Ayahku tersenyum bangga saat pembangunan rumahku selesai. Mungkin ayah tak percaya aku bisa sesukses ini. Semua pencapaian ini berkat didikan ayah, tentu doa ibu juga.
"Kamu hebat, Nak!" kata ayah sambil menepuk bahuku.
"Tanpa Ayah, aku bukan siapa-siapa," jawabku.
"Oh, begitu. Ibu tidak hebat?" ibu protes.
Aku tersenyum padanya. Aku mengecupnya, memeluknya, merasakan kembali kehangatan darinya.
"Doa Ibu luar biasa. Makasih, Bu," bisikku di telinganya.
Aku meyakini usaha keras, keteguhan hati, dsn dukungan keluarga membuatku menikmati bahagia. Aku hanya debu tanpa itu.
"Yang, ayo!" ajak istriku.
"Bentar, Yang, aku masih ngobrol sama ayah dan ibu," jawabku.
Anakku merengek meminta segera naik mobil. Ini gara-gara istriku, ingin jalan-jalan menikmati liburan. Anakku terus menangis, terpaksa aku menuruti. Aku mengajak ayah dan ibu. Namun, keduanya menolak. Kata mereka biarkan aku menikmati waktu hanya dengan keluarga kecilku. Hidup terasa indah pada waktunya.
Dering alarm berbunyi. Aku sangat terganggu. Mimpiku belum selesai. Aku masih mau habiskan waktu dengan keluargaku.