Source: https://youtu.be/s73RYl7VhRs
Key words :
- Hukum
- Covid-19
- Perdagangan
- Paten
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak yang begitu dahsyat. Bahkan majelis umum PBB dalam resolusi nomor 74/270 telah menyampaikan bahwa dampak dari pandemi Covid-19 ini Unprecedented (belum pernah terjadi sebelumnya) yang menimbulkan gangguan terhadap kehidupan  ekonomi masyarakat dan termasuk juga dalam dunia perdagangan internasional. Sungguh merupakan dampak yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.Â
Begitu juga dalam grup G20 (the group of twenty), di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya,  menyampaikan bahwa salah satu perhatian utama kasus ini adalah mengenai arus perdagangan internasional khususnya mengenai pasokan medis dan produk-produk pertanian. Oleh karena itu, para pemimpin G20 termasuk Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Negara diharapkan  mengambil kebijakan seyogyanya terfokus pada langkah-langkah yang sesuai dengan hukum internasional, yaitu harus Targeted (sesuai target), Proportionatte (sebanding), Transparrant (terbuka), dan temporary (bersifat sementara).
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi mengatakan hal yang sama sehingga kita perlu mencari langkah inovatif. Salah satunya, Indonesia tergabung di Ministerial Coordination Group On Covid 19 yang terdiri dari 12 Menteri luar negeri di dunia di mana setiap 2 minggu sekali melakukan pertemuan dan tukar menukar pandangan tentang langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mengatasi gangguan rantai pasokan global.Â
Dua isu yang paling penting dan relevan, yaitu mengenai pembatasan ekspors akibat Covid-19 dan reaksi dari banyak Negara yang melakukan pembatasan ekspor. Mereka membatasi semua ekspornya terutama untuk pasokan alat medis, hamper seluruh Negara melakukan kebijakan ini, di mana ekspor pangan dan alat kesehatan,barang-barang medis yang terkait dengan itu tidak boleh diekspor. Konsekuensi dari pembatasan ekspor ini adalah gangguan terhadap rantai pasukan global. Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kebijakan yang diambil oleh negara-negara ini telah sesuai dengan hukum perdagangan internasional/ World Trade Organization Law?
Salah satu pasal yang terpenting dalam World Trade Organization ialah dalam Article XI GATT yang mengatakan bahwa negara tidak boleh menerapkan untuk melarang adanya ekspor, baik melalui penetapan kota atau perizinan, kecuali dalam penetapan pajak dan cukai. Namun, diperbolehkan dilakukan untuk mencegah kekurangan pangan.Â
Pemerintah boleh melakukan pembatasan ekspor dengan beberapa syarat, dan harus bersifat sementara penetapan pajak atau cukai. Jika dilihat pada kondisi saat ini, banyak negara yang telah menghentikan ekspor masker, bahan baku masker, dan bahan baku alat pelindung diri sehingga semua macet. Dengan demikian Article XI memperbolehkan pembatasan ekspor dan juga menawarkan keleluasaan asalkan ada beberapa syarat yaitu, bersifat sementara untuk mencegah kekurangan pangan atau penerapan lain produk yang penting. Ketentuan serupa ini juga terdapat di bidang agrikultur. Pada dasarnya ketentuan ini memperbolehan negara melakukan pembatasan ekspor.
Dalam Article XX, mengenai general exceptions. Negara boleh melakukan pembatasan ekspor asal untuk tujuan tertentu sepanjang bersifat sementara untuk mencegah krisis di negara tersebut. Article XX juga memberi keleluasaan kepada Negara untuk mengambil langkah dalam rangka mengejar legitimasi negaranya dan melindungi kepentingan negara, dan keadaan Pandemi Covid-19 tentu memenuhi syarat ini.Â
Yang lebih penting lagi, negara boleh menyimpangi ketentuan WTO asalkan langkah tersebut bersifat sementara dan tidak diskriminatif antar negara. Suatu langkah yang protektif dengan keadaan tertentu, selagi langkah mengatasi pandemi Covid-19 dan bukan tujuan lain.
Dalam Article XXI, Security Exceptions. Dengan alasan keamanan, negara boleh menyimpangi ketentuan ini dan mengambil langkah khusus untuk keadaan darurat bagi Negara dan mengancam keamanan negara. Namun, kebanyakan negara gagal ketika menerapkan dalam general exception, di luar pandemi. Gagal berargumentasi bahwa langkah-langkahnya bersifat sementara dan penting. Sedangkan, security exception lebih mudah alasannya karena kriteria untuk menetapkan mengancam keamanan negara, mudah dan gugatan tidak terlampau serius. Contohnya, seperti kasus Ukraina dan Russia, panel mengatakan Security Exception bukan sepenuhnya keputusan Negara itu, jadi bukan sewenang-wenang.harus benar-benar terkait keamanan dan bagaimana kedaruratannya.
Beranjak ke kebijakan nasional, terdapat Permendag No. 23 Tahun 2020 tentang larangan ekspor dan diubah dengan Permendag No. 31 Tahun 2020, disebutkan bahwa Indonesia melarang ekspor antiseptik, masker, bahan baku masker, alat pelindung diri, etil alkohol, disinfektan, Track Suit, Ski suit, dan pakaian renang, serta garmen lainnya, dan barang jadi lainnya termasuk pola pakaian lainnya, disamping ada larangan impor, terutama komoditi dari cina.
Respon negara terhadap Covid-19 memiliki dasar hukum yang kuat baik menurut peraturan internasional maupun nasional. Jadi, permasalahannya bukan dengan legality. Banyak negara yang menerapkan kebijakan dan menganggu pasokan barang medis sehingga semua negara mengalami kesulitan menyediakan barang medis maka dari itu memerlukan mekanisme inovatif. Lalu permasalahannya apakah tepat melakukan ini walaupun legal . Di sisi lain, semua negara melakukan pembatasan ekspor demi melindungi kepentingan negaranya.
Di Jenewa, proses perundingan terhenti karena persoalan prosedural. Bagaimana negara mengambil keputusan, mengambil komitmen yang efektif dan subtantif melalui dunia maya. PBB di New York melakukan pertemuan walaupun tanpa mengambil keputusan, keputusan diambil melalui korespondensi. Jadi, permasalahan prosedural, yaitu tiap organisasi internasional memiliki dinamika tersendiri. Negara berkembang juga enggan untuk melakukan komitmen untuk hal subtantif dirasa kurang pas dengan situasi terkini dan fokus mereka adalah upaya nasional mereka dalam menghadapi Covid-19 di dalam negeri.Â
Oleh karena itu, negara maju secara inovatif mengusulkan Ministerial Statement On Covid-19 dan Multilateral Trading System, meskipun mendapat dukungan dari negara-negara maju, tetapi hal tersebut tidak mendapat dukungan dari negara berkembang, karena walaupun elemennya cukup baik dan niatnya untuk mengatasi kekurangan suplai namun adanya agenda liberalisasi yang akan merugikan negara berkembang sehingga deklarasi ini tidak mendapat dukungan.
Kemudian, mengenai Hak kekayaan Intelektual yang berkaitan erat dengan hukum perdagangan internasional yang diatur di TRIPs (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights), dulunya tujuan TRIPs adalah melakukan universalisasi standar perlindungan hak kekayaan intelektual. TRIPs sempat dikecam NGO (Non Government Organitation) karena negara maju berperan sebagai produsen teknologi dan negara berkembang harus membeli teknologi dan inovasi tersebut dengan harga yang mahal. Maka, 90% hak paten di Indonesia dimiliki negara asing, artinya ada dominasi oleh negara maju.Â
Pasal 8 ayat 1 TRIPS mengatakan bahwa negara dapat mengambil langkah-langkah yang perlu untuk melindungi kepentingan publik, yang penting untuk hubungan sosial ekonominya. Sepanjang konsisten dengan aturan-aturan TRIPs secara umum. Negara memiliki keleluasaan dalam menerapkan hak kekayaan intelektual. TRIPs juga diperlukan untuk negara berkembang untuk menghindari penyalahgunaan hak paten.Â
Tantangan utama semua negara ditengah pandemi ini adalah penemuan obat atau vaksin yang efektif untuk Covid-19 karena sejauh ini belum ada yang 100% efektif. Namun hal lain yang penting adalah, bagaimana kita berhadapan dengan Hak Paten. Obat dan vaksin dilindungi Hak Paten sehingga Hak Paten hanya akan membuat obat atau vaksin tersebut sulit untuk dijangkau dan mahal.Â
Tentu negara-negara berlomba untuk mendapatkannya dan tentu negara maju dan memiliki kekuatan ekonomi akan lebih cenderung mendapatkan obat dan vaksin tersebut. Oleh karena itu, negara berkembang memerlukan keleluasaan dalam masalah ini.
Pada Article 31 TRIPs menyebutkan bahwa adanya Compulsory Licensing atau lisensi wajib, di mana diperkenankan apabila pemerintah memperkenankan seseorang memproduksi sebuah produk yang telah dipatenkan tanpa persetujuan dari pemilik paten. Hal ini dimungkinkan dengan syarat adanya kepentingan mendesak secara nasional, dan hanya untuk kebutuhan dalam negeri. Keleluasan ini berlaku untuk semua jenis produk, dengan adanya batas waktu. Â
Di Indonesia hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten. Jadi, sebenarnya paten pada Vaksin Covid-19 bisa diberikan tanpa mengabaikan kepentingan umum dengan pelaksanaan paten oleh pemerintah (Government Use). Hal ini diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2016Â bab VIII pasal 109 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, bahwa pemerintah dapat melaksanakan sendiri paten di Indonesia berdasarkan pertimbangan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat yang bersifat non-komersial dan sebatas memenuhi kebutuhan dalam negeri.Â
Mengenai produknya juga dijelaskan dalam pasal 111, yaitu produk farmasi dan/atau bioteknologi yang harganya mahal dan/atau diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian dan merupakan Kedaruratan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD). Tantangannya adalah Indonesia dapat memproduksi vaksin, tetapi tidak dapat menyediakan bahan baku. Oleh karena itu, perlu impor obat dan vaksin dari Negara lain. Untuk alat kesehatan, UU tidak memungkinkan impor namun TRIPs memungkinkan. Â Essential security interest Pasal 73 TRIPS mengatur mengenai kepentingan keamanan sosial. Waiver, Negara-negara anggota WTO bisa menyampingkan semua kewajiban- kewajiban dari negara dimana harus diputuskan oleh seluruh Menteri Perdagangan di dunia secara bersama-sama.
Kesimpulannya, kebijakan negara untuk membatasi ekspor barang-barang medis dapat dipastikan akan menimbulkan gangguan terhadap rantai pasokan global dan dalam upaya ditingkat multilateral sulit dilakukan sehingga diperlukan Innovative ways. Kemudian tantangan utama Indonesia adalah menyediakan vaksin dengan harga terjangkau maka pelaksanaan paten oleh pemerintah boleh dilakukan sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H