JENJANG KARIR PERAWAT DAN SISTEM REMUNERASI
Ns. Maria Ulfah S.Kep
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Peminatan Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan
Bekerja di Puskesmas Rawat Inap Sukaraja Kota Bandar Lampung
Ringkasan Eksekutif
Perbaikan mutu sumber daya kesehatan, khususnya perawat, merupakan hal yang sangat krusial dan menjadi tantangan utama di dalam sistem kesehatan Indonesia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2020 jumlah tenaga keperawatan global mencapai 27,9 juta (ICN, 2020). Data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) jumlah SDM Kesehatan di Indonesia pada tahun 2020 adalah 1.072.679 dengan proporsi terbanyak yaitu tenaga keperawatan 40,85 % (438.234) (Kementrian Kesehatan RI, 2021). Dengan demikian keperawatan memiliki kontribusi besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Peningkatan mutu pelayanan keperawatan terutama dalam hal keamanan dan perlindungan pasien bergantung pada kemampuan dan kualitas tenaga perawat yang profesional. Langkah ini diterapkan dalam kredensial untuk memberikan wewenang klinis kepada perawat yang bekerja di rumah sakit. Namun, hingga saat ini, belum semua rumah sakit dapat melakukan pengembangan jenjang karir dalam bidang keperawatan secara penuh karena tidak ada kebijakan yang mengatur bagaimana jenjang karir perawat dapat dijadikan dasar untuk penggolongan atau pangkat.
Selain itu belum ada kebijakan yang mengatur tentang sistem penghargaan   (remunerasi)   baik   penghargaan   berupa pendidikan  berkelanjutan  atau  yang  berhubungan  dengan  peningkatan pendapatan. Karena itulah, penting untuk melakukan studi yang mendalam yang melibatkan berbagai kelompok, seperti pemerintah, organisasi profesi, akademisi, instansi rumah sakit, dan perwakilan perawat. Tujuannya adalah agar kebijakan yang dihasilkan dapat mengakomodasi hal ini dan diterapkan di lapangan dengan maksimal. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi perkembangan profesi keperawatan serta peningkatan kesehatan dan kesejahteraan individu dan masyarakat Indonesia, sejalan dengan visi Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945.
Ketersediaan tenaga perawat yang bermutu sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Salah satu issu strategis kesehatan adalah terkait kualitas sumber daya kesehatan dimana tenaga kesehatan harus professional dan memiliki kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (UU No 36, 2014) dimana pelayanan keperawatan professional merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit (Undang-Undang RI No 38, 2014). Perawat juga memiliki berbagai peran sebagai pemberi asuhan (care provider), pemimpin komunitas (manager and community leader) pendidik (educator), pembela (advocator), dan peneliti (researcher) (PMK 26, 2019). Oleh karena itu keberhasilan asuhan keperawatan dapat tercapai salah satunya dengan dilakukannya kredensial keperawatan (Ida & Murtiningsih.et al, 2021). ). Kredensial dan rekredensial dapat meningkatkan mutu, perlindungan terhadap keselamatan  pasien,  mempertahankan  standar  pelayanan  asuhan  keperawatan  dan memberikan perlindungan kepada perawat (MF Azhari, 2023)
Kesenjangan yang terjadi pada implementasi penerapan jenjang karir perawat belum merata dimana beberapa rumah sakit pemerintah dan swasta sudah mengembangkan jenjang karir sesuai dengan kebutuhannya masing-masing meskipun belum mengarah pada pengembangan jenjang karir profesional (profesional career ladder). Pengembangan karir saat ini lebih menekankan pada posisi/jabatan baik struktural maupun fungsional (job career) sedangkan pengembangan karir profesional (profesional career) berfokus pada pengembangan jenjang karir profesional yang sifatnya individual. Oleh karena itu perlu adanya pedoman sebagai acuan nasional untuk pengembangan karir perawat baik di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan maupun primer (PMK RI No 40, 2017). Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum terjadi pemerataan jenjang karir perawat di ruang rawat inap sehingga terjadi ketidaksesuaian kewenangan klinik yang dilaksanakan (Noprianty, 2019).