Mohon tunggu...
Maria Octora Yanti
Maria Octora Yanti Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan

Penggiat Pertanian Dan Environmentalist

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mikroplastik, Dari Kosmetik hingga Menjadi Toksik

23 April 2020   00:28 Diperbarui: 23 April 2020   00:39 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
*Sumber ilustrasi Pico Dan Barcelo: 2019 Pada Jurnal ACS Omega

Seberapa Dekat Kita Dengan Plastik?

Bangun pagi, membuka mata, ke kamar mandi, bersih-bersih, cuci muka, gosok-gosok badan dengan scrub, tidak lupa gosok gigi. Badan terasa bersih, segar dan wangi. Hampir semua dari kita melakukan ini. Semua terasa normal saja.

Tapi, apakah kita sadar bahwa material yang bernama plastik itu menjelma hampir di setiap barang yang kita gunakan, termasuk scrub dan pasta gigi yang kita pakai, karena jika kita tidak teliti, ternyata banyak sekali produk kosmetik yang didalamnya mengandung bulir-bulir plastik.

Mari kita coba analisa lebih dekat, seberapa intensifkah relasi kita dengan plastik? Kita mulai dari bahan pakaian, polyester dan nilon yang umum digunakan, seratnya itu terbuat dari plastik. Kemudian, berapa banyak plastik yang digunakan saat kita membeli bahan makanan atau minuman? 

Dari mulai kemasan sachet hingga botolan, dari mulai sedotan hingga sendok garpu sekali pakai. Belanja pakai plastik, makan, minum, mandi, semuanya melibatkan material plastik. Pernahkah kamu menghitung berapa banyak plastik yang telah kamu gunakan sehari-hari?

Menurut penelitian, rata-rata penggunaan plastik tiap orang adalah 52 kg setiap tahunnya (Worm et al 2017). Akrab sekali ya kita dengan plastik. Tapi, pernahkah kita berpikir kemana perginya semua plastik yang kita pakai tadi dan berujung dimana? Bagaimana alam akan memproses ini semua? Sebelum kita mengikuti perjalanannya, mari kita lebih mengenai plastik.

Sejarah Pembuatan Plastik 

Plastik merupakan polymer sintetis yang dihasilkan dari berbagai monomer yang umumnya dihasilkan dari ekstraksi gas atau minyak (Manalu et al, 2017). Penemuan plastik bermula dari penemuan karet yang diolah menjadi bola, arca, dan gelang karet pada periode Meso-Amerika sekitar abad 1600 sebelum masehi (Hosler et al (1999) dalam Anthony et al (2009).

Kemudian dalam perkembangannya, plastik menjadi bagian dari bahan untuk kemasan, konstruksi, elektronik, furnitur, mainan, bahan medis dan lainnya (Mulder, 1998). Plastik menjelma menjadi berbagai komoditi seperti Polyvinyl Chloride (PVC) dan Viscose (rayon).

Kedua komoditi tersebut merupakan contoh dari hasil sintetis polymer, umumnya dikenal dengan nama plastik. Plastik dengan segala keunggulannya, membuat bahan ini menjadi bahan yang banyak di manfaatkan untuk berbagai kebutuhan.

Keunggulan-keunggulan tersebut diantaranya; bisa digunakan dalam berbagai temperatur (Anthony et al, 2009), versatile, kuat dan ringan (Cole et al (2011) dalam Guzetti et al (2018); relatif mudah untuk diproduksi, murah dan tahan air (Andrady and Neal 2009; Cauwenberghe et al 2015; Sharma and Chatterjee 2017).

Karena keunggulan-keunggulan inilah plastik banyak sekali diproduksi. Plastic Europe melaporkan setidaknya sebanyak 288 juta ton plastik diproduksi dalam waktu 2013 saja. Pada tahun 2015, produksi plastik semakin meningkat secara global mencapai 322 juta metric ton, jumlah ini hampir menyamai jumlah total populasi manusia didunia (Worm et al, 2017).

Bayangkan berapa banyak plastik yang telah diproduksi dari mulai manusia mengenal plastik hingga saat ini? Kuatnya material plastik terhadap degradasi membuat material ini sulit untuk diuraikan.

Resistensi terhadap degradasi serta akumulasi secara terus menerus menimbulkan masalah serius terhadap lingkungan. Salah satu yang sering terabaikan namun berdampak sangat buruk terhadap lingkungan terutama pada ekosistem laut adalah mikroplastik.

Mikroplastik, Apa Dan Bagaimana? 

Mikroplastik merupakan butiran plastik yang umumnya dikategorikan oleh para peneliti berukuran kurang dari 5 mm. Keberadaan mikroplastik pada pasir pantai dalam bentuk bulir-bulir untuk pertamakalinya dilaporkan di New Zealand, Kanada, Bermuda dan Lebanon (Gregory, 1977,1978, 1983; Shiber, 1979 dalam Sul dan Costa, 2014).

Mikroplastik sekarang ini telah dilaporkan keberadaanya di enam benua dan umumnya berkaitan dengan wilayah padat penduduk (Sul dan Costa, 2014). Mikroplastik ditemukan di ekosistem intertidal, di sedimen laut dalam, di permukaan air, di perairan kutub, di tengah samudra (Guzetti et al, 2018).

Mikroplastik dibedakan menjadi dua kategori, yaitu mikroplastik primer dan mikroplastik sekunder (Pico dan Barcelo, 2019). Mikroplastik primer yaitu mikroplastik yang memang diproduksi secara sengaja dalam bentuk berukuran mikro.

Mikroplastik jenis ini dapat diemukan pada butiran-butiran untuk scrubber pada kosmetik, hand cleanser, air-blasting (Sharma dan Chatterjee, 2017), microbeads pada facewash dan pasta gigi (Worm et al 2017), vector farmasi dan material printing 3D (Pico Dan Barcelo, 2019).

Sementara, mikroplastik sekunder dihasilkan dari sampah-sampah plastik besar yang kemudian mengalami proses oksidasi atau pelapukan hingga berubah menjadi fragmen-fragmen atau serat-serat plastik.

Mikroplastik yang dibuang melalui saluran-saluran air kita, resisten terhadap degradasi, sehingga tidak akan terurai sepenuhnya, namun akan terus terbawa hingga sampai di laut. Lebreton et al (2017) mengestimasikan bahwa 1.15 sampai 2.41 juta ton plastik mengalir melalui sungai berakhir dilautan. Lalu apa yang terjadi saat mikroplastik ini sampai dilaut?

Dampak Microplastik Pada Ekosistem Laut Dan Kesehatan Manusia

Mungkin kita pernah membaca berita memilukan dimana seekor paus, penyu atau burung laut mati karena ternyata didalam tubuhnya ditemukan banyak plastik.

Banyak hewan laut melihat plastik sebagai sesuatu yang dapat mereka makan, yang akhirnya membawa kematian untuk mereka. Persoalan ini merupakan dampak buruk dari sampah plastik yang terlihat. Lalu bagaimana dengan mikroplastik yang secara ukuran tidak terlalu terlihat?

Mikroplastik merupakan hal yang berbahaya karena bisa menjadi xenobiotic bagi ekosistem laut. Mikroplastik dapat termakan oleh hewan-hewan yang ada di laut. Organisme laut terutama di zona bentik dan pelagik akan melihat mikroplastik tersebut sebagai makanan meraka, yang pada akhirnya dapat menyebabkan oxidative stress dan patologis, menurunkan imunitas serta menyebabkan kanker pada hewan-hewan laut tersebut (Guzetti et al, 2018).

Kondisi ini tentu saja dapat mengancam keberadaan organisme laut yang dapat berdampak pada terganggunya biodiversitas dan ekosistem laut.

Sharma dan Chaterjee (2017) menyebutkan bahwa mikroplastik bisa memicu phytotoxin pada alga, kemudian phytotoxin dari alga tersebut menyebar ke organisme bentos lainnya seperti koral, tiram, lobster, dan ini akan berdampak pada kesehatan manusia apabila dikonsumsi, karena mau tidak mau  organisme laut ini menyumbang besar juga terhadap rantai pasok makanan bagi manusia.

Penelitan yang dilakukan oleh Yu et al (2018) menemukan bahwa mikroplastik dapat ditemukan di sel, aliran darah bahkan di otak. (Wenhai et al (2019). Sifatnya yang resisten terhadap degradasi memungkinkan bagi mikroplastik untuk berpindah dari satu organisme ke organisme lainnya melalui jaring makanan. Bagaimana dengan mikroplastik di perairan Indonesia?

Mikroplastik Di Perairan Indonesia

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa mikroplastik ini bisa juga berasal dari sampah plastik besar seperti misalnya kantong plastik. Todd et al (2010) menyebutkan penelitian yang dilakukan oleh Wiloughby et al pada tahun 1997 mengungkapkan bahwa setidaknya 27% dari total sampah yang ada di 23 pulau di teluk Jakarta adalah sampah kantong plastik. Sampah ini melalui proses-proses tertentu, dapat berubah bentuk menjadi mikroplastik.

Banyak penelitian lainnya yang juga melaporkan keberadaan mikroplastik di perairan Indonesia. Manalu et al (2017) menemukan 3 jenis mikroplastik di perairan Pluit dan Ancol, yaitu fiber, fragment dan pellets. Diantara ketiganya, jenis fragment ditemukan paling banyak, diprediksikan berasal dari sumber sekunder yaitu serpihan kantong plastik yang dibuang.

Sementara Cordova et al (2018) dalam penelitiannya menemukan bahwa di wilayah Sekotong perairan Lombok mengandung mikroplastik, diduga berasal dari turisme, industri perikanan, shipping, dan diantara beberapa jenis mikroplastik yang ada, styrofoam merupakan mikroplastik tertinggi.

Penelitian di wilayah intertidal Lamongan yang dilakukan oleh Asadi et al (2019) juga menemukan bahwa terdapat 3 jenis mikroplastik diperairan ini yaitu film, fiber dan fragmen, dan sangat dimungkinkan mikroplastik ini termakan oleh organisme laut.

Masih banyak lagi penelitian-penelitian yang secara nyata menunjukkan alarm untuk kondisi laut kita. Hal yang mungkin selama ini kita anggap sepele atau bahkan tidak terpikirkan sama sekali dalam benak kita, bahwa dari pencuci wajah, pasta gigi bahkan scrub yang selama ini bekerja untuk mencerahkan kulit kita, tersimpan bulir-bulir yang terus mengalir, bergulir hingga mengancam keselamatan organisme-organisme di laut sana. Dan sangat memungkinkan juga bulir-bulir itu kembali terhidang diatas piring saji diantara santapan seafood yang lezat, yang pada akhirnya menjadi racun dalam tubuh kita.  

Mungkin kita lupa, bahwa alam memiliki sistem kerja yang luar biasa. Racun yang kita tebar, pasti akan kita rasakan juga. Kita, manusia yang akan menuai akibatnya juga dari keteledoran kita. Masih mau pakai plastik seenaknya? Masih betah pakai kosmetik sesukanya?

Apa Yang Dapat Kita Lakukan?

Persoalan mikroplastik ini tentu saja merupakan isu global karena pencemaran dilaut sifatnya dinamis, dapat menyebar dan mengalir dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Beberapa inisiatif telah diambil melalui konvensi internasional dalam upaya menekan akumulasi sampah mikroplastik. Salah satunya adalah implementasi Blue Economy.

Blue Economy merupakan framework pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan kelautan. Wenhai et al (2019) menyebutkan bahwa Blue Economy merupakan model pengembangan ekonomi kelautan yang berkelanjutan.

Dalam upaya merealisasikan Blue Economy tersebut salah satunya adalah dengan pengendalian pembuangan sampah ke laut dimulai dari penanganan sampah di sungai.

Pada tahun 2017 United Nations meluncurkan program yang mengajak semua pihak di antaranya pemerintah, pelaku industri dan konsumen untuk mengurangi penggunaan serbuk mikroplastik dalam kosmetik hingga penggunaan plastik sekali pakai seperti botol minuman dan kantong plastik.

Akan tetapi, berbagai peraturan baik yang sifatnya nasional maupun internasional, tidak akan efektif apabila tidak didukung oleh kita, individu yang merupakan bagian dari masyarakat. Lalu apa saja yang dapat kita lakukan?

Hal pertama yang dapat kita lakukan untuk mengurangi sampah mikroplastik ini adalah mencari informasi untuk mengetahui barang-barang apa saja yang ternyata didalamnya mengandung bahan mikroplastik, seperti melakukan pengecekkan pada kosmetik atau bahan pakaian yang kita gunakan.

Setelah kita mendapatkan informasi tersebut, kemudian kita dapat mencari dan menentukan barang alternatif yang lebih ramah lingkungan untuk kita gunakan. Hal yang juga sangat penting adalah menghindari penggunaan kantong plastik saat berbelanja dengan membawa kantong belanja sendiri dari bahan yang juga ramah lingkungan.

Menghindari penggunaan plastik sekali pakai seperti botol plastik air minum kemasan, sedotan, styrofoam dan lainnya. Jika ada barang berbahan plastik yang kita miliki, upayakan untuk memperpanjang umur barang tersebut. Sederhananya, selalu ingat konsep eco-friendly dan menerapkan prinsip 3R, Reduce-Reuse-Recycle.

Ditulis Oleh: Maria Octora Yanti
Mahasiswa Magister Sekolah Ilmu Lingkungan
Universitas Indonesia

Daftar Pustaka

Andrady, Anthony L and Neal, Mike A (2009). Application and Societal Benefits of Plastics. The Royal Society Publishing.

Asadi, Muhammad A, Hertika, Asus Maizar S., Iranawati, Feni, Yuwandita, Aisyah Y (2019). Microplastics in the Sediment of Intertidal Areas of Lamongan, Indonesia. AACL Bioflux.

Cordova, Muhamad R, Hadi, Tri A., Prayudha, Bayu (2018). Occurrence and Abundance of Microplastics in Coral Reef Sediment: A Case Study in Sekotong, Lombok – Indonesia. AES Bioflux.

Guzetti, Eleonora; Sureda, Antoni; Tejada, Silvia; Faggio, Caterina (2018). Microplastic in Marine Organism: Environmental and Toxicological Effects. Environmental Toxicology and Pharmacology: Elsevier.

Lebreton, Laurent C.M., Zwet, Joost Van Der, Damsteeg, Jan-Willem, Slat, Boyan, Andrady Anthony, Reisser, Julia (2017). River Plastic Emission to The World’s Oceans. Nature Communication.

Manalu, Anggresia A, Haryadi, Sigid, Wardianto, Yusli (2017). Microplastics Abundance in Coastal Sediments of Jakarta Bay, Indonesia. AACL Bioflux.

Mulder, Karel F (1998). Sustainable Consumption and Production of Plastics. Elsevier Science Inc.

Pico, Yolanda and Barcelo, Damia (2019). Analysis and Prevention of Microplastics in Water: Current Perspective and Future Direction. ACS Omega.

Sharma, Shivka dan Chaterjee, Subhankar (2017). Microplastic Pollution, A Threat to Marine Ecosystem and Human Health: A Short Review. Cross Mark.

Sul, Juliana A. Ivar Do dan Costa, Monica F. (2014). The Present and Future of Microplastic Pollution in The Marine Environment. Environmental Pollution: Elsevier.

Worm, Boris, Lotze, Heike K., Jubinville, Isabelle, Wilcox, Chris, Jambeck, Jenna (2017). Plastic as A Persistent Marine Pollutant. Annual Review of Environment and Resources.

Wenhai, Lu et al (2019). Successful Blue Economy Examples With an Emphasis on International Perspectives. Frontiers in Marine Science.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun