Mohon tunggu...
Maria Setia
Maria Setia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pariwisata Universitas Gadjah Mada

Saya memiliki ketertarikan pada pariwisata, seni, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keberlanjutan Ekowisata: Permasalahan Perkembangan Ekowisata Indonesia di Masa Depan

5 Desember 2022   00:20 Diperbarui: 5 Desember 2022   00:23 2700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dokumentasi pribadi

Ekowisata merupakan salah satu jenis pariwisata alternatif yang memiliki sifat berlawanan dengan mass tourism. Ekowisata mempunyai prinsip-prinsip pariwisata yang berkelanjutan yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan yang lebih berfokus pada konservasi alam di sekitar destinasi wisata. Menurut The Ecotourism Society (1990), ekowisata merupakan sebuah bentuk perjalanan ke area alami dengan tujuan mengkonservasi lingkungan serta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal. 

Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal dan memiliki kekayaan alam yang indah. Keadaan alam di Indonesia dengan berbagai keanekaragaman hayati membuat Indonesia memiliki banyak potensi dan destinasi ekowisata. Ekowisata yang ada di Indonesia dapat memberikan manfaat mulai dari peningkatan pendapatan ekonomi, kelestarian alam dengan konservasi, hingga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal yang tinggal di sana. Walaupun begitu, ekowisata merupakan salah satu wisata yang kompleks dan membutuhkan pengelolaan yang ekstra. Keberhasilan ekowisata tidak hanya pada pengelola saja, akan tetapi juga bergantung pada pihak-pihak lain seperti pemerintah, stakeholders, masyarakat lokal, dan wisatawan. Kekompleksan dan kerumitan pengelolaan tersebut yang membuat beberapa destinasi di Indonesia memiliki permasalahan atau isu dalam pengembangan ekowisata ke depannya. 

Permasalahan yang sering banyak muncul adalah pada penamaan atau pengecapan sebuah destinasi menjadi destinasi ekowisata. Sebuah destinasi wisata yang memiliki nama ekowisata terkadang hanya terletak di alam dan tidak memiliki hubungan apapun mengenai ekowisata. Beberapa destinasi ekowisata tersebut hanya sebuah pengklaiman tanpa memperhatikan dan mengaplikasikan kebijakan serta prinsip-prinsip ekowisata. Menurut The International Ecotourism Society (TIES) (1990) di dalam Bricker (2017), terdapat 6 prinsip ekowisata meliputi:

  • Meminimalkan dampak negatif pariwisata

  • Membangun kesadaran dan hormat pada lingkungan dan budaya

  • Menawarkan pengalaman yang positif bagi wisatawan dan tuan rumah

  • Memberikan keuntungan secara finansial untuk konservasi

  • Memberikan keuntungan berupa pemasukan ekonomi dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal

  • Meningkatkan kepekaan terhadap politik negara destinasi, lingkungan dan iklim sosial.

Tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ekowisata, pengelola destinasi ekowisata terkadang hanya membuat dan menggunakan label ekowisata untuk sebuah promosi dan daya tarik bagi wisatawan.

Permasalahan selain penyalahgunaan nama ekowisata pada destinasi adalah masalah peraturan dan kebijakan ekowisata. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, keberhasilan ekowisata juga dipengaruhi oleh pihak diluar pengelola salah satunya pemerintah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan untuk pengembangan dan pengelolaan ekowisata berupa perundang-undangan ekowisata. Kerincian dan kejelasan sebuah kebijakan dapat mempengaruhi hasil dari kebijakan tersebut. 

Di dalam hasil studi oleh Nasution, H., Avenzora, R., & Sunarminto, T. (2018), disebutkan bahwa isi substansi materi dan kebijakan dan peraturan perundang-undangan mengenai ekowisata di Indonesia memiliki skor yang agak baik tetapi skor tersebut masih belum maksimal dan optimal. Skor yang belum optimal merupakan indikator dari kejelasan yang masih belum sepenuhnya terstruktur dan  komprehensif. Kurangnya kejelasan ini juga mempengaruhi adanya destinasi yang hanya berlabel ekowisata tanpa pengelolaan yang tepat. Tanpa kejelasan pengelola juga tidak memiliki dasar yang benar dalam mengelola dan menjalankan pariwisata yang berbasis ekowisata.

Permasalahan lainnya terdapat pada sumber daya manusia sebagai pengelola dan pekerja di destinasi ekowisata. Sebuah destinasi wisata pasti dipengaruhi oleh kualitas SDM yang bekerja di sana. Jika sebuah destinasi wisata dikelola oleh SDM dengan kualitas yang baik dan mempunyai kemampuan yang  sesuai dengan bidangnya pekerjaan yang dilakukan hasilnya akan sesuai dan baik. Sama halnya dengan destinasi ekowisata, di mana para pengelola dan pekerja nya harus memahami mengenai ekowisata apa yang dikembangkan. 

