Cahaya di matamu seolah menghilang
Pesonamu mengambang tak tentu datang
Aku masih merangkak meraih hatimu
Menebarkan wangi-wangi menembus jantungmu
Masihkan rindu itu terikat satu dengan hatimu?
Ataukah merenggang seiring musim yang tak tentu?
(M. Hamse)
     Aku hanya bisa tersenyum mengelabuhi yang sesungguhnya terjadi. Bukankah laki-laki tak boleh terlihat sedih? Ya, biar tidak dianggap lemah. Kodratnya harus kuat!
    "Aku tak bisa lagi memaksakan diri hidup denganmu," katanya senja itu.
    "Mau bagaimana lagi, jika itu maumu," jawabku seadanya.
    "Aku tahu, kamu bersedih," katanya.
    "Ya, hanya saja aku tak boleh menangis!" jawabku.
     "Apakah ini keputusan yang tepat?" tanyaku mengisi keheningan senja itu.
     "Aku hanya menginginkan kita bahagia dengan cara kita masing-masing," jawabnya.
     Ia beranjak menjauh, meninggalkanku dengan senja yang tak lagi seindah tadi. Aku menguatkan diri agar bumi tak dibanjiri air mataku. Ponselku terus berdering. Aku masih bergeming. Aku mergogoh saku celanaku mengambil ponsel. Disaat yang sama, sebuah kertas terbang terbawa angin, jatuh di hadapanku. Kertas yang menarik perhatianku. Aku terperangah. Kertas hasil pemeriksaan laboratorium miliknya.
    "Meningitis?" aku bertanya pada diriku.
    Poselku terus berdering.
    "Anya telah pergi," suara Tania, sahabatnya dari seberang.
    Kali ini, aku tak bisa membendung air mataku. Ada penyesalan yang kuat dan menyakitkan. Aku tak bersamanya saat-saat terakhirnya.
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H