Sejak pertama kali melihat Gabriel Omar Batistuta di lapangan, saya percaya bahwa Yesus juga bisa bermain bola. Berwajah tampan dengan rambut gondrong dan berjanggut, jago bermain bola, striker tajam, bernomor 9 pula; bagi saya, Batistuta yang gambar dirinya kerap menjadi cover buku tulis saya semasa SD dulu itu menjadi simbol 'ketampanan surgawi dan duniawi'. Dan tentu saja, memiliki penampilan seperti Batistuta (terutama janggutnya) saat dewasa nanti adalah idaman. Batistuta adalah perpaduan pas seorang striker yang bisa saja menakuti mental kiper lawan dengan penampilannya: tubuh besar, gondrong, janggutan, tendangan keras, plus selebrasi menembak ala Rambo.
Masih dalam ruang-ruang imajinasi saya, Juan Sebastian Veron adalah iblis. Kepala gundul dan jenggotnya terlihat menakutkan. Entah mengapa, ketika mendengar orang dewasa menyebut kata 'setan', bayangan kepala saya langsung tertuju kepada pesepakbola satu ini. Namun, gambaran berbeda tentang dua pesepakbola yang membela tim nasional yang sama itu hanya ada dalam pemikiran imajinatif saya saat masih bocah SD yang kerap tidak sanggup menonton sepakbola selama 90 menit penuh di depan TV saat tengah malam.
***
Di belakang gawang, saya pernah 'mendengarkan cerita' Mahfud Ikhwan, salah satu penulis sepakbola favorit saya, tentang Lionel Messi dan mitos tentang 'malaekat buruk rupa'. Dalam penuturannya, Mahfud tidak mempercayai apa yang dikatakan Jonathan Wilson dalam buku Angels With Dirty Faces (2016)Â tentang malaekat buruk rupa yang dianggap sebagai pahlawan dan dipuja oleh masyarakat Argentina. Konon, tampaknya mitos ini sengaja diciptakan untuk menyempurnakan sosok pahlawan mereka (Diego Maradona).
(Malaekat buruk rupa seperti Maradona bukan saja soal penampilan fisik, tetapi juga kehidupan gelap. Maradona adalah penyihir di atas lapangan, tetapi ia punya sisi gelap yang tidak (akan) mungkin dilakukan seorang Lionel Messi. Kokain, narkoba, hingga 'keakraban' dengan para mafia adalah sisi lain Maradona di luar lapangan. Messi jelas jauh dari hal-hal semacam itu.)
Dan Lionel Messi pun mempercayai mitos itu. Maka kita pun melihat penampilan Messi yang sepertinya 'berusaha' untuk menjadi seperti sang malaekat buruk rupa (ia hanya mengubah penampilannya, semetara imej-nya sebagai bapak keluarga sayang anak tetap terjaga baik). Tubuhnya mulai ditato (meski tato-tato itu dipersembahkan untuk anak-anaknya, sebagaimana yang dikatakan Mahfud). Sejak musim 2014/15, ia mulai tampil garang, dengan brewoknya.
Lionel Messi memperkenalkan dirinya dalam sepakbola sejak usianya belum genap 20 tahun. Wajahnya imut dengan rambut panjang sebahu. Ia terlihat culun dengan lesung pipi terlihat jelas kala tersenyum, penampilan fisiknya sama sekali tidak menakutkan bagi para kiper. Ke-bocah-annya benar-benar terlihat jelas ketika Rob Palmer memaksa kita mengingat namanya usai memanfaatkan umpan Ronaldinho menjadi gol pertamanya untuk Barcelona: remember the name, Lionel Messi!
Kita dapat membandingkan penampilannya ketika berusia 20 tahun dengan para pemain Argentina lainnya seperti Maradona muda, Batistuta muda, Veron, atau teman-teman seangkatannya macam Carloz Tevez atau Sergio Aguero. Meskipun memiliki sihir di kakinya, penampilan fisiknya jelas jauh dari kata 'buruk rupa', apalagi jika dibandingkan dengan nama-nama di atas. Maka selanjutnya, kita hanya melihat Lionel Messi dengan penampilan 'klimis'nya, mengangkat berbagai trofi bergengsi, dari La Liga hingga Copa del Rey, dari medali emas olimpiade hingga trofi UEFA Champions League (UCL).
Penampilan Messi mulai terlihat berbeda usai treble musim 2014/2015 bersama Barcelona. Ia mulai brewokan, sesekali rambutnya diwarnai (mungkin pengaruh dari Neymar). Ia terlihat lebih dewasa, wibawa, dan kebapakan. Ditambah beberapa tato yang menghiasi tangan dan kakinya, Messi telah memenuhi ciri-ciri (fisik) dari apa yang orang Argentina yakini sebagai 'malaekat buruk rupa'. Penampilan baru itu tentu saja tidak mempengaruhi daya magisnya di atas lapangan, maka kita melihat banyak kejadian-kejadian hebat yang dilakukan Messi; dengan wajah brewoknya.
Banyak momen ajaib yang ia ciptakan dengan penampilan barunya itu: mencetak gol berkelas di El Clasico dengan bibir bersimbah darah, aksi 'pamer jersey' di Bernabeu, hattrick memukau dengan chip pamungkas berkelas kala melawan Real Betis yang membuat komentator Ray Hudson menangis dan berujung standing applause dari publik di Benito Vilamarin, hingga gelar La Liga pertamanya sebagai kapten Barcelona. Jangan lupakan juga momen mesra bersama istrinya Antonela Roccuzzo ketika berdansa atau ketika keduanya berciuman di depan kilatan kamera para wartawan.
Namun, perlu diakui juga, bahwa ingatan tentang Messi yang brewok lebih lekat dengan kegagalan-kegagalannya. Maka kita pun melihat berbagai kegagalan yang dialaminya dengan 'wajah buruk rupa'nya. Kita melihatnya menangis usai gagal mengeksekusi pinalti di final Copa America 2016 dan mengakui kekalahan untuk kedua kalinya dari lawan yang sama (Cile). Tangisan yang pilu, ia kembali gagal membawa Argentina dalam tiga final beruntun (dan brewok sialan itu membanjiri meme-meme di dunia maya).
Selanjutnya, kita juga melihat wajah lesunya ketika gagal mempertahankan keunggulan agregat di Olimpico, Roma. Ekspresi yang sama pun kembali terulang dalam beberapa episode kegagalan dan kekecewaan, dari epic comeback dramatis Liverpool atas Barcelona di Anfield, kegagalannya membawa Argentina melangkah jauh di Piala Dunia 2018, keputusan untuk pensiun dari timnas Argentina (meski akhirnya kembali lagi), kekalahan memalukan 8-2 dari Bayern Munchen, gagal mempertahankan posisi puncak usai jeda pandemi pada musim lalu, hingga kartu merah pertamanya untuk Barcelona beberapa bulan lalu.
Wajah buruk rupa itu, tampaknya lebih lekat dengan kegagalannya bersama rekan-rekan setimnya. Memang benar bahwa sebelum mengubah penampilannya, Messi juga mengalami beberapa kegagalan. Saat ia mengubah penampilannya, gelar-gelar individu tidak jauh dari jangkauannya, pun ia sanggup membawa Barcelona menjuarai La Liga ketika menjadi kapten tim. Namun, sayangnya, kegagalan-kegagalan di atas tadi terlalu mencolok, terjadi pada saat yang 'tepat', malah terlihat ikonik, dan sialnya, kegagalan-kegagalan itu terjadi ketika mengenakan topeng buruk rupanya.
***
Sepakbola, se-modern apa pun, tidak pernah terlepas dari kepercayaan-kepercayaan tertentu yang dianggap membawa tuah di atas lapangan. Maka kita mengenal kecupan mesra pembawa keberuntungan di kepala Fabien Barthez dari Laurent Blanc pada Piala Dunia 1998 dan Euro 2000; atau keyakinan Raymond Domenech yang mencoret nama Robert Pires di Piala Dunia 2006 karena meyakini bahwa zodiak Scorpio akan membawa sial untuk timnya; atau Filipo Inzaghi yang menghabiskan banyak waktu di kamar kecil dengan aroma kotoran yang meresahkan seisi ruang ganti (maaf jika jorok) dan memaksa Andrea Pirlo berujar "Pippo baru saja memakan mayat!".
Entah apakah brewok Lionel Messi hanya membawa sial atau ketidakberuntungan, yang jelas, sepertinya kita lebih akrab melihat Messi 'mengangkat trofi' dengan wajah klimis-nya. Penampilan Messi yang garang itu mungkin tidak mempengaruhi kiprahnya di atas lapangan, bahkan gelar-gelar individu pun masih enggan jauh-jauh dari genggamannya.
Namun, secara kolektif, apalagi untuk seorang Messi yang rela menukar semua penghargaan pribadinya demi trofi untuk negaranya, brewok sialan itu tampaknya perlu dibersihkan. Ingatan tentang topeng buruk rupa itu lebih dekat dengan kegagalan-kegagalannya. Dan ketika topeng itu dilepas, trofi Copa del Rey pertamanya sebagai kapten Barcelona kembali mendarat di Camp Nou.
(Anda mungkin menganggap trofi Copa Del Rey tidaklah penting-penting amat (netizen Indonesia menyebutnya 'piala kaleng'), tetapi untuk publik Catalan, menjarai ajang dengan embel-embel 'Raja Spanyol' adalah kebanggaan tersendiri. Mungkin inilah alasan mengapa Gerard Pique selalu kegirangan ketika mendapatkan piala itu.)
Ketika mengangkat trofi Copa del Rey beberapa waktu lalu, wajah Lionel Messi tampak girang. Tanpa brewok, senyumnya lebih lebar dan segar, persis seperti ketika ia digendong Ronaldinho usai mencetak gol pertamanya untuk Barcelona. Tampaknya wajah klimisnya lebih bertuah ketimbang 'topeng' itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H