Mohon tunggu...
Mariemon Simon Setiawan
Mariemon Simon Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Silentio Stampa!

Orang Maumere yang suka makan, sastra, musik, dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

El Clasico dan Pengalaman Keterlukaan

13 April 2021   08:05 Diperbarui: 16 April 2021   11:27 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjelang El Clasico. (Sumber: Dokpri)

#1. Menertawai Luka Orang Lain

Di depan majalah dinding (mading) asrama, suasana tampak riuh. Dari kejauhan, saya melihat beberapa teman sedang menari-nari dengan gembira. Beberapa dari mereka berjingkrak-jingkrak, yang lainnya memukul-pukul papan mading tersebut, yang lainnya melemparnya dengan sandal jepit, bahkan seorang teman nekad (permisi) meludahnya.

Seingat saya, karya-karya yang dipajang di sana adalah edisi lama. Beberapa tulisan sudah mulai pudar, bahkan ada beberapa puisi yang tintanya sudah tidak terbaca lagi. Tapi entah mengapa bisa ada kerumunan di depan papan mading tersebut. Tidak mungkin mereka bertindak seperti orang kerasukan hanya karena sebuah cerpen tentang kisah cinta suanggi Flores. Tidak mungkin juga sandal ikut terlibat hanya gara-gara sebuah puisi romantik yang berhasil bikin baper. Saya yang penasaran lalu ikut mendekat.

Dan tiba-tiba saja, saya juga menggila; ikut mengumpat, memaki, memukul-mukul papan mading; persis seperti yang mereka lakukan tadi. Saya juga ikut melemparnya dengan sandal sambil berjoget ria di depan papan tersebut.

Gila. Kami seperti merasakan puncak kebahagiaan yang tak terperikan, seperti seorang anak kecil yang mendapat hadiah mainan baru dari bapaknya. Saya akhirnya paham, mengapa La Bombonera terlihat mengerikan ketika Boca Juniors menjamu River Plate, atau mengapa sebuah petasan bisa mendarat di bahu Nelson Dida ketika duo Milan bertarung, atau mengapa Luis Figo pernah dilempari kepala babi di Camp Nou.

Beberapa saat kemudian, kami lari berhamburan membubarkan diri. Seorang teman, yang baru datang segera mendekat ke papan mading yang sudah sepi. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia mendekat ke papan mading, lalu dengan pasrah menurunkan sprei berlogo 'sebuah klub Spanyol' yang sudah digantung di sana sejak subuh tadi. Itu sprei miliknya! Itulah sprei (maksud saya: logo) yang menyebabkan keriuhan setelah jam sarapan pagi tadi, sprei yang menyebabkan beberapa teman bertindak kesetanan.

Seingat saya, itulah euforia paling membahagiakan (dan berlebihan) ketika merayakan kemenangan klub kesayangan, sebab saya pun turut menjulurkan lidah sambil menggoyangkan pinggul di depan logo klub yang dipajang pada papan tua tersebut. Masih segar dalam ingatan: beberapa jam sebelum keriuhan itu, Barcelona menaklukan Real Madrid 4-0 (November 2015).

Sepakbola seperti punya dua wajah. Karena sepakbola, seseorang bisa bersedih ketika melihat orang lain bergembira, demikian pun sebaliknya. Karena sepakbola, seseorang yang semula 'menunjukan rasa ke-Indonesia-annya hanya dengan produk rokok' (kalimat ini saya kutip dari Belakang Gawang) bisa saja menjadi sangat nasionalis, dan karena sepakbola, seorang yang baik hati bisa saja menertawai luka orang lain.

Selama sepuluh tahun saya hidup berasrama, sepakbola punya banyak cerita, termasuk tentang 'El Clasico'. Duel antara Barcelona dan Real Madrid ini adalah salah satu duel favorit anak asrama yang menyimpan banyak kenangan: tentang keberuntungan dan kesialan, tentang keberanian dan keragu-raguan dalam bertaruh, tentang adu mulut hingga nyaris adu jotos, tentang kepandaian berdebat hingga kelihaian dalam mengolok.

El Clasico tampaknya bisa bermain sulap, menghipnotis, dan bertingkah jenaka. Siapa yang bisa menyulap seorang mahasiswa yang rajin berkutat dengan diktat kuliah tiba-tiba menjadi seorang fanatik Real Madrid meski hanya dalam waktu 90 menit?

Siapa yang mampu menghipnotis beberapa orang anak asrama SMA sehingga nekad menonton El Clasico pada dinihari di kamar makan asrama tanpa izin pembina asrama, meski akhirnya TV itu disita keesokan harinya? Bukankah sesuatu yang jenaka, ketika seorang temanmu yang sama sekali tidak punya atribut tentang sepakbola di kamar tidurnya, memenangkan taruhan atasmu yang rajin update berita bola hanya karena murni tebakan tanpa analisis?

(El Clasico yang sengit itu telah memungkinkan hal-hal di atas itu terjadi; termasuk memungkinkan seorang anak asrama SMA membalas dendamnya dengan menendang kaki pembina asramanya saat jam olahraga sore.)

#2. Ketika Saya Terluka...

Saya sudah mulai gelisah ketika melirik jam di ponsel; sudah jam setengah sepuluh (malam). Sudah satu jam lebih saya dan beberapa teman duduk mengelilingi meja, menikmati moke (minuman beralkohol tradisional khas orang Maumere) ditemani ayam bakar, mi goreng, dan kuah ikan. Sebelumnya, semua sudah siap memasang taruhan untuk El Clasico nanti. Namun, mungkin karena sudah mulai mabuk, tidak ada yang sadar, setengah jam lagi pertandingan dimulai. Saya harus segera pulang.

Saya pamit dengan alasan gerbang rumah akan ditutup pada jam 10 nanti. Menarik, karena selain berhasil menipu mereka, teman-teman yang sudah separuh mabuk itu sama sekali tidak menyadari, bahwa di rumah saya tidak pernah ada pintu gerbang! Pertandingan baru saja dimulai saat saya tiba di rumah.

Ketika Fede Valverde mencetak gol saat laga belum genap sepuluh menit, ketakutan dan rasa kesia-siaan mulai membentang dalam pikiran saya.

Bisa dibayangkan, saya meninggalkan teman-teman hanya untuk menonton El Clasico ('menghilang' saat sedang minum moke sering dikatai banci). Saya membiarkan si teman yang berulang tahun hari itu (penyebab kami berkumpul di rumahnya malam itu) menjadi satu-satunya pendukung Barcelona yang tersisa setelah kepergian saya hanya karena ingin menonton duel itu.

Dengan lampu motor yang suram dan lensa kacamata yang berminyak (karena terkena krim kue ulang tahun) saya beranjak pulang menempuh jarak kurang lebih 4 km, hanya untuk menyaksikan taktik Ronald Koeman. Saya rela meninggalkan makanan yang enak-enak di atas meja tadi demi menonton aksi Lionel Messi, dan saya meninggalkan sejenak kebersamaan yang akan selalu awet sepanjang usia itu dengan 90 menit penuh derita di depan TV.

Gol balasan Ansu Fati beberapa menit kemudian sedikit memberi harapan, tetapi permainan agresif Real Madrid dan tendangan pinalti Sergio Ramos yang membawa Madrid unggul membuat saya meragukan kemenangan Barcelona. Hingga pada akhirnya, 'tarian' Luca Modric di hadapan Jasper Cillessen berhasil membuat saya baru berani membuka pesan-pesan WhatsApp (WA) yang masuk satu jam setelah laga.

Sama seperti daya magis sepakbola pada umumnya, El Clasico tidak saja menghipnotis jutaan pasang mata di depan TV atau layar ponsel, tetapi merasuk hingga grup-grup WA; tidak saja di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya; tidak saja menginspirasi para penulis sepakbola, tetapi juga memancing imajinasi kreatif para pembuat meme; tidak saja menjadi tema para mahasiswa di kantin, tetapi juga topik pembicaraan bapak-bapak pegawai kantor yang sedang beristirahat.

Dua sisi wajah sepakbola dalam rupa El Clasico terlihat jelas. Ia mampu menimbulkan perang kata-kata, sanggup membuat seorang pendiam menjadi tukang hina dengan mulut paling tajam, dan membuat seseorang yang jago bermain sepakbola dan sering bertanding dari satu turnamen ke turnamen lainnya bisa terpancing emosinya karena ia tidak bisa membalas olokan dari temannya yang sama sekali tidak bisa menendang bola dengan baik.

Dan yang paling menyedihkan, karena El Clasico, seorang laki-laki terpaksa menunda jadwal malam mingguan, dan harus memperbaiki hubungannya setelah menerima pesan dari perempuannya: "Makan kau punya Barcelona itu!"

#3. ...dan Orang Lain Menertawai Saya

Sepanjang malam hingga hari berganti, saya bersama delapan orang teman menghabiskan waktu dengan bercerita sambil menikmati moke dan ikan panggang. Demi El Clasico! Pertandingan antara Liverpool melawan Aston Vila dilewatkan begitu saja, sebab kemenangan 10 pemain Leeds United atas Manchester City dan persiapan tim jelang El Clasico lebih menarik untuk dibahas. Sebagai satu-satunya pendukung Barcelona di situ, saya berjanji akan menari dengan bertelanjang dada di depan rumah jika Barca memenangkan duel.

Namun pada akhirnya, saya harus menerima (lagi) luka karena kekalahan itu. Sendirian. Saya bisa membela diri dan tim kesayangan saya (tentu saja dengan membawa-bawa keputusan wasit yang kontroversial itu), tetapi ketika harus sendirian menghadapi delapan orang yang 'enggan pulang sebelum olok', saya pasrah. Sial, saya ditertawai habis-habisan!

Sepakbola dalam rupa El Clasico telah bertindak seenaknya. Ia membuat seseorang yang menyebut Vini Jr. dengan sebutan 'wini' menertawai temannya yang tahu bagaimana menyebut nama Thibaut Courtuis. Ia membuat seseorang yang selalu meng-update berita transfer pemain harus kalah taruhan dan merelakan dua bungkus rokok kepada temannya yang baru menyadari kepulangan Gareth Bale ke Tottenham saat laga sedang berlangsung.

Tidak adil? Terserah bagaimana Anda menilainya. Inilah panasnya El Clasico, dengan segala rentetan sejarah, simbol, dan rivalitasnya; jika ingin terlibat di dalamnya, bersiaplah untuk mencumbui salah satu dari dua wajah sepakbola ini: menang dan merayakannya, atau kalah dan meratapinya. Jika ingin terlibat dalam El Clasico, harapan boleh saja tinggi, tetapi seluruh harapan itu bergantung pada 22 pemain berkostum putih dan biru-merah yang bertarung bertaruh gengsi di lapangan. Selebihnya tergantung pada ke mana Dewa Sepakbola yang suka kejutan itu berpihak.

(Dan karena El Clasico pula, saya baru bisa menghasilkan tulisan yang tidak bagus-bagus amat ini beberapa hari setelah klub kesayangan saya takluk 2-1 dari Real Madrid beberapa hari lalu. Mengapa? Karena butuh waktu untuk menulis tentang luka sendiri!)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun