Sangat melelahkan kumenunggunya di sini. Kalau aku menyerah, sama artinya aku pengkhianat rasa. Buih rinduku membara, tak bedanya warna awan seberang sana sore ini. Aku menunggunya hingga matahari kembali ke peraduan dan ia tak jua muncul. Rinduku memuncak.
     Aku mulai jenuh, hanya saja kucoba bertahan demi cintaku padanya. Aku mulai mencari kesibukan lain di tempat ini. Sekedar mengusir kejenuhan menunggu kedatangannya.
     Beberapa kali ponselku berdering. Kudapati chat drinya, tak beda seperti sebelumnya.
      "Tunggu yang, ntar lagi sampai kok!"
      Aku mengelus dada. Menarik nafas panjang.
       "Ya," jawabku singkat.
     Dari arah depan, sayup-sayup kumelihat bayangan. Semakin jelas, itu dia yang kutunggu. Kejenuhanku mulai menghilang saat menatap wajahnya. Ia melambaikan tangan. Aku segera berlari kecil ingin memeluknya. Sekejap saja, ia menghilang.
     "Malah main petak umpet," gumamku.
     Ponselku terus berdering. Aku berhenti sesaat untuk menjawab panggilan.
     "Ini Kinan? Maaf, aku mendapati panggilan terakhir atas namamu," jelas dari seberang.
     "Sophia di sini kok? Kok bisa ponselnya sama kamu ya?" kataku.
     "Tidak mungkin, aku menolongnya saat kecelakaan  sepuluh menit lalu. Pendarahan hebat membuatnya tak tertolong," jelas orang itu.
     Aku mulai panik dan mencoba mencerna situasi. Raungan sirene ambulans terdengar dari sambungan telepon. Aku melemah. Samar-samar kumelihat Sophia, yang makin lama hilang dari pandangan.
1 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H