Sepuluh hari lebih saya belum menulis di Kompasiana. Berasa punya PR banget nih. Lama tidak mengasah kemampuan menulis. Meskipun saya memiliki blog pribadi, entah kenapa vibes-nya beda manakala menulis di akun Kompasiana. Seperti ada tantangan tersendiri.
Kali ini saya ingin menulis tema relasi menantu dan mertua. Tema ini sebenarnya menjadi topik pilihan Kompasiana, namun sudah cukup lama juga. Entahlah apa masih ada atau sudah tenggelam dan diganti dengan topik pilihan lainnya. Pastinya tema yang sangat menantang untuk ditulis mengingat kita hidup di era serba terbuka dengan segala jenis informasi.Â
Jadi ceritanya saya sudah lama pengen cerita di Kompasiana, kalau di beranda FYP TikTok saya sering muncul akun-akun yang sering membahas tentang mertua. Tidak perlulah saya menyebutkan nama akunnya, namun setiap postingannya selalu membahas hubungan yang tidak harmonis dengan mertua.
Mertua sendiri merupakan orang tua dari suami atau istri kita. Mertua layaknya ayah dan ibu juga terdiri dari mertua laki-laki dan mertua perempuan. Pada kenyataannya, dalam kehidupan ini yang sering terjadi konflik adalah antara menantu perempuan dan mertua perempuan. Meskipun sebenarnya tidak menutup kemungkinan konflik bisa terjadi antara mertua laki-laki dengan menantu perempuan, mertua perempuan dengan menantu laki-laki bahkan konflik bisa terjadi antara mertua laki-laki dan menantu laki-laki.
Tentunya kita ingin donk menjadi menatu idaman bagi kedua orang tua suami, namun kembali lagi semua orang punya pola pikirnya masing-masing dan tidak bisa mereka mengikuti cara berpikir kira. Pun sebaliknya.
Apabila pasangan suami istri setelah menikah langsung pisah rumah dengan orang tua, maka konflik dengan mertua bisa dihindari. Tapi bagaimana jika kondisi ekonomi belum memungkinkan? Maka solusi terbaik adalah tinggal bersama kedua orang tua terlebih dahulu, sembali menabung agar bisa hidup mandiri.
Kembali lagi membahas akun TikTok yang sering curhat tentang hubungan yang buruk dengan mertua, menurut saya pribadi tidak perlu sampai diunggah ke media sosial. Setidaknya ketika kita mengalami kendala dalam berkomunikasi dengan mertua sehingga rawan menimbulkan konflik, maka harus mencari solusi agar hubungan tetap harmonis. Minimal tidak saling menjelekkan satu sama lain.
Chemistry Antara Menantu dan Mertua, Apakah Perlu atau Hanya Sebatas Basa Basi?
Tidak tinggal serumah dengan orang tua pasangan bisa dikatakan merupakan suatu bentuk kemandirian dari sepasang suami istri. Walaupun begitu, silaturahmi dan komunikasi dengan mertua tetap harus ada demi tidak terputusnya hubungan keluarga. Apabila berada tidak satu kota dengan mertua, maka komunikasi bisa tetap dilakukan melalui panggilan telepon atau video call. Sekarang zaman sudah semakin canggih sehingga silaturahmi dengan jarak terjauh pun tetap bisa dilakukan.
Konflik dengan mertua tidak terjadi hanya ketika menantu dan mertua tinggal dalam satu atap. Saya lihat beberapa akun yang curhat di media sosial, bercerita beragam tuntutan orang tua terhadap anak yang sudah menikah, baik itu anak lelaki maupun anak perempuan, kerap menimbulkan konflik. Sebut saja orang tua yang masih meminta jatah uang bulanan anak di luar batas kemampuan finansial anak, membuat pasangannya yang tentu saja statusnya sebagai menantu merasa terganggu.
Dari sini kemudian muncul bibit-bibit konflik yang menimbulkan ketidakharmonisan mertua dan menantu. Yang muncul justru sebatas basa basi menantu kepada mertua sehingga hubungan pun makin renggang. Lalu bagaimana sih menciptakan chemistry antara menantu dan mertua, berikut tips sederhana dari saya:
1. Memahami Batasan Sebagai Mertua dan Menantu
Ketika anak sudah menikah, tentu saja orang tua sudah tidak bertanggung jawab lagi terhadap sang anak. Orang tua hanya bisa mendoakan akan kebahagiaan anak serta menantu. Orang tua sebaiknya tidak boleh mencampuri urusan anaknya yang sudah menikah, kecuali untuk keadaan yang darurat.
Demikian halnya dengan anak, sudah tidak selayaknya membebani kedua orang tuanya lagi. Anak perempuan yang sudah menikah akan menjadi tanggung jawab suami, anak lelaki yang suah menikah bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya kelak. Anak yang sudah menikah namun masih ingin membantu perekonomian orang tua tentu akan semakin mendapatkan berkah karena menjadi anak yang berbakti. Namun bagi anak yang memang tidak memungkinkan kondisi perekonomiannya, sehingga belum dapat membantu orang tua, maka harus disikapi dengan bijaksana oleh orang tua.
Orang tua juga harus dapat memahami batasan ketika berinteraksi dengan anak maupun menantu. Bukan hanya faktor ekonomi saja yang rawan menimbulkan konflik, pola pengasuhan orang tua terhadap cucu kadang menimbulkan konflik dengan anak dan menantu sebagai orang tua cucu, sehingga chemistry antara menantu dan mertua tidak dapat terjalin dengan baik.
Ketika mertua dan menantu saling memahami batasan dalam kehidupan keluarga, maka Insha Allah konflik pun bisa dihindari.
2. Berdiskusi Apabila Terjadi Kesalahpahaman
Mungkin point kedua ini akan sulit untuk dilakukan. Apalagi mungkin bagi sebagian masyarakat kita beranggapan bahwa orang yang lebih tua akan merasa benar di setiap keputusan mereka. Namun sebenarnya tidaklah demikian. Orang tua sebagai individu yang usianya jauh di atas anak serta menantu, setidaknya berkenan melakukan instrospeksi apabila melakukan kesalahan.
Manusia hanyalah makhluk ciptaan Tuhan, dimana pasti pernah salah dan melakukan kekhilafan. Ketika anak sudah memiliki keluarga masing-masing, maka orang tua pun seharusnya berusaha untuk tidak masuk ke dalam ranah kehidupan pribadi anak beserta pasangan. Apabila sudah telanjur terjadi perselisihan dan kesalahpahaman, maka anak bisa menjadi jembatan antara pasangan dengan orang tua sebagai mertua, agar konflik bisa berhenti dan tidak melebar.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H