Permasalahan ini juga dipengaruhi oleh faktor ekowisata yang ikut memberdayakan masyarakat lokal yang tinggal di sana. Contoh studi kasus dalam kualitas sumber daya manusia dapat dilihat di Kampung Wisata Desa Bendosari. Dalam pengembangan kampung ekowisata tersebut yang menjadi penghambatnya adalah kualitas sumber daya manusianya (Damayanti, E., Soeaidy, M. S., & Ribawanto, H., 2014). Permasalah yang membuat kualitas SDM di kampung ini rendah adalah masyarakat lokal di sana kebanyakan hanya berpendidikan setara sekolah dasar sehingga saat mempelajari hal-hal mengenai ekowisata diperlukan waktu yang relatif cukup lama.

Selain dari segi kualitas sumber daya manusia, permasalahan juga bisa timbul dari kurangnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan ekowisata. Seperti yang ada dalam dalam prinsip dan tujuan ekowisata di mana dapat memberikan manfaat, kesejahteraan, dan partisipasi masyarakat lokal. Meskipun begitu, terdapat beberapa ekowisata yang memberdayakan masyarakat dengan pangkat yang kecil. Contoh studi kasus dapat dilihat pada pengembangan ekowisata di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, masyarakat hanya berperan kecil dalam pengelolaan ekowisata. 

Sistem yang digunakan di Tahura Djuanda bersifat top down yang mana masyarakat lokal hanya menjalankan perintah dan kebijakan yang diberikan. Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal di sana hanya berpartisipasi sebagai tenaga kerja dan keahlian serta penerimaan manfaat yang membuat mereka berada di tingkatan partisipasi masyarakat yang paling rendah (Oktami, E. A., Sunarminto, T., & Arief, H., 2018).

Masalah dalam pengelolaan ekowisata yang terakhir terkait dengan wisatawan. Kebanyakan wisatawan di Indonesia kurang tertarik dengan adanya ekowisata. Hal ini juga dipengaruhi oleh ekowisata yang termasuk dalam niche market atau special interest tourism yang mana wisata tersebut memiliki target pasar yang lebih spesifik dan menyukai paket yang ditawarkan dari ekowisata.

 Selain itu, kebanyakan dari ekowisata memiliki biaya yang mahal untuk membantu konservasi dan kesejahteraan masyarakat di sana sehingga peminat ekowisata juga bergantung pada pemasukan pendapatan wisatawan. Pasar utama ekowisata kebanyakan berasal dari negara-negara maju yang datang ke negara berkembang yang memiliki destinasi ekowisata. Kurangnya ekoturis di Indonesia juga dapat menghambat keberlanjutan ekowisata yang ada di Indonesia. Ekoturis dari wisatawan nusantara juga penting, karena semakin dikit pasar ekowisata akan semakin sedikit wisatawan yang datang sehingga pendapatan ekonomi untuk konservasi dan masyarakat tidak berkelanjutan

Permasalahan-permasalahan di atas merupakan hambatan dalam perkembangan ekowisata yang berkelanjutan di Indonesia. Meskipun permasalahan ekowisata kompleks dan rumit bukan berarti tidak dapat diselesaikan. Setiap pihak dari pemerintahan, stakeholders, pengelola, hingga wisatawan harus bekerjasama untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan yang ada. Permasalahan tersebut dapat dimulai dari memperjelas regulasi dan kebijakan mengenai ekowisata. Selain itu, masyarakat lokal dapat diberikan pelatihan-pelatihan yang relevan mengenai ekowisata sehingga meningkatkan kualitas SDM dengan harapan dapat berpartisipasi sebagai pengelola dan pembuat kebijakan. Jadi keberlanjutan ekowisata di masa depan akan dipengaruhi dari bagaimana semua pihak yang terlibat ekowisata menyelesaikan permasalahan yang ada.

Referensi

Bricker, K. (2017). The international ecotourism society.

Damayanti, E., Soeaidy, M. S., & Ribawanto, H. (2014). Strategi capacity building pemerintah desa dalam pengembangan potensi kampoeng ekowisata berbasis masyarakat lokal (studi di Kampoeng Ekowisata, Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Publik, 2(3), 464-470.

Fandeli, C. (2000). Pengertian dan konsep dasar ekowisata. Yogyakarta, Fakultas Kehutanan UGM.

Fennell, D. (2008). Ecotourism: Third Edition. Ney York: Taylor & Francis e-Library.

Higham, J. E. (Ed.). (2007). Critical issues in ecotourism: Understanding a complex tourism phenomenon. Routledge.

Nasution, H., Avenzora, R., & Sunarminto, T. (2018). Analisis Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Ekowisata di Indonesia. Media Konservasi, 23(1), 9-17.

Oktami, E. A., Sunarminto, T., & Arief, H. (2018). Community Participation in Ecotourism Development Ir H Djuanda Forest Park. Media Konservasi, 23(3), 236-243.

Wearing, S., & Neil, J. (2009). Ecotourism. Routledge.

Wood, M. E. (1999). The Ecotourism Society---An International NGO Committed to Sustainable Development. Tourism Recreation Research, 24(2), 119-123. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun