Jack mendekat Rose, mencium tengkuknya, membelai tangannya. Ah, tak lupa juga melingkarkan tangan di pinggang, mengeratkan pelukan. Rose, menyandarkan tubuhnya, membentangkan tangan, merasakan semilir angin laut yang membelai. Aku tersenyum, membayangkan itu. Tentu aku bahagia, jika suatu saat aku bisa melakukannya dengan, Cindy, perempuan yang menyiramkan embun di tengah kegersangan hatiku.
"Senyam-senyum aja, kenapa?" Rein mengagetkanku.
"Ganggu aja. Orang lagi asyik, ah!" gerutuku.
"Khayal aja kamu. Sana, temui, Cindy. Kan dekat!"
"Ah, nggak, kok. Siapa juga yang membayangkan, Cindy?"
"Terus?"
 "Ya, bukan, Cindy. Dia bukan tipeku," jawabku santai.
"Serius?" Rein memastikan.
Aku mengangguk. Rein sibuk dengan ponselnya, menghubungi seseorang.
"Anto, halo. Aku sudah tanya Rein, katanya Cindy bukan tipenya," telepon Rein.
"Beneran? Ya sudah, aku hubungi, Cindy, malam mingguan di bioskop!" jawab Anto dari seberang.
"Kamu kenapa? Kok pucat?" tanya Rein padaku.
"Tidak apa-apa, mungkin capek seharian kerja tugas kampus," jawabku mencoba berbohong.
"Dari lama, Anto mengagumi, Cindy. Selama ini tidak enak saja sama kamu," jelas Rein.
30 Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H