Mohon tunggu...
Marieta Sahertyan
Marieta Sahertyan Mohon Tunggu... Guru - Pendeta SINODE GMIT

Pendeta SINODE GMIT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ritual Kargo Bandara, Minyak Goreng, dan Penolong Rumah Tangga

5 Februari 2019   00:51 Diperbarui: 5 Februari 2019   22:14 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah berpuluh bahkan beratus kali saya bersama teman-teman peduli Pekerja Migran Indonesia (PMI) korban Perdagangan Manusia berada di Terminal Kargo Bandara El Tari menerima jenazah para pekerja migran asal NTT kembali ke kampung halaman.

Saya pernah mendampingi dua jenazah diautopsi ulang. Berdiri dengan keluarga di samping jenazah untuk melihat apakah ada yang aneh dan bertentangan dengan hasil post mortem rumah sakit negeri jiran.

Jenazah-jenazah itu seakan berteriak tentang kondisi buruk; fasilitas kerja, kesehatan tidak memadai, dan penyiksaan yang mereka alami sehingga terpaksa nyawa harus melayang dalam usia muda lagi produktif.

Saya teringat cerita tentang bagaimana Pdt. Dr. Merry Kolimon dalam respons menyayatnya tentang kematian para PMI di negeri jiran menggunakan kata "tewas" ketiban kata meninggal bagi PMI yang pulang sebagai jenazah. 

Kata yang menandai bahwa kematian para PMI, karena mereka mengalami pengabaian keselamatan kerja, kerja paksa melebihi kapasitas tubuh dan waktu, tidak memadainya asupan gizi bagi tubuh, bahkan mengalami penyiksaan sehingga trauma berat, cacat, sampai meninggal.

Kematian yang telah melampaui batas kewajaran. Mungkin tidak semua tetapi jumlahnya semakin meningkat. Ironis. Tragis. Begitulah kenyataan miris pekerja migran asal NTT di negeri tetangga. Mereka memilih pergi dari kampung halamannya karena "terpaksa" mencari kerja untuk mengumpulkan uang tunai. 

Demi memenuhi kebutuhan hidup di kampungnya. Bagi mereka tidak ada pilihan lain selain pergi untuk menyabung nyawa di negeri jiran. Kondisi sosial demikian membuat mereka rentan ditipu oleh para mafia penjualan orang.

Kelompok Jenazah yang Pulang ke NTT
Pertama, para perempuan "orang tua tunggal" yang suaminya sakit dan meninggal, cukup banyak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya telah meninggalkan mereka sendirian. Mengurus anak-anaknya dan keluarganya di pedesaan terpencil. 

Sebagian besar dari mereka tidak menyelesaikan sekolahnya atau tidak bersekolah sama sekali karena berasal dari keluarga marjinal. Bergumul dengan peliknya kehidupan sehari hari di kampung terpencil.

Mereka nekad memilih jalan pergi keluar mencari uang di negeri jiran dengan bekerja sebagai "penolong" atau pekerja rumah tangga. Mereka terjebak untuk menempuh jalan tidak prosedural dan tak berdokumen sah. Ada yang ditempatkan langsung pada keluarga terseleksi, yang tidak semua majikannya berhati mulia. Beberapa disiksa hingga cacat dan meninggal.

Para Pekerja Migran ini ditampung oleh agen tenaga kerja untuk memanfaatkan tenaga mereka dengan bekerja ganda secara harian di rumah maupun toko atau bekerja sekaligus pada beberapa keluarga sehingga pekerjaan itu melewati kapasitas keterampilan dan kekuatan tenaga mereka. Kerja yang dilakukan tidak sepadan dengan gaji dan fasilitas yang didapat. Penyiksaan dan penghisapan marak terjadi di tempat ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun