Sepakbola selalu penuh kejutan. Pada suatu masa, orang-orang hebat akan berkumpul dan dikumpulkan dalam satu tim dan membangun kejayaan. Kerjasama semua elemen klub (dari manajemen, ofisial, hingga pemain), taktik mumpuni, konsistensi, dan (jangan lupa) kondisi finansial yang kondusif menjadi faktor utama untuk melanggengkan kejayaan tersebut.
Pada taraf tertentu, para personil yang komplit itu akan berada dalam suatu 'zona nyaman', bahkan sanggup menimbulkan pengakuan penuh kerendahan hati: "Semua kesuksesan adalah kerja sama tim. Saya tidak bisa tampil bagus tanpa rekan-rekan lain."
Namun, sepakbola terkadang seperti kehidupan itu sendiri. Ada yang datang, ada yang pergi, dan ada yang memilih untuk bertahan. Faktor usia, karier, dan regenerasi tim memaksa seseorang harus pergi meninggalkan tim. Peremajaan tim dan kedalaman skuad menjadi alasan mengapa seseorang didatangkan. Sementara loyalitas, kemampuan, dan jasa tim terkadang membuat seseorang memilih untuk bertahan.
Tampaknya hal ini pula yang juga dialami oleh Lionel Messi. Pada era pelatih Pep Guardiola, Messi tampak menikmati peran dan permainannya. Ia begitu bergairah di atas lapangan kala dilayani oleh dua gelandang mumpuni dalam diri Xavi Hernandez dan Andres Iniesta. Semua trofi level klub berhasil mereka disabet.
Barcelona pun kembali berjaya saat diasuh Luis Enrique. Neymar didatangkan. Ivan rakitic merapat ke Camp Nou. Luis Suarez pun berlabuh dari Liverpool. Kiper Ter Stegen pun diboyong dari Jerman. Di bawah kendali pelatih Luis Enrique, Messi bersama Suarez dan Neymar membentuk trio lini depan yang subur mencetak gol.
Dengan kolaborasi bersama para pemain lama macam Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Sergio Busquets, Gerrard Pique, Dani Alves, hingga Jordi Alba, Barcelona kembali berjaya dengan membawa pulang trofi Liga Champions 2014/2015 dan Messi mendapatkan trofi Ballon d'Or kelimanya.
Namun, sebagaimana disinggung di awal, selepas kejayaan tersebut, pilar-pilar penting mulai pergi. Xavi pamit dari Barcelona. Luis Enrique pergi. Iniesta terbang ke Jepang. Trio MSN tinggal cerita tatkala Neymar bertolak ke Paris Saint-Germain.
Sejak itu, semua tampak tak selalu berjalan mulus. Messi terlihat begitu berjuang demi klubnya. Ia kerap turun ke tengah, memberikan assist, membantu pertahanan, dan mencetak gol. Bertahan adalah pilihan Messi sebab cintanya kepada klub ini begitu besar, meski ia kerap mendapat banyak tekanan.
Tekanan terbesarnya tentu saja terjadi pada akhir musim lalu. Konflik internal, manajemen yang semrawut, peforma pemain yang terlihat 'biasa-biasa saja' racikan pelatih Quique Setien, plus pemberitaan media yang terus-menerus mengekspos konflik internal klub dan kerap menyorot peran Messi tampaknya berimbas juga pada penampilan tim di atas lapangan.
Hasilnya terlihat jelas. Barcelona kecolongan pada laga-laga sisa selepas pandemi dan harus merelakan trofi La Liga direbut Real Madrid. Mereka dipermalukan Bayern Munchen di Liga Champions dengan skor telak yang tidak akan pernah dilupakan sejarah: 8-2. Kekalahan itu tampaknya menjadi representasi dari situasi klub saat itu.