"Bulannya indah!" serunya.
   Aku ikut mendongak memerhatikan. Ya, bulannya memang indah sejak diciptakan. Senyumnya mengembang menghiasi angkasa yang membentang. Seperti dia yang saat itu datang, memberiku senyuman yang sedap dipandang.
   "Tidak seindah kamu," godaku.
   "Dasar," ia sedikit cemberut dengan wajah tak bisa sembunyikan cantiknya.
    Aku mendekatinya, memeluknya dari belakang. Aku mencintainya, seperti bulan yang bermadu kasih dengan malam: tak terpisahkan!
   "Aku bahagia," katanya.
   "Apa aku tak terlihat bahagia?" tanyaku.
   "Wajahmu tidak menunjukkannya," katanya.
   Aku melepaskan pelukan. Membalikkan badannya menghadapku. Kini berhadap-hadapan, tak kuasa aku menahan degupan. Aku memasang waja sebahagia mungkin. Aku tersenyum seindah mungkin. Biarkan ia tahu, aku pun seindah bulan.
   "Lihatkan, wajahku bahagia?" tanyaku berbisik.
   Ia tersenyum dan memelukku kemudian. Aku terlarut dalam buaiannya.
    Aku menatap bulan malam ini. Di sini, di tepian danau ini. Tempat aku dan dia memadu cinta. Aku tersenyum menatap bulan, yang benderang. Aku tahu ia menatapku dari sana. Aku tahu ia tersenyum.
   "Bukankah kita harus terus hidup? Sekalipun hidup tak mampu menghidupkan suasana yang kita mau," kata Dirga, karibku.
   Aku menoleh menatapnya tersenyum,"Ada saatnya kita yakin akan cinta, sekalipun keyakinan hanyalah cara menyenangkan diri dari kehilangan," kataku.
   "Cintamu sangat kuat," katanya.
   "Sudah berakar," jawabku.
   Aku pun tersenyum. Bulan masih indah menurutku.
   Bulan berkedip. Aku tahu itu dia, sedang memandangku.
   "Aku mencintaimu!" gumamku.
30 Nov 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H