"Aku tidak akan pasrah mencintaimu," janjiku padanya saat itu di warung kopi sepi di sudut desa. Keremangan cahaya lampu memberiku waktu mengecup bibirnya tanpa disadari pemilik warung. Tentu ia tersenyum dan menelukku.
"Termasuk jika ayahku tak setuju?" bisiknya.
"Ya," jawabku.
Malam semakin larut. Aku dan dirinya terlarut dalam buaian cinta yang gamang. Aku mencoba menenangkannya. Ia tampak lesu. Terlihat bola matanya yang sayu.
"Kau tahu, aku tidak takut siapa pun," bisikku.
"Ayahku bukan preman pasar," jawabnya.
"Aku tahu. Apa wajahku tampak takut?"
Kopi sudah dingin. Aku masih menikmatinya. Kehangatan kudapat dari pelukannya. Ia sangat erat memelukku. Aku tahu, ia cinta matiku. Ruang kosong hatiku terisi penuh cintanya. Tak mungkin aku mundur sejengkal hanya karena ayahnya pereman.
Dua pria besar tiba-tiba muncul. Anya bersembunyi di balik punggungku. Aku menguatkan diri menghadapi mereka. Aku mencoba tidak gemetaran. Kenapa pula aku gemetaran? Aku laki-laki yang siap melindungi kekasihku. Dua pria itu mendekat. Tampang sangar tanpa senyum. Di belakang mereka, pria paruh baya berdiri kokoh menatap ke arahku.
"Itu Ayah," bisik Anya.
Dua pria berotot itu memberi jalan. Ayah Anya melangkah pelan. Anya masih bersembunyi di belakangku.
"Kamu Yanto?" tanyanya dengan nada tinggi.
"Ya," jawabku singkat.
Ia menatapku tajam. Aku tak goyah. Cinta menguatkanku.
"Tinggalkan putriku," katanya.
Aku mendekatinya. Aku menatap tajam matanya.
"Lihat aku, Pak! Lihat!" kataku mengimbangi suaranya.
"Aku akan pergi! Jangan bunuh aku, Pak," Â kataku memohon dan kabur.
Aku tak menoleh. Aku tahu Anya menyesal menjalin hubungan denganku, pria pengecut.
28 Februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H