Mohon tunggu...
Maria Tanjung Sari
Maria Tanjung Sari Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger-Content Writer-Content Placement Artikel di Blog-Jasa Review Produk dan Jasa di Blog Untuk kerja sama bisa email di titikterang751@gmail.com

Blogger Surabaya yang mengelola beberapa blog diantaranya santaisore.com , sahabatcurhat.my.id , curhatyuk.my.id dan masih banyak lagi Senang menulis mengenai dunia HRD, suka mengamati perilaku sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ramadan di Tahun 90-an Tanpa Media Sosial

2 April 2023   11:42 Diperbarui: 2 April 2023   11:51 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ingat nostalgia masa kecil di bulan Ramadan rasanya saya baru menyadari kalau usia ini sudah tidak muda lagi, hehehe. Banyak sekali peristiwa masa kecil yang apabila dibandingkan dengan masa kini, mungkin tak ternilai harganya. Saya masih ingat ketika duduk di bangku SMP, dimana guru agama mewajibkan kami para murid untuk mendapatkan tanda tangan khatib yang memberi ceramah usai shalat tarawih. Otomatis, saya dan beberapa teman lainnya harus mengikuti shalat tarawih terlebih dahulu, lalu menunggu sampai khatib selesai memberikan ceramah dan menghadap untuk meminta tanda tangan beliau.

Bagi beberapa murid sekolah yang unik (saya tidak menyebutnya bandel), mereka hanya bermain di pelataran masjid sambil menunggu khatib selesai memberi ceramah. Setelah itu ikut berduyun-duyun antri meminta tanda tangan khatib untuk kemudian dikumpulkan keesokan harinya kepada guru agama.

Jadi dulu rumah tempat tinggal saya dan beberapa teman sekolah cukup berdekatan, sehingga kami akan saling menunggu satu dengan yang lain ketika hendak pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat tarawih.

Pada akhir Ramadan biasanya sekolah tempat saya menuntut ilmu akan mengadakan sejenis pesantren kilat yang memang dikhususkan bagi internal para murid dan itupun hanya berlangsung selama 2 malam saja. Masih terbayang dalam kenangan, saya yang penakut pergi ke kamar mandi beramai-ramai untuk membersihkan diri menjelang sahur dengan teman-teman lain yang tak kalah penakutnya. Maklum saja, ada rumor beredar kalau gedung sekolah kami ada "penunggunya". Biasalah, dongeng anak kecil di kala itu. Kalau sekarang justru hantu diburu sebagai konten dan diunggah ke  media sosial kan, hehehe.

Tahun 90an merupakan tahun dimana teknologi belum berkembang pesat seperti sekarang ini. Bukber atau buka puasa bersama saja biasanya hanya diselenggarakan oleh tempat kerja almarhum Bapak, yaitu di salah satu rumah sakit swasta yang ada di kota Balikpapan. Itu pun hanya sekali. Tidak seperti sekarang, dimana saya perhatikan undangan buka puasa bersama seperti antri untuk didatangi.

Buka puasa di tahun 90an pastinya jauh dari hingar bingar update status di media sosial seperti sekarang ini. Pengumuman akan diadakannya buka puasa pun hanya melalui mulut ke mulut para karyawan, lalu almarhum Bapak mengajak kami sekeluarga untuk pergi ke tempat acara tersebut.

Di rumah, ketika bersiap untuk berbuka puasa, kami sekeluarga pun duduk di meja makan tanpa sibuk dengan gawai masing-masing. Tentu saja, karena di tahun 90an belum ada gawai seperti sekarang. Yang terdengar hanyalah cerita dari masing-masing anak, yaitu saya dan kedua kakak. Orangtua akan menjadi pendengar yang baik ketika anak-anak mulai bercerita mengenai keseharian mereka, sembari menunggu azan Maghrib berkumandang. 

Moment Ramadan di tahun 90an bagi saya justru menjadi sarana mendekatkan diri anak-anak dengan orangtua mereka, tanpa terdistraksi dengan kehadiran gawai seperti sekarang ini.

Untuk hidangan Ramadan, Ibu lebih banyak memasak sendiri masakan untuk sahur dan juga berbuka puasa. Selain lebih hemat, jarak rumah ke pasar Ramadan di tahun 90an cukup jauh untuk dijangkau. Ibu hanya bisa pergi ke pasar Ramadan ketika hari Minggu ditemani almarhum Bapak. 

Masih ingat dalam memori saya, berbagai hidangan buka puasa khas Kalimantan yang menggugah selera. Sebut saja Amparan Tatak, kue Bingka, dan Sari Pengantin yang biasa dibeli Ibu sepulang dari pasar Ramadan yang berada di Muara Rapak, Balikpapan. Jika sekarang saya berada di pulau Jawa, maka jarang sekali untuk bisa mendapatkan kue khas Kalimantan tersebut, kecuali memesan langsung pada ahlinya.

Berpuasa di Tahun 90an Tanpa Kehadiran Media Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun