Mohon tunggu...
Politik

Ruang Publik untuk Demokrasi yang Sehat

17 Mei 2016   17:02 Diperbarui: 17 Mei 2016   17:12 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Contoh Kasus: Pasar Prawirotaman Yogyakarta)

Ruang publik (public sphere)sebagaimana yang dijelaskan JürgenHabermas (1889) adalah sebuah ruang mandiri yang bukan hanya sekedar ruang secara fisik namun sebagai wadah berkumpulnya orang-orang untuk berdiskusi berdasarkan rasionalita. Melalui hal ini tersebut, kemudian diharapkan akan muncul forum publik yang terbuka terkait politik dalam kebebasan berbicara. Adanya ruang publik akan membentuk opini publik, sejalan dengan teori aksi komunikatif Habermas. Yang secara sederhanannya, konsep ruang publik ini bisa hadir ketika ada komunikasi antar individu.

Kemampuan ruang publik untuk membentuk opini publik dilihat sebagai suatu prospek “konsep ideal” demokrasi masa kini, dimana negara demokrasi yang sehat ditentukan oleh ruang publik yang sehat. Dan rasionalitas publik diharapkan mampu ditingkatkan melalui medium dialog dan interaksi. Pemaknaan ruang dalam hal ini benar-benar lepas dari wujud fisiknya. Siapapun bebas menyatakan argumen dan sikap tanpa ada batasan apapun. Habermas juga menambahkan bahwa ruang publik tersebut harus bebas dari intervensi dan ketidaktransparanan serta terbebas dari ruang negara (unsur politik) dan permintaan pasar (market). Walaupun pemaknaan ruang saat ini malah mengabur dengan tempat.

Kota Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebuah kota kecil yang padat penduduk. Yogyakarta sebagai daerah istimewa, sejak zaman Mataram, konsep tata ruangnya diciptakan sedemikian rupa untuk keberlangsungan kebudayaan dan tatanan sosial dalam pengembangan kota. Dan pasar menjadi salah satu dari empat elemen penting konsep tata ruang Catur Gatra Tunggal yang ada sejak zaman Kerajaan Mataram hingga saat ini, yakni sebagai jantung perekonomian. Dengan adanya pasar, perdagangan menjadi hidup, kota menjadi ramai dan makmur (Toponim Kotagede, 2011).

Kota Yogyakarta memiliki titik-titik lokasi penggerak perekonomian yang menjadi bagian penting dalam pembentukan opini publik, Pasar Prawirotaman adalah salah satunya. Pasar Prawirotaman yang berlokasi di Jalan Parangtritis ini beroperasi setiap hari dan mulai aktif sejak pukul 03.00 subuh hingga malam hari. Pada pagi hari pada umumnya pasar akan ramai dengan pedagang yang menjual kebutuhan pokok seperti beras, sayur-mayur, buah-buahan, daging, ikan, dan lain-lain hingga siang hari. Di sore hari ketika bagian utama pasar tutup, lalu dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang kaki lima yang menjual masakan-masakan seperti bakmi Jawa, mie ayam, capcay, bakso dan lain-lain di halaman lingkungan pasar.

Di pagi hari para pedagang, pembeli, supplier, dan wisatawan ada di lingkungan pasar dengan berbagai kebutuhan dengan latarbelakang yang bermacam-macam. Sebagian datang dengan transportasi bermacam jenis terkait dengan faktor kebutuhan (moda transportasi dan moda angkut) dan jumlahnya begitu padat hingga membengkaknya jumlah kendaraan di sekitar area pasar bahkan ke jalan utama (Jalan Parangtritis). Aktivitas padat sepanjang hari yang terjadi di Pasar Prawirotaman ini kadang dipermasalahkan akibat tingginya penggunaan kendaraan yang tidak dibarengi dengan penyediaan lahan parkir yang memadai, terutama pada jam-jam padat pasar pagi hari. 

