"Orang-orang terlalu fokus pada beras," keluh mak Marni, "padahal, di tanah ini, ada banyak tanaman yang bisa jadi makanan pokok. Bagaimana jika sorgum hilang? Bukan hanya kita yang rugi, tapi juga bumi."
Melalui sebuah diskusi sederhana di serambi rumah, Laras mendengar cerita emak tentang tantangan yang dihadapi petani pangan lokal. Harga jual sorgum sering kali lebih rendah dibandingkan beras, bahkan minimnya dukungan pemerintah serta rendahnya kesadaran masyarakat juga menjadi penghalang bagi pelestarian pangan lokal.
Namun, mak Marni pantang menyerah. Keyakinan yang begitu kuat bahwa perubahan harus dimulai dari langkah kecil. Setiap panen sorgum, ia selalu menyisihkan sebagian untuk diolah menjadi produk seperti tepung dan kue, yang kemudian dijual di pasar tradisional. Upaya meningkatkan derajat sorgum agar dapat setara dengan beras melalui inovatif dan kreatifitas tanpa mengurangi kecukupan gizi menjadikan nilai jual tinggi. Bahkan bisa menjadi peluang untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
"Kalau kita tidak memulai, siapa lagi?" katanya mantap.
Laras, yang kini berprofesi sebagai desainer grafis di Jakarta, merasa terinspirasi oleh semangat emaknya. Sehingga ia memutuskan untuk membantu memasarkan produk olahan sorgum mak Marni melalui media sosial. Dengan tagar #KEHATI dan #CintaPanganLokal, Laras berharap dapat menarik perhatian generasi muda terhadap pentingnya keanekaragaman hayati dan pangan lokal.
Melalui akun media sosial yang dikelolanya, Laras membagikan cerita dan pengalamannya tentang bagaimana sorgum menjadi bagian penting dari kehidupan di desa Lumbung Kerep. Bahkan  kerap mengunggah resep-resep tradisional berbahan dasar sorgum yang dikemas dengan gaya modern penuh kreasi, seperti sorgum cookies dan smoothie sorgum dipromosikan sebagai pilihan sehat karena rendah indeks glikemik dan tinggi serat, sehingga baik untuk menjaga kadar gula darah (Avif & Dewi, 2022).
Keinginan untuk menghidupkan warisan tanaman leluhur menjadi tujuan utamanya. Tidak butuh waktu lama, unggahan Laras menarik perhatian banyak orang. Pesanan produk olahan sorgum mulai berdatangan, tidak hanya dari dalam negeri saja bahkan juga dari luar negeri. Bagi Laras, hal ini bukan sekadar soal bisnis, tetapi juga langkah kecil untuk melestarikan keanekaragaman hayati pangan Indonesia.
"Betapa bangganya diriku, setiap kali aku melihat orang mencoba sorgum untuk pertama kali," ujar Laras, "ini adalah bukti bahwa pangan lokal kita tidak kalah dengan makanan modern" sambungnya.
Di tengah ancaman perubahan iklim dan krisis pangan global, keberadaan pangan lokal seperti sorgum, sukun, dan gembili menawarkan solusi yang berkelanjutan. Tanaman-tanaman ini tidak hanya kaya nutrisi, tetapi juga memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem. Harapan dunia untuk mempertahankan pangan lokal menjadikan tantangan bagi masyarakat (Dewi & Ariani, 2023).
Mengutip seorang ahli pertanian yang pernah mengunjungi desa Lumbung Kerep, "Tanaman lokal seperti sorgum adalah masa depan kita, dengan keanekaragaman hayati yang kita miliki, Indonesia bisa menjadi contoh bagi dunia dalam menciptakan sistem pangan yang berkelanjutan."
Cerita mak Marni dan Laras menjadi cerminan kecil dari perjuangan besar untuk melestarikan keanekaragaman hayati pangan. Setiap pilihan yang kita buat di meja makan, mulai dari memilih bahan lokal hingga mengurangi makanan instan, merupakan langkah nyata untuk menjaga bumi.