Sepakan Lampard bisa saja ditepis Van Der Sar yang tampil gemilang malam itu jika saja ia tidak 'terpeleset' lebih dulu. Namun, Dewa Sepakbola selalu bertindak seenaknya saja.Â
Ia menyukai kejutan dan kerap menyajikan drama yang mendebarkan. Ia anti terhadap prediksi dan enggan berdamai dengan eksata dan rekor pertemuan.Â
Apa yang dialami Van Der Sar kini berbalik. Dalam drama adu pinalti, Chelsea sudah unggul setelah Petr Cech menepis tendangan Cristiano Ronaldo, dan John Terry sebagai eksekutor terakhir tinggal memasukan bola ke gawang MU untuk membawa pulang trofi.
Sialnya, sang kapten terpeleset, dan piala menjadi milik publik Old Trafford. Empat tahun kemudian, drama Moscow berputar di Munchen. Chelsea menjadi juara setelah menaklukan tim tuan rumah Bayern Munchen dalam final dramatis dengan drama adu pinalti.Â
Didier Drogba yang dikartu merah empat tahun sebelumnya menjadi protagonis; ia membuat Abramovich duduk santai di tribun dengan senyum yang lebar sambil bertepuk tangan mengikuti yel-yel yang digaungkan para suporter The Blues di Allianz Arena.
Abramovich akhirnya bisa meraih apa yang selama ini menjadi hasratnya. Uangnya bisa saja membeli pemain mahal (seperti Fernando Torres), dan membentuk tim kuat dengan pelatih hebat.Â
Namun, untuk membangun suatu kejayaan (dan kemapanan) yang dapat bertahan lebih lama, tampaknya butuh waktu yang lebih lama. Sejak tiba di Stamford Bridge pada tahun 2003, Abramovich butuh hampir sepuluh tahun untuk membawa pulang trofi UCL.
(Bagian II, lihat di sini.)