Sehingga sebagian bahu jalan lalu lintas utama (Jalan Parangtritis) sebagai jalur sekunder (berdasarkan PERDA No. 2 tahun 2010 Tentang RTRW Kota Yogyakarta pasal 30 dan 31) sekaligus adalah jalur pesepeda (program pemerintah: Sego Segawe pada tahun 2008) dimanfaatkan oleh masyarakat dan pedagang di Pasar Prawirotaman sebagai alternatif lokasi parkir. Dalam hal ini konsep tata ruang kembali dipertanyakan atas terjadinya kebijakan ganda dalam praktik di lapangan, dengan pertimbangan ketidaksesuaian pengaplikasian antara pembuatan jalur sepeda dengan ketentuan jalur sekunder.

Namun mengingat munculnya restoran, kafe atau tempat nongkrong ‘berkelas’ yang menjamur di Yogyakarta, khususnya di daerah sekitar Pasar Prawirotaman, kegiatan di pasar ada baiknya dipandang sebagai budaya warisan dan bermanfaat tanpa memandang kelas. Pasar juga mampu menjalankan fungsinya (tanpa memandang suku, ras, golongan dan kelas-kelas tertentu) sebagai ruang bertemu, berinteraksi, dan bernegosiasi yang dekat dengan masyarakat. Siapapun dalam kelas ekonomi apapun dapat membaur di tempat ini.

Di Indonesia, negara melindungi faktor penting berfluktuasinya ruang publik secara praktis, didalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD). Tertulis didalam pasal 28 ayat F,  “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pada kenyataannya, yang ramai terjadi belakangan seputar isu kebebasan mengemukakan pendapat di ruang publik justru bertentangan. Seperti data yang dirilis beberapa waktu lalu oleh Nasional Kompas tentang kebebasan berekspresi di ruang publik. 

Juga yang beberapa kali dirilis oleh SafeNet mengenai beberapa pelanggaran kebebasan berekspresi sejak 2015. Di Indonesia, khususnya Yogyakarta banyak tanggapan dan aksi yang kurang bersahabat dalam merespon hak-hak kebebasan berekspresi terkait dengan perihal mengemukakan pendapat. Beberapa diantaranya bahkan dilakukan dengan tindakan-tindakan intimidasi, interogasi, perusakan, prembredelan, hingga kekerasan fisik yang malah dilakukan ditempat-tempat yang memfasilitasi forum publik terbuka yang justru memberi pengetahuan.

KESIMPULAN

Ruang publik dalam pembentukan opini publik perlu perhatian lebih. Terlebih Yogyakarta sebagai kota padat penduduk yang juga adalah bagian dari penentu berjalannya sistem demokrasi yang sehat. Yang pada perkembangannya ruang publik akan menyangkut ruang yang tidak saja bersifat non fisik seperti media massa atau media sosial, namun juga mampu diciptakan baik itu di lapangan sepak bola, angkringan, salon, bahkan pasar, selama ada ruang untuk berlangsungnya proses komunikasi. Dan untuk dapat mengemukakan pendapat atau pemikiran-pemikiran secara bermanfaat, ada baiknya setiap warga negara membekali diri dengan membaca dan kepekaan atas lingkungan sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Hardiman, Budi Fransisco. 2003. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Wibowo, Erwito, dkk. 2011. Toponim Kotagede: Asal Muasal Nama Tempat. Yogyakarta: Rekompak, Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya, Java Reconstruction Fund, Forum Joglo (Forum Musyawarah Bersama Sahabat Pusaka Kotagede).

Setyaningrum Pamungkas, Arie. 2016.”Kaum Muda dan Kebutuhan Atas Ruang Publik”. Matajendela XI Nomor 1/2016.

TAUTAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, diakses pada 20 April 2016 pukul 18.25 WIB.

Kebebasan Berekspresi, diakses pada 15 Mei 2016 pukul 13.50 WIB.

Ini Daftar 41 Pelanggaran Kebebasan Berekspresi Januari 2015-Mei 2016, diakses pada 17 Mei 2016 pukul 13.10 WIB.

*oleh Maria Inarita Uthe, Mahasiswi S1 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia. Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Kapita Selekta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun