Wajahku tak bisa sembunyikan kekecewaan yang membuahkan kesedihan. Kesedihan menghasilkan air mata yang tak disuka turunnya! Hati memang tak terlihat sedihnya, tapi rasanya, ah, sungguh menyiksa.
   "Yang kuat, Bro," kata temanku mengiba.
   Aku memaksakan bibirku tersenyum, sekalipun itu menyakitkan. Siren tak sedikit pun memandangku. Ia lebih memilih pria berkacamata itu. Mereka terlihat dekat. Api cemburu membakarku. Tidak mungkin aku menyergap, ini tempat ramai. Aku hanya bisa terpaku menahan amarah, kecewa, dan benci.
  Aku memandangi jemariku yang mengenakan cincin. Cincin bukti cinta dan penyatuan dua manusia. