Aku bermimpi lagi tentang gadis itu. Gadis yang membuatku lupa untuk menangis, yang membuatku lupa caranya mengabaikan orang lain dan yang membuatku hangat seperti saat pertama kali dilahirkan ibunda. Namanya irene dan dialah satu-satunya alasanku tetap hidup sampai sekarang.
Tanggal 3 Juli 1999, aku pindah sekolah dari SMA yang terkenal dan mahal ke sekolah anak-anak berekonomi menengah kebawah. Sekolahnya begitu kumuh seperti pasar saja, pikiran ku kacau terlebih usaha keluargaku yang bangkrut habis-habisan.Â
Andai saja ibunda masih hidup tentu ialah penguat ku sekarang tapi semua sudah berlalu, Tuhan sangat sayang ibundaku lantas untuk apa aku bersedih? Toh suatu hari aku akan bertemu ibunda lagi. Tiba-tiba suara bel menghentikan lamunanku, pak Ahmad mempersilahkanku masuk kelas dan memperkenalkan diri.Â
Setelahnya aku disuruh duduk disebelah seorang gadis aneh yang sangat aktif, aku rada risih dan terganggu dengan kelakuannya yang "petakilan" itu. "Hallo salam kenal emmm aku irene, temenan ama aku ya" katanya dengan sangat ceria, aku hanya menatapnya tajam dengan ekspresi jijik tanpa mengatakan sepatah katapun.Â
Tetapi dia malah tetap tersenyum, entah aku yang membencinya atau malah aku hanya iri dengan kebahagiaannya.Â
Waktu terus berlalu, tidak ada hal yang baik dalam hidupku sekarang ini, ekonomi keluargaku semakin memburuk sampai-sampai ayah rela menjadi pedagang pulsa dan beberapa jualan lain.Â
Hari itu hari selasa, hari yang paling kubenci karena kami harus saling bercerita tentang kesulitan-kesulitan kami.Â
Ketika hendak duduk, kulihat sebatang cokelat di atas kursiku dengan secarik kertas diatasnya semangat ya kamu jangan menyerah kamu ganteng kok gak bagus kalau stress mulu dari irene sejenak kulihat cokelat dan tulisan itu sampai akhirnya kubuang ditempat sampah.Â
Irene yang baru pulang dari kantin, melihat cokelat pemberiannya yang sudah berada dalam tempat sampah, kukira dia akan marah namun dia malah menyodorkan sebuah wafer besar kearahku.Â
"Kuperhatikan kau begitu pucat, mungkin wafer ini tidak terlalu bisa membuat mu kenyang tapi cobalah," katanya dengan tatapan yang khawatir. Sempat aku berpikir untuk menepis tangannya namun aku juga sadar akan kondisiku apalagi sedari pagi aku belum makan apa-apa.Â