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memoria Passionis PMI Asal NTT

10 November 2019   20:25 Diperbarui: 10 November 2019   20:58 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Penjemputan Jenazah 09102019 (Foto: Jaringan Solidaritas Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang)

Hari ini, Sembilan November Dua Ribu Sembilan Belas. Kepedihan itu masih menggelantung dalam relung nurani kami di dalam dua peti jenazah Pekerja Migran Indonesia yg dibawa bersamaan dalam satu pesawat ada dua anak manusia NTT yang tergeletak terbungkam tubuh dan jiwanya dengan kisah sedih perantau kerja non-prosedural di negeri bangsa serumpun Malaysia.

Banyak keluarga kerabat dan teman menjemput bahkan ada "fore rider" kepolisian yang akan memimpin perjalanan duka salah satu PMI ini petanda bahwa yang meninggal adalah "orang penting" keluarga.

Kisah pertama tentang pemuda berumur 38 tahun yang pergi merantau ke negeri jiran. Pada paspor yang dikeluarkan kantor Imigrasi Batam tercatat dikeluarkan pada bulan April, 2019. Dalam dokumen kematian hanya tercatat meninggal dalam keadaan tergantung dan tiada pekerjaan.

Tampaknya sewaktu pergi dia menempuh jalur non --prosedural beberapa keluarganya menduga bahwa yang bersangkutan bunuh diri namun hasil post mortem hanya mencantumkan kata miris ini  "hinging" sambil membatin saya mencoba menelusuri peristiwa ini.

Pergumulan berat apa yang dialami anak muda ini sehingga nekad menghabisi nyawanya? Atau ada asumsi lain yang bisa dikembangkan yakni bisa saja ini adalah sebuah bentuk "penyiksaan?" Hanya Tuhan yang tahu.

Kisah kedua, seorang pemuda yang menurut keluarga, baru berumur 19 tahun, namun dalam dokumen kematiannya tercatat berumur 31 tahun. Berarti sewaktu dia pergi umurnya masih tergolong anak anak dan menempuh jalur non-prosedural sehingga umurnya dipalsukan untuk sekedar memenuhi persyaratan kerja. Meninggal karena infeksi paru.

Menurut keluarga bahwa sebelumnya yang bekerja di negeri jiran adalah ayahnya. Setelah ayahnya kembali, ibunya yang pergi merantau mencari pekerjaan dengan membawa anak ini. Ayahnya tinggal dan menjaga anak yg lain. Sebuah cara berisiko bagaimana keluarga ini mencari solusi untuk bertahan hidup di tanah tercinta NTT. 

Ketika pemuda ini sakit akut dan akhirnya meninggal, ibunya tidak bisa mengantar anaknya kembali ke kampung halaman karena tidak memungkinkan. Status sebagai tenaga kerja non prosedural menyulitkan posisinya. Dalam kepedihan yg dalam ibunya harus merelakan anaknya pulang tanpa dirinya.

Mendoakan Jenazah PMI (Foto: Jaringan Solidaritas Anti Perdagangan Orang NTT)
Mendoakan Jenazah PMI (Foto: Jaringan Solidaritas Anti Perdagangan Orang NTT)
Saya membayangkan kepedihan itu membayangkan ironi kehidupan keluarga ini dan mungkin keluarga keluarga lain dikampung terpencil di  pedalamn NTT kampung yang bergumul dengan ekonomi keluarga selalu ada yang berkorban sebagai "mata rantai " ekonomi dan kehidupan keluarga dengan cara merantau kerja ketika tanah dan alam tidak lagi memberi hidup bagi para petani tradisional.

Sementara para mafia membidik orang orang lugu tersebut dan menjerumuskannya dalam "lubang hitam" perdagangan manusia. Jenazah dan jenazah tetap kembali ke kampung kampung itu kesepian dan terbungkam tanpa bisa membela diri terjebak dalam lilitan narasi narasi  bisu tentang alasan untuk bertarung hidup di negeri harapan  karena banyak masyarakat memojokkan mereka sebagai "orang orang bodoh" yang nekad  memilih jalan maut ini.

Lalu sesungguhnya siapa yang bodoh? Mungkinkah sistem berbangsa dan bernegara memberikan ruang bertumbuh bagi rakyat jelata secara adil dan sejahtera? Atau justru sebaliknya telah meluaskan ruang ruang kebodohan yang mendorong rakyat nekad memilih jalan kematian untuk bertahan hidup? Sebuah "memoria passionis" atau ingatan penderitaan rakyat NTT yang tergerus dalam arus perbudakan modern yang kejam.

Siapakah yang bertanggung jawab untuk peristiwa ironis ini? Pemerintah? Pimpinan agama? Pimpinan adat? Keluarga? Orang itu sendiri??  atau   jangan jangan TUHAN? Semoga kita masih memiliki kepekaan untuk mengkritisi laju jenazah jenazah PMI yang pulang dengan batas usia muda dan produktif. Bagiku persoalan ini bukan sekedar persoalan sesuap nasi ini adalah persoalan kebangsaan yang adil dan beradab persoalan martabat beriman.

Kematian demi kematian setiap pekerja Migran Indonesia asal NTT adalah kegagagal negara memberikan kepastian hidup bagi warganya.

Memberi rasa yang adil dengan memastikan para PMI mendapatkan kepastian hukum dari kasus yang mereka alami, memastikan sanak saudaranya tetap berani hidup di pedesaan tanpa berbondong menjadi pekerja migran ikutan, memudahkan pengurusan administrasi dalam persoalan upah yang tidak dibayar, masuk kedalam strukur ekonomi sosial dan budayanya hingga mampu mengintervensi secara bijak dan paling akhir mampu bekerja lintas instansi melampaui struktur birokratis procedural yang kaku dalam mengurus manusia manusia Pekerja Migran yang rentan bahkan yang datang dalam peti mati.

Kematian satu orang warga negara saja adalah duka bagi negara bangsa. Jumlah di dalam hitungan teks harus mampu membangkitkan solidaritas sesama manusia untuk bergerak merubah, mengubah dan memberi diri bagi pengentasan perdagangan orang yang hampir seumur peradaban manusia.

Berduka bersama keluarga anak anak bangsa Indonesia. Anak anak bangsa di Nusa Tenggara Timur. Nusa, Laut, Air dan Hutan pusaka warisan bagi kita untuk tetap hidup, jangan mau diperbudak di tanah orang. SELAMAT MEMPERINGATI HARI PAHLAWAN INDONESIA 10 November 2019.

Tangis Keluarga Pecah (Foto: Jaringan Solidaritas Anti Perdagangan Orang NTT)
Tangis Keluarga Pecah (Foto: Jaringan Solidaritas Anti Perdagangan Orang NTT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun