Diskusi singkat malam itu membuahkan kesepakatan. Semuanya setuju, termasuk aku yang tak sabar lagi menikmati malam panjang ini.
     "Di sini sepi. Kalau tadi kita di perempatan jalan tidak enak dengan warga," kata salah satu temanku, Rudi.
     "Siapa yang pergi beli?" tanyaku.
     "Anak desa sini. Kita mana tahu di mana jualnya," sahut Duro, salah satu temanku juga.
     Dalam malam yang menyepi, aku dan temanku menghabiskan waktu  di pemandian umum desa itu. Suasana yang lengang. Cukup menyeramkan. Hanya ada setitik cahaya bulan yang mengintip di balik rerimbunan pohon. Mataku tertuju pada sebatang kayu besar yang kokoh merindangi pemandian itu.
     "Kolam ini unik, Mas. Malam hari airnya hangat. Pagi dan siang dingin," jelas Mas Dwi, putra asli desa itu.
    "Susah dijelaskan!" lanjutnya.
    Aku mengambil posisi duduk membelakangi kolam. Yang lain memilih menghadap kolam. Duduknya melingkar, khas anak muda nongkrong di pinggir jalan.
    "Mahasiswa KKN yang lain mana?" celetuk Mas Dimas, putra asli desa itu.
    "Tidak ikut, Mas. Tidak biasa, mungkin tidak suka nongkrong, apalagi ngombe banyu setan," jawab Rudi, temanku dari Pasuruan.
    "Besok kan bubar, masa tidak mau ngumpul," kata Mas Dimas lagi.