Aku tiba di rumah kurang lebih jam 2 siang. Perjalananan yang cukup melelahkan dari kantor dengan menahan lapar. Saat yang lain memilih singgah di warung makan, aku memilih pulang. Tak enak jika aku menikmati ayam goreng, sementara istriku lauk tahu tempe. Demi cintaku kepadanya, aku memilih menikmati menu apa adanya di rumah.
"Siang, Yang," sapaku.
"Siang," jawabnya pendek.
Aku sedikit bingung. Wajah ayu istriku murung. Aku pikir ia sakit.
"Kok pucat, Yang? Sakit? Ayo, ke Dokter," pintaku.
Ia hanya diam memandangiku yang bingung. Perutku keroncongan. Aku mencoba menahan lapar.
"Ini," katanya sambil menyodorkan list di sebuah kertas.
"Tagihan listrik kan udah," kataku sambil menerima secarik kertas darinya.
"Baca," katanya.
"Tadi aku chat di nomormu, kok tidak dibaca?"
Aku terdiam. Kukira itu list sembako. Aku mencoba memahami, tetapi gejolak amarahku memuncak. Ekspresiku mulai berubah. Hendak kucakar kulitnya. Kujambak rambutnya. Bisa-bisanya ia memikirkan skincare daripada beras!
"Kok tidak beli?" nadanya meninggi.
Nyaliku menciut. Kemarahan itu hanya dalam benakku. Sejatinya aku tak berdaya di hadapannya.
"Belum gajian, Yang," suaraku memelas.
"Tunggu gajian juga baru aku masak," katanya santai dan berlalu.
Aku hanya menelan ludah, berharap perut memahami situasi.
5 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H