Mohon tunggu...
Mariemon Simon Setiawan
Mariemon Simon Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Silentio Stampa!

Orang Maumere yang suka makan, sastra, musik, dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Peracik Racun

1 November 2023   11:57 Diperbarui: 1 November 2023   17:48 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bramantyo kecewa. Sejak sore tadi, di ruang tamu pastoran, calon anggota legislatif itu sudah berusaha merayu Romo Lukas agar memengaruhi umat paroki untuk mendukungnya dalam pemilu nanti. Ia tahu, Romo Lukas memiliki pengaruh yang cukup kuat. Omongannya selalu didengar umat, dan nasehatnya selalu dituruti. Karena itulah, ia berusaha mendekati Romo Lukas untuk meraup suara. Sayangnya, Romo Lukas tetap bersikap netral.

"Siapa pun calon yang berniat baik, akan kami dukung sesuai pilihan masing-masing."

Bramantyo tidak suka jawaban seperti itu.

"Berapa pun yang Romo minta, saya siap berikan. Asal wilayah paroki ini bisa menjadi basis pendukung saya." Bramantyo menyodorkan amplop coklat. Romo Lukas menolak. Wajah Bramantyo berubah merah. Ia menahan marah. Keduanya diam. Suasana mendadak canggung.

Menyadari hal itu, Romo Lukas mengajaknya ke ruang makan. Situasi politik yang makin hari kian memanas memaksa para calon bekerja keras, bahkan berani mencari suara di balik tembok-tembok paroki.

Sang Pastor lalu izin sebentar untuk mengganti pakaian, membiarkan Bramantyo sendirian di situ.

Felix, karyawan pastoran lalu datang membawa dua gelas kopi dan beberapa potong kue. Ia terkejut ketika melihat Bramantyo duduk di sana. Bramantyo pun memberi reaksi yang sama. Sudah lima tahun mereka tak berjumpa.

"Felix, kau apa kabar?" Bramantyo mempersilahkan Felix duduk di hadapannya. Tetapi Felix menolak. Ia merasa tak pantas duduk di hadapan Bramantyo.

"Saya baik-baik saja, Kau apa kabar?"

"Baik juga. Lama tidak berjumpa. Siapa yang menyuruh kau ke sini?"

"Apa maksud kau?" Felix bingung.

"Seperti biasa..." Bramantyo tersenyum sinis, sembari berpura-pura menjentikkan jarinya di atas salah satu gelas kopi. Felix memperhatikan tingkah Bramantyo dengan seksama. Ia tahu betul apa yang dimaksudkan Bramantyo.

Felix adalah seorang peracik racun paling mematikan. Sudah banyak korban yang tewas karena racun yang ia ramu. Ia paham baik soal racun. Ia juga menguasai banyak trik untuk meracuni seseorang, bahkan ia tahu persis ciri-ciri makanan atau minuman yang sudah mengandung racun. Menjelang pemilu, Felix selalu dicari oleh para calon legislatif untuk 'melumpuhkan' lawan-lawan politik mereka. Bramantyo menjadi kawan baiknya setelah mereka bekerja sama meracuni salah satu tokoh daerah lima tahun lalu.

"Felix, kebetulan kau ada di sini. Saya ingin minta tolong, supaya kau bisa merayu Romo Lukas untuk mendukung saya." Bramantyo menyodorkan beberapa lembar kartu namanya.

"Tidak, Bramantyo. Saya tidak mau ikut campur dalam urusan itu."

"Tolonglah, Felix. Tadi saya sudah mencoba memengaruhi beliau, tetapi dia sepertinya menolak."

"Maaf, Bramantyo. Saya tidak bisa."

Keduanya terdiam. Bramantyo menahan marah.

"Bantulah saya, Felix. Berapa pun yang kau minta, saya siap berikan." Bramantyo menyodorkan amplop coklat dari saku bajunya. Felix menolak mentah-mentah.

"Lima tahun lalu, sewaktu kita membunuh salah satu tokoh daerah dengan racun, saya melihat sendiri bagaimana putrinya meratapi kematian bapaknya. Bayangan itu terus menghantui dan hampir membuat saya gila. Saya mengalami stress dan terjebak rasa bersalah berkepanjangan, sementara kau duduk nyaman di kursi legislatif. Romo Lukaslah yang membantu dan membimbing saya sampai bertobat," jelas Felix setengah berbisik.

 "Baru kali ini saya mendengar kata tobat dari seorang pembunuh. Sekali pembunuh, tetap pembunuh! Kau tahu sendiri kan siapa pun yang mati karena diracuni, kaulah yang akan dituduh sebagai pelaku." Felix terdiam. Nada sinis itu sudah biasa ia dengar dari mulut Bramantyo.

"Pastor tua itu sudah meracuni pikiranmu!" sambung Bramantyo lagi. Ia mengecilkan suaranya, sembari menahan marah.

"Benar. Dia meracuni saya menjadi orang yang baik," ujar Felix mantap.

"Lihat saja sebentar. Nasib Romo Lukas sekarang ada di tangan saya." Bramantyo tertawa kecil. Felix terdiam sambil memandangi gelas-gelas kopi tadi dengan tatapan tajam.

Romo Lukas lalu datang dengan dandanan yang rapi. Bramantyo dan Felix bertindak seperti tidak terjadi apa-apa. Romo Lukas mempersilahkan Felix duduk, tetapi ia menolak. Ia justru mendekat, dan meraih salah satu gelas kopi itu.

"Maaf, Romo. Tadi ada lalat yang terjatuh ke dalam gelas kopi ini. Saya akan membuatkannya yang baru." Romo Lukas mempersilakannya, tetapi ia sendiri bingung sebab tidak melihat seekor lalat pun di situ.

Bramantyo yang menyaksikan adegan itu terdiam. Rencana untuk membunuh Romo Lukas dan memfitnah Felix sebagai pelaku gagal total malam itu. Felix tahu betul, Bramantyo memasukan racun ketika berpura-pura menjentikan jari di atas gelas kopi tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun