[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="artistic bike"][/caption]
Tak ada yang tak tercatat pada sebatang tubuhnya; segala macam nama dari semenjak lahirnya embun hingga senja membuatnya terbaca. Berkayuh disamping angin yang membawa cerita. Aku merindukanya bukan karena tak ada yang lain selainnya. Melainkan karena aku pernah dekat dengannya. Segala ingatan meleleh disaat semua tinggal di cerita.
Jelang keberadaannya, aku sendiri bersama ayah memilih rerupa diantaranya. Setelah sebelumnyaaku belajar bergerak. Aku memilihnya sebagai teman tiga tahun masa pendidikan pertamaku nantinya. Tapi, tak ada yang bisa menebak takdir. Aku hanya dekat dengannya selama 2 tahun pertama sekolah pertamaku. Pertama kali bersamaku, diajarinya tentang sebuah keseimbangan dalam berjalan termasuk untuk sebuah kehidupan sendiri.
Selama menempuh pendidikan pertama, aku menggunakannya sebagai kendaraanku menuju sekolah. Pertamanya aku jatuh. Seragamku kotor di hari pertama. Ayah yang mengikutiku dari belakang marah dengan kasihnya. Setelah itu aku menghampiri teman yang hendak dengan tujuan yang sama. Namun, dia lebih pandai bersepeda daripada aku yang baru kemarin. Setiap hari aku bersama teman sedesaku berkayuh dengan sepeda-sepeda itu. Mungkin bisa kau bayangkan seperti anak-anak Laskar Pelangi begitu. Melalui jalanan berbatu dan terjal yang menjadi medan kami. Selama diperjalanan teman-temanku selalu memposisikanku di depan, agar bila ada kemungkinan terjatuh bisa langsung diketahui. Kurang lebih sebulanan aku memahaminya hingga kemudian ada seorang kawan perempuan setubuh dalam sepedaku. Saat-saat itu adalah waktu yang paling damai bagi seorang pengendara sepertiku, yang selalu bergetar untuk setiap geraknya. Tak jarang pula aku di posisi belakang saat mengendarai sendiri, saat mereka asyik bercanda dengan cekikikan saat yang lain terlewati. Kadang semua itu membuatnya lupa jika aku tertinggal dibelakang. Aku pikir temanku itu pengendara yang sangat bijak, dia pandai memilih jalan tidak sepertiku yang batu saja diterobos. Dia berusaha keras untuk tidak membuatku bergetar sedikitpun karena jalanan berbatu. Akh, betapa semua itu membuatku rindu.
Kawan bijakku itu adalah kakak kelasku, maklum jika dia lulus terlebih dahulu. Dan Anda tak melihatnya lagi bersamaku saat bersepeda. Aku kembali berkayuh sendiri bersama seorang kawan lain yang baru-baru ini ku dengar sudah hamil sedang aku masih belum selesai dengan pena dan kertas ini. Dulu, dia juga teman yang sangat baik. Aku ditemaninya dengan sangat teliti. Selalu menjagaku dari belakang. Bagiku, dia adalah pengendara yang hebat. Sepedanya menyiratkan begitu. Jujur, sepedanya memang tidak bagus, lebih bagus sepedaku. Tapi, sepedanya kuat, tak jauh beda dengan orangnya. Lain halnya denganku, lembek lembut begitu katanya. Anda bisa saja bayangkan, sepeda dengan warna hijau tua dengan bel yang seharusnya ada ditengah-tengah setir jika tak dilepas, berikut dengan tempat pemboncengan dibelakangnya. Dan biasanya Anda akan melihat tas beserta buku-buku paket tingkat pertama diikat dengan tali diatasnya.
Teman yang biasanya memboncengku, mereka kuat-kuat. Bayangkan saja tanpa mengeluh lelah dia membawaku dan sepeda itu pada jarak sekitar 3-4 km. Mungkin setengah jam saja kita berhenti. Kemudian sepeda-sepeda kami titipkan disebuah halaman luas milik seorang keluarga muda dengan seorang nenek yang lebih sering kami lihat dirumah itu daripada anggota keluarga lainnya yang masih muda. Setibanya disana, halaman luas itu sudah bersih sekali. Pemiliknya juga begitu baik. Selain halaman itu miliknya, dibersihkannya itu juga untuk tempat sepeda-sepeda kami.
