Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Fiksi Mini: Jejak Rindu Masa Lalu

22 Juni 2024   13:03 Diperbarui: 22 Juni 2024   13:11 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Waktu berhenti saat senyum menghiasi bibir tipismu!
Aku sesaat ragu tentang dalamnya rindu untuk mencintaimu

Ujungnya aku memilih berhenti
Mengikuti hati
Menikmati detik-detik bersamamu

10 Juni 2024
(M. Hamse)

         Aku memilih mengikuti hati daripada logika! Ada beban seberat dunia, tetapi netral saat logika ikut andil membuat keputusan. Percakapan sore itu dengan Nadia,   memang meninggalkan luka baginya. Bagiku itu biasa saja.
       "Kamu memilih Dinda daripada aku?" tanyanya dalam kesedihan yang mungkin luar biasa.
        Aku menata hati, menjawab mantap.
       "Aku tak bisa membendung derasnya rinduku. Seolah aku terbawa banjir, sebab tak berhenti aku merindu," jawabku.
      "Kamu melepaskanku demi masa lalumu!" katanya lagi.
       
"Sampai kapan disiksa untuk merindu?"
Bukan soal dia tak bisa berhenti mencintai
Tetapi perihal siapnya ditinggal pergi
Meski masa lalu tak memberi dia harapan
Bagaimanapun, waktu tak mungkin disalahkan

(Itha Abimanyu,"Seseorang Rindu dan Masa Lalu)

        Aku sepenuhnya sepakat syair indah itu. Masa lalu mungkin saja tak memberi harapan. Tidak ada salah aku kembali, mungkin saja harapan itu ada.
       "Aku pergi. Maaf," kataku dan beranjak.
       Isak tangis itu tak kuhiraukan. Caci makipun tak kuhiraukan. Toh rinduku ini, tak bisa terbendung. Itulah mengapa aku di sini, menemui Dinda, perempuan masa lalu yang tak terlupakan.
         "Syukurlah kamu datang. Lama sekali rasanya tak bersua," ucap Dinda mengawali pertemuan setelah beberapa tahun terpisah.
          Aku hanya tersenyum menatapnya. Menikmati cantiknya yang seolah tak pudar. Rindu di hati membuncah tak tertahan.
         "Aku merindumu," kataku.
         Dinda tersenyum manja menatapku.
         "Jadi ini dia yang kamu ceritkan, Din? Sam, suaminya, Dinda," kenalnya.
         Aku terperangah, tapi mencoba santai.
        "Jadi, kami ingin bangun rumah di tanah seluas 10 x 9, dengan beberapa kamar di dalamnya. Dinda cerita, kamu seorang arsitek hebat," katanya sambil memberikan detail rumah.
        Aku hanya manggut-manggut. Pura-pura menatap catatan suaminya itu. Pikiranku masih melayang jauh saat pesan masuk dari Dinda beberapa hari lalu.
        "Aku merindukanmu. Datanglah ke kontrakanku. Aku menunggu!"
       

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun