Mohon tunggu...
Maria Vanessa Ferdianto
Maria Vanessa Ferdianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Merupakan mahasiswa psikologi yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Airlangga. Memiliki ketertarikan dalam ilmu parenting, perkembangan anak, dan ilmu psikologi dan sedang belajar untuk menulis mempubikasian opini

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Strawberry Generation VS Generasi Z: Mencari Akar Masalah dan Solusi

8 Mei 2023   16:35 Diperbarui: 8 Mei 2023   17:09 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring berkembangnya zaman, tidak sedikit masyarakat yang menganggap generasi Z atau individu yang lahir antara tahun 1997-2012 tumbuh menjadi pribadi yang manja dan lemah mental. Argumen yang kerap kali diungkapkan oleh masyarakat tadi, rupanya juga didukung oleh penelitian dari American Psychological Association (APA) pada tahun 2018, yang melaporkan sekitar 91% dari generasi Z merasa stress terkait dengan masalah politik, iklim, dan keamanan online, dibandingkan dengan 72% dari orang dewasa pada umumnya. Selain itu, sebuah survei dari Blue Cross Shield Association menunjukan bahwa jumlah diagnosis depresi pada generasi Z meningkat sebesar 47% antara tahun 2013 dan 2016. Angka depresi yang dialami oleh para generasi Z yang makin hari kian meningkat, membuat para masyarakat luas berpikir, “Mengapa dengan segala kemudahan yang ada pada zaman sekarang justru membuat generasi Z makin menderita sehingga angka depresi terus melonjak?” Pemikiran serupa membuat lahirnya istilah “Generasi Strawberry” yang seringkali digunakan untuk melabeli karakteristik para generasi Z. Apakah benar generasi Z memiliki mental layaknya strawberry ? Untuk memahami penyebab dan solusinya, mari simak terus!

Istiliah generasi strawberry awalnya muncul dari negara Taiwan, yang dimaksudkan untuk menjelaskan tentang generasi yang tampak indah, namun ketika diberi sedikit tekanan ia akan mudah sekali untuk hancur. Menurut Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul “Strawberry Generation” generasi strawberry adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Ada banyak faktor yang menyebabkan generasi strawberry akhirnya menjadi sebuah fenomena sosial, diantaranya karena :

1. Kebiasaan melakukan self diagnose

Kemajuan teknologi membuat para generasi Z makin mudah untuk mengakses informasi, namun sayangnya tidak semua informasi yang beredar di internet adalah benar. Mungkin saja kita telah terpapar oleh informasi yang kurang tepat jika tidak menyaringnya dengan teliti. Kemudian kita mencoba mencocok-cocokkan apa yang terjadi antara diri kita dengan apa yang dikatakan dalam sosial media. Karena cocok, kemudian kita mengvalidasi secara mandiri tentang gejala mental yang kita rasakan, mulai merasa tertekan, stress, dan bahkan depresi. Self diagnose sangat berbahaya karena melalui self diagnose kita bisa membuat suatu masalah yang ada menjadi suatu masalah yang parah dan dapat menganggu kesehatan mental kita.

2. Pola asuh orangtua 

Dalam tumbuh kembang anak, peran orangtua tentunya sangat besar. Jika seorang anak tumbuh dengan pola asuh yang terlalu dimanjakan, over protective, dan selalu mengendalikan hidup dan pilihan anak, besar kemungkinan anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kesulitan untuk menentukan mana yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri, tidak mandiri, dan selalu mengantungkan hidupnya pada kaki orang tuanya. Alih-alih “menyetir” kehidupan anak, orangtua dapat mengajarkan anak tentang  bagaimana cara menghargai usaha. Sehingga pada keadaan tertekan mereka sudah memiliki pemikiran bahwa segala hal yang indah membutuhkan proses dan perjuangan.

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua generasi Z adalah pribadi yang memiliki mental layaknya strawberry. Jika sampai sini kita masih menyetujui bahwa semua generasi Z adalah generasi strawberry artinya kita sama saja menjustifikasi sebuah stereotip. Karena sesungguhnya istilah generasi strawberry yang melekat pada generasi Z bukanlah sebuah fakta namun sebuah fenomena sosial yang saling dihubungnkan. Menurut opini saya, disini saya juga tidak mengatakan 100% salah, karena dari banyaknya populasi generasi Z di dunia, terdapat kemungkinan bahwa segelintir kelompok generasi Z memang memiliki mental layaknya strawberry seperti yang dijelaskan sebelumnya. Hal ini menuju ke pertanyaan selanjutnya yaitu, solusi apa yang dapat kita lakukan untuk menghadapi fenomena generasi strawberry ini ?

1. Sebagai generasi Z yang sudah diberi berbagai macam kemudahan untuk mengakses informasi, tentunya kita harus rajin untuk memperbaharui ilmu kita dengan meningkatkan literasi. Tentunya tidak dengan langsung menelan informasi yang kita dapatkan namun, juga perlu diimbangi dengan pengecekan kembali.

2. Hati-hati ketika melakukan self diagnose. Jika memang sedang menghadapi masalah yang cukup berat dan merasa membutuhkan bantuan, lebih baik datang dan meminta pertolongan pada tenaga ahli seperti psikolog atau psikiater karena, self diagnose tidak akan membereskan situasi tapi justru memperkeruh.

3. Orang tua juga memiliki peranan yang besar agar generasi strawberry ini dapat segera teratasi dengan cara, tidak terlalu memanjakan anak, memberi konsekuensi dari setiap perilaku yang dilakukannya, dan memberikan pemahaman dan perhatian yang lebih kepada anak.

Ditulis oleh : Maria Vanessa Ferdianto – Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun