pernikahan dini rasanya sudah cukup lama melekat pada masyarakat kita. Meskipun pemerintah telah memberikan upaya dalam rangka penekanan praktik pernikahan dini dengan menetapkan usia yang bisa menikah adalah 19 tahun, namun nyatanya regulasi pun belum ampuh dan masih banyak masyarakat kita yang tak acuh akan urgensi dan dampak buruk kasus pernikahan dini. Yang perlu menjadi perhatian adalah kurangnya pemahaman pendidikan seksual serta stigma buruk di masyarakat yang turut berperan dalam sikap tak acuh masyarakat.Â
IsuDi sekolah, pemahaman tentang pendidikan seksual dan resiko pernikahan dini masih pasif, dan di masyarakat hal-hal yang terkait dengan pemahaman kedua informasi ini masih dibuat sangat tabu, bahkan orang tua pun enggan membicarakannya bersama anak-anaknya sebab dianggap tak pantas. Hal ini perlu diperhatikan, jangan sampai negara hanya menggembar-gemborkan bonus demografi negara tapi buta akan kasus pernikahan dini yang masih membayangi generasi mudanya. Bonus demografi akan sia-sia bila generasinya sendiri tak mampu produktif dan justru terkurung dalam jerat pernikahan di usia dini.
Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2021, angka pernikahan dini di Indonesia adalah 20:1000, angka ini berarti dari tiap 1000 orang, 20 diantaranya mengalami pernikahan dini. Data lain, pada Januari hingga Juni 2020, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat terdapat 34 ribu permohonan dispensasi pernikahan dini, dimana 97 persen permintaan tersebut dikabulkan. Data ini menunjukkan bahwa praktik pernikahan dini masih menjadi permasalahan sosial yang masih berlanjut dan tak berujung.
Mari kita telaah tentang berbagai alasan terjadinya pernikahan dini. Banyak faktor yang menjadi alasan terjadinya pernikahan dini di negeri ini, salah satunya adalah faktor agama dan budaya setempat. Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya pemeluk agama Islam, alasan yang paling banyak digunakan untuk melanggengkan praktik nikah muda adalah karena takut melakukan zina. Padahal dalam bahasan Islam sendiri pernikahan bukanlah hanya dilihat dari faktor biologis saja namun terdapat beberapa fungsi perkawinan yang harus dipenuhi apabila seseorang ingin menikah diantaranya adalah fungsi pendidikan, fungsi ekonomi, fungsi agama dan fungsi cinta kasih.
Quraish Shihab dalam tayangan video Youtube di kanal Najwa Shihab mengungkapkan bahwa pernikahan yang didasari atas ketakutan akan zina dapat mengakibatkan penyakit lain yang lebih parah dibanding perzinahan, yakni akan lahirnya anak-anak yang tak terdidik yang kedepannya juga turut mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Sebagai orang tua, jika anak belum mampu untuk bertanggung jawab jangan memaksakannya untuk menikah cepat hanya karena takut zina. Namun sebaliknya lakukanlah fungsi anda sebagai orang tua, sebagai keluarga, didik anak dengan baik, lakukan fungsi pendidikan, pemeliharaan, dan agama, termasuk mengajari mereka bagaimana mengontrol diri.
Faktor lain yang melatarbelakangi tingginya kasus pernikahan dini diantaranya adalah kurangnya pendidikan seksual serta kurangnya informasi mengenai risiko nikah dini. Pernikahan dini pada dasarnya beresiko dalam meningkatkan kasus putus sekolah dan  kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, dampak buruk dalam psikologis juga akan muncul, seperti timbul kecemasan, stress, ataupun depresi karena belum stabilnya kematangan psikologis anak tersebut.Â
Dalam hal ini, pernikahan dini juga berpotensi merenggut hak anak karena mereka dipaksa menjadi dewasa dan berkemungkinan kehilangan jati dirinya. Beberapa risiko lain dari pernikahan dini diantaranya yang dapat menimpa perempuan seperti bahaya sistem reproduksi, kehamilan bermasalah bahkan kematian ibu dan anak. Di sisi lain, anak yang dilahirkan juga beresiko lahir prematur, mempunyai disabilitas atau mengalami stunting. Pernikahan dini menjadi salah satu penyumbang utama kelahiran bayi stunting dan berpotensi menimbulkan kanker mulut rahim pada perempuan.
Merevisi sistem pendidikan dan mengubah pola pikir orang tua
Mengapa harus orang tua dan guru yang menjadi pion terdepan? Sebab kedua peran tersebut sangat dekat dan esensial dengan anak. Orang tua sebagai bagian masyarakat terkecil yang dapat memberikan pemahaman dasar kepada anak serta berperan dalam merubah pola pikir mereka tentang pendidikan seks. Guru sebagai fondasi pendidikan, menjadi teladan dan rujukan bagi anak didiknya serta masyarakat di sekitarnya.
Nawita (2013) mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan seks untuk remaja sejatinya bukanlah untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seks antara remaja. Namun bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seks sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan.
Dalam perspektif Nugraha dan Wibisono (2016), menjelaskan bahwa tidak ada salahnya berdialog tentang seks dengan anak laki-laki dan anak perempuan secara bersamaan, karena bagaimanapun juga anak laki-laki perlu mengetahui lebih jauh tentang anak perempuan dan juga sebaliknya.