Semuanya berlangsung berhari-hari dan berhenti di hari libur lalu kembali lagi. Seperti siklus yang selalu berputar. Setelah teman yang baik hati itu lulus, kakak sepupuku menggantinya. Orang tuanya yang merupakan paman dan bibiku menyuruhnya. Mungkin iba karena fisikku yang seperti ini. Bila sudah mau berangkat, kami sarapan bersama dan diluar dugaku, dia tak pernah mengeluh bagaimana nantinya dia akan membawaku bersama sepeda itu. Kebiasaan kami, bila pun dia bersepeda sendiri, aku selalu ditunggunya meski selalu lama dengan banyak persiapan ala cewek.
Tak ada yang aku ingat selain bagaimana aku mengendarai sepeda hijau itu dengan perasaan mendesir ketika kedua bannya sudah meniti batu-batu cadas jalanan desa. Aku pun begitu menikmatinya ketika tak menaikinya dijalan tanjak yang aku ingat sebanyak 2 tanjakan itu. Selama perjalanan, biasanya kami berhenti hanya untuk mendamaikan lelah. Disebuah toko kelontong, rujak krupuk di siang hari menjadi kebiasaan kami waktu itu. Penjualnya begitu baik kepadaku dan teman-teman yang lain, tak hentinya memuji karena sifat diamku yang lebih daripada yang lain. Apalagi istri penjual itu cantik dan begitu manja sekali, lebih disaat sudah memanggil suaminya. Ditemaninya dengan mengobrol banyak hal. Atau sekedar berbagi cerita merah jambu antara remajanya.
Bila sudah musim hujan, cerita kita sedikit basah. Plastik untuk bungkus tas dan buku lainnya menjadi peralatan tambahan untuk berangkat sekolah. Ada cerita yang sangat membekas hingga bekasnya pun bisa Anda lihat pada lutut sebelah kananku. Saat itu seperti biasa kita bersepeda berbaris mengular dijalanan kampung. Hingga suatu hari, karena seorang teman yang berhenti mendadak di depanku, aku jatuh seketika. Luka dan darahnya baru bisa ku temui saat berhenti di rumah penjual yang baik hati itu. Aku masih cukup ingat dengan sesenggukanku waktu itu. Suami penjual itu mengantarku kerumah. Dan sepedaku terpaksa dititipkan dirumahnya. Tetangga sekitar berdatangan kerumah, aku pun semakin menangis. Mamaku pernah bilang jika wajahku pucat sekali. Beberapa hari aku tak masuk sekolah hingga lukaku sembuh meski bekasnya masih ada. Seolah menjaga cerita itu. Orang-orang biasanya selalu menanyakan bekas luka itu.
Menginjak kelas tiga, aku tidak lagi bersepeda. Saudara sepupuku yang baru masuk sekolah menengah pertama itu memilih taksi untuk membawanya ke sekolah. Dan aku bersama kakak sepupuku pun mengikutinya. Sejak itu aku tak pernah lagi bersama sepeda itu lagi. Lanjutnya, sepeda itu lebih sering dipakai ayah untuk sekedar cari rumput saja.
Sekarang ini aku sudah menjadi pelajar disebuah universitas. Entah berapa lama aku sudah melupakan sepeda itu. Barangkali rindu, tapi seperti halnya rumah-rumahnya Sapardi, rumah selalu merindukan penghuninya bila sudah lama meninggalkannya keluar tapi, apakah si penghuni sendiri pernah merindukan rumah. Mungkin tak jauh beda dengan sepeda hijau tuaku itu. Aku baru merindukannya setelah suatu hari ayahku datang ke kos seperti minggu-minggu yang telah berlalu. Ayah menceritakan jika beberapa hari itu sepedaku sering dipakai paman, ayahnya kakak sepupuku itu. Dan berniat membelinya. Bahkan tempat duduk sepeda itu digantinya dengan yang baru. Seketika saja ingatan dari semua ingatan bergantian mengumpulkan rindu. Ingat pula saat aku sudah pulang kerumah, pamanku mengendarai sepeda itu. Sepeda itu melambai-lambai seolah-olah berusaha mengingatkanku jika aku pernah dekat benar dengannya. Namun, aku tak peduli, toh hanya sebuah sepeda. Entah kenapa, ingatan tentang kedekatanku dengan sepeda itu sudah menjadi sihir atau mantra hingga aku dibuatnya menangis seketika. Dan sekarang, aku dan keluargaku memeliharanya bukan karena apa melainkan pernah menjadi sebagian cerita kami. Waktu pernah menghadiahi cerita ini untukku dan keluarga. Dan kami akan selalu menjaga sepeda itu seperti halnya menjaga cerita ini.
Jember, 10 Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H