Mohon tunggu...
Marida Fitriani
Marida Fitriani Mohon Tunggu... Dosen - Fitrie Langsa

Yakin Usaha Sampai

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Politik Uang dan Kualitas Pemilu/Pilkada

20 Juli 2023   11:00 Diperbarui: 4 Juni 2024   11:38 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah program lima tahunan yang diatur dalam undang – undang sehingga tidak ada alasan untuk tidak dilaksanakan. Pilkada merupakan proses rekruitmen kepemimpinan yang paling efektif dan sampai saat ini belum ada proses rekruitmen kepemimpinan yang bisa menyamai efektivitas pelaksanaan Pilkada.

Pilkada juga merupakan kontrak sosial antara masyarakat (pemilih) dengan pemimpin( calon) dimana pada masa kampanye para pemimpin (calon) menawarkan sejumlah visi dan misi kepada masyarakat (pemilih) agar dapat dipilih dan  pada saat hari pemungutan suara. Pada hari pemungutan suara tepatnya di bilik suara para pemilih akan menentukan pilihannya  kepada calon yang mempunyai visi misi yang baik dan saat pemilih mencoblos maka terjadilah kontrak sosial antara pemimpin dan pemilihnya.

Namun proses rekruitmen kepemimpinan melalui  Pilkada yang berlandaskan prinsip langsung , umum, bebas, rahasia, jujur dan adil tersebut harus tercederai disebabkan maraknya kontestasi politik yang diwarnai oleh pemberian uang atau barang.

Pelaksanaan Pilkada yang jelas- jelas tidak lagi berjalan sesuai prinsip yang diatur dalam Undang- undang mengakibatkan kepada kualitas Pilkada serta menurunnya kepercayaan masyarakat kepada hasil pemilihan yang berujung pada menurunnya partisipasi masyarakat pemilih.

Indonesia merupakan negara demokrasi yang masih terhitung sangat muda dilihat dari pelaksanaan pemilu pemilu legislative dan presiden serta pilkada baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/ kota. Akan tetapi secara faktual, proses demokrasi tersebut terhambat dengan maraknya politik uang yang terjadi tidak hanya di tingkat elit namun juga terjadi di tingkat akar rumput dalam bentuk jual beli suara.

Sudah menjadi rahasia umum banyak kandidat/ calon yang melakukan kampanye pemilu dengan memobilisasi pemilih melalui pendekatan transaksional. Dan yang menjadi target utama dalam hal  jual beli suara adalah para pemilih yang memiliki tingkat factor sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah . Praktek jual beli suara yang dilakukan adalah dengan memberikan uang tunai , hadiah, sembako dan lain – lain.

Politik uang yang makin hari kian marak namun sangat sulit di buktikan dan di berikan efek jera kepada pemberi uang maupun penerima uang hal itu dikarenakan mekanisme penegakan hukum yang tidak berjalan .

Adanya transaksi dalam bentuk jual beli suara yang dilakukan oleh kandidat/ calon menjelang hari pemungutan suara tanpa pemberlakuan sanksi langsung membuat masyarakat tidak lagi berharap pada hasil pemilihan disebabkan jauh- jauh hari sudah mengetahui bahwa yang akan menang adalah kandidat/ calon yang memiliki banyak uang .

Politik uang mengakibatkan kualitas pemilu/ pilkada menurun. Sebagaimana kita ketahui bahwa kualitas pemilu/ pilkada ditentukan oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih . Politik uang tidak hanya menyasar pemilih namun juga kepada peserta pemilu dan penyelenggara .

Politik uang secara umum dimaksudkan memberikan uang  kepada orang lain untuk memilih atau tidak memilih kandidat tertentu dalam pemilihan umum . Ada tiga unsur yang terdapat dalam politik uang , pertama insentif dimana dapat berupa jabatan, janji - janji tertentu ataupun berbentuk uang yang paling lumrah berbentuk uang , yang kedua adalah unsur ajakan yang paling sering adalah mengajak untuk memilih kandidat tertentu atau partai politik dalam sebuah pemilihan . Akan tetapi bisa juga terjadi bahwa politik uang yang di berikan menyebabkan konstituen di tempat tertentu tidak memilih kandidat, selanjutanya adalah unsur politik uang yang diberikan utamanya kepada pemilih dalam hal ini orang tertentu untuk memilih namun suap ini juga bisa diberikan kepada penyelenggara KPUD , Bawaslu .

Miris saat kita mendengar banyak calon legislatif / kandidat diluar sana yang memberikan komentar akan menang karena mereka memiliki dana dan logistik sehingga tidak perlu bekerja sejak di mulai tahapan pemilu namun bekerja seminggu terakhir atau tiga hari bahkan satu hari sebelum pemilihan.

Politik uang yang terjadi menimbulkan bahaya bukan hanya bagi kandidat/ calon akan tetapi juga bagi pemilih yaitu bahwa dengan politik uang tersebut kandidat tidak memiliki keterikatan dengan konstituen , ikatan dengan konstituen hanya diukur dengan uang saja dan tidak memiliki hubungan yang baik dengan konstituen . Kondisi ini sangat membahayakan karena apabila kandidat tersebut terpilih maka apapun yang dikatakan dan di kerjakan semuanya akan diukur dengan uang, tidak ada ikatan yang benar- benar tulus sehingga kandidat tidak bisa menjadi penyambung lidah bagi konstituen .

Bahaya selanjutnya adalah uang yang dikeluarkan pastilah tidak sedikit karena masing- masing memiliki kompetitor, dan tidak hanya itu masih diperlukan juga jaringan untuk bisa mendistribusikan uang. Belum lagi bila uang yang sudah diserahkan kepada pemilih namun tidak dipilih. Politik uang membuat kandidat harus berfikir pengembalian modal setelah terpilih.

Kualitas pemilu/ pilkada yang sangat di tentukan oleh kualitas  peserta pemilu , pemilih dan penyelenggara ini haruslah melakukan kerja- kerja yang dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat agar hasil yang di dapat dari proses pemilihan juga mendapat legitimasi .

Peserta pemilu yang seharusnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dengan menawarkan visi/misi atau konsep penyambung lidah yang baik untuk keterpilihannya tidak kemudian melakukan praktik- praktik politik uang dengan membeli suara atau melakukan transaksi seperti mahar politik , dana kampanye dan lain- lain.

Politik uang  dalam undang- undang nomor 7 tahun 2017 merupakan sebuah pelanggaran yang berakibat kepada dibatalkannya kandidat dan pidana masih sulit kita dapatkan disebabkan lemahnya penegakan hukum dimana pembuktian seseorang yang melakukan tindakan suap atau politik uang hanya di berikan waktu 3 x 24 jam dan ini menjadi sulit bagi penyelenggara untuk mengumpulkan bukti.

Politik uang yang makin hari kian marak terjadi dalam kontestasi pemilu/ pilkada akan merusak kualitas dan representasi demokrasi , untuk itu diperlukan revisi terhadap undang- undang terkait perluasan dana kampanye bukan hanya pada masa kampanye saja namun semua dana mulai dari hulu ke hilir yang di keluarkan oleh kandidat/ calon, perlu adanya langkah hukum yang tepat dan cepat untuk penegakan hukum dan perlu adanya aturan pembatasan belanja kampanye yang menjamin kesetaraan berkompetisi serta peningkatan pendidikan pemilih pemula. tentang tolak politik uang .

Photo: Marida Fitriani (dok: pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun