Mohon tunggu...
Maria Puspasari Perdana
Maria Puspasari Perdana Mohon Tunggu... Novelis - Post-Grad Student | Author

Universitas Multimedia Nusantara alumnus • Communication Science Class of 2010 (concentrating in Multimedia Journalism) • Graduate student at Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Bisnis Daring di Era Digital

20 April 2019   08:57 Diperbarui: 20 April 2019   09:23 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini dibarengi dengan pertumbuhan penggunanya yang selalu meningkat di tiap tahun. Berdasar data yang dihimpun dari hasil kolaborasi antara Hootsuite dan We Are Social pada Januari 2019 lalu, pertumbuhan pengguna internet dunia meningkat sebesar 366 juta, begitu pula dengan jumlah pengguna media sosial aktif yang bertambah 288 juta dalam kurun waktu satu tahun. 

Di laporan yang sama menunjukkan peningkatan pengguna teknologi internet juga terjadi di Indonesia, di mana angka pengguna internet naik 13% ke angka 150 juta (132,7 juta di 2018) dan pengguna media sosial aktif naik 15% ke angka yang sama (130 juta di 2018). 

Dengan lebih dari setengah penduduk Indonesia telah memanfaatkan teknologi media baru (total penduduk Indonesia sebesar 268,2 juta pada 2019), internet dan media sosial menjadi lahan yang menggiurkan dan potensi keuntungan bagi para pebisnis (Permadi dan Rahyaputra, 2018). 

Pemanfaatan teknologi media baru dapat mengakomodasi para pebisnis dan wirausahawan dalam mengembangkan bisnisnya ke berbagai wilayah dan lapisan masyarakat. Akan tetapi, penggunaan media baru tidak selamanya berimbas baik. Media sosial juga membawa tantangan sendiri bagi para wirausahawan.

Perluasan dan pengembangan bisnis wirausaha dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi memunculkan apa yang kemudian disebut dengan technopreneurship atau kegiatan wirausaha berbasis teknologi (Syarif H, 2016) yang mampu berkarya dengan kreatif dan masih menghasilkan keuntungan (Soegoto, 2010). 

Dengan banyaknya penduduk Indonesia yang menggunakan media sosial dan menghabiskan rata-rata tiga jam 26 menit di sosial media (Kemp, 2019), keterjangkauan bisnis ke seluruh pelosok negeri hingga peluang pendapatan menjadi lebih besar. Dengan penggunaan tagar dan kata kunci tertentu, penjual dapat menjangkau banyak calon pembeli yang mencari produk dan/atau jasa serupa. 

Bahkan marketplace besar seperti Tokopedia tetap memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan situsnya agar meraih lebih banyak calon pembeli (Alfarizi, 2019). Kampanye-kampanye brand lain juga banyak dilakukan di media sosial untuk menarik perhatian pelanggan. 

Selain itu, kerja sama dengan influencer yang memang sudah aktif dan memiliki banyak pengikut di media sosialnya menjadi salah satu alternatif yang digunakan oleh brand untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

Di samping penggunaan media sosial yang luas oleh masyarakat Indonesia, alasan pentingnya pemanfaatan media sosial oleh para wirausahawan adalah karena adanya faktor interaksi langsung dengan audiens yang dapat berujung pada timbal balik atas produk dan/atau jasa yang digunakan dan keefektifan dalam menjangkau masyarakat luas serta berbiaya rendah (Prabawanti dan Herman, 2019). 

Beberapa akun media sosial bisnis di Indonesia memanfaatkan media Instagram dalam mempromosikan produknya, seperti Brodo Footwear yang telah memiliki lebih dari 400 ribu pengikut. Selain itu, Brodo Footwear juga menggunakan akun media sosial lainnya seperti Line Messenger dan Whatsapp untuk memperluas jangkauan ke pelanggannya. Melalui ketiga media tersebut, Brodo Footwear dapat juga secara langsung berinteraksi dengan pelanggannya. 

Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk mengunggah konten di media sosial cenderung murah bahkan tidak berbayar sama sekali. Tetapi, Instagram memiliki fitur bagi akun bisnis untuk mempromosikan konten dan akunnya dengan bayaran mulai dari Rp 10.000,00 per hari tergantung dari jangkauan dan durasi promosi. 

Sementara, bagi pebisnis pemula yang tidak memiliki banyak modal untuk usaha, banyak bisnis daring yang membuka sistem dropship, sistem penjualan dari penjual tangan pertama yang akan mengirimkan produk ke tangan pembeli yang memesan dari penjual perantara dengan mengatasnamakan penjual perantara. Dengan sistem tersebut, penjual perantara bahkan sama sekali tidak mengeluarkan modal uang untuk membuka usaha.

Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh media sosial nampaknya mudah untuk membangun bisnis daring. Akan tetapi, seperti bisnis lain pada umumnya, bisnis daring juga penuh dengan tantangan yang harus siap dihadapi oleh siapapun yang menjalaninya. Penjualan melalui E-commerce dan Marketplace berhadapan dengan berbagai pesaing yang memiliki produk serupa dengan harga yang bersaing. 

Sementara untuk mempromosikan toko dan produk serta memasang iklan di halaman depan situs harus mengeluarkan modal tanpa jaminan pasti akan adanya pengembalian yang sepadan, mengingat jumlah pesaing. Ditambah pula dengan fitur 'Diskusi', 'Chat', dan 'Review' di E-commerce dan Marketplace atau 'Comment' di media sosial memudahkan interaksi antara penjual dan pembeli yang dapat berimbas pada komentar dan timbal balik terhadap produk dan/atau jasa yang dijual. 

Pertumbuhan jumlah pengguna media sosial aktif, di satu sisi menjadi lahan yang menguntungkan, tapi di sisi lain dapat menjadi bumerang. Hal ini dikarenakan penilaian dan testimoni dari pelanggan tidak dapat dikontrol dari pihak penjual dan dapat memengaruhi asumsi dan pendapat calon pembeli lainnya serta kinerja bisnis daring yang berdampak pada kredibilitas bisnis tersebut (Agustina, et.al., 2018). 

Selain itu, pemanfaatan media sosial harus terintegrasi untuk menjangkau calon pembeli yang lebih luas. Misalnya, pemanfaatan media Instagram dapat digabung dengan Facebook, apalagi untuk membangun akun bisnis di Instagram juga harus terintegrasi dengan Facebook.

Akan tetapi, pekerjaan rumah terbesar bagi Indonesia adalah menyamakan ritme perkembangan teknologi yang cepat dengan pertumbuhan bisnis konvensional dan kecil seperti UMKM. Di tengah persaingan secara konvensional, bisnis UMKM masih harus berlomba dengan kecepatan teknologi informasi. Di Indonesia, UMKM masih banyak yang belum memanfaatkan teknologi internet. 

Saat ini masih 9,6 juta UMKM yang telah beralih ke daring (Hutabarat, 2019), sementara dengan lebih dari 62 juta UMKM di Indonesia (Depkop, 2017), memperluas pasar usaha-usaha mikro ini dengan teknologi internet juga dapat berimbas pada tumbuhnya perekonomian negara. 

Pemerintah tidak hanya harus mampu untuk mendorong pelaku UMKM bersaing di pasar digital, tapi utamanya adalah fasilitas yang mumpuni agar pelaku UMKM dapat memanfaatkan teknologi digital. Infrastruktur dan edukasi menjadi prasyarat utama bagi pelaku bisnis daring untuk naik kelas ke pasar digital di samping kreativitas dan pelayanan prima untuk menjaga kredibilitas bisnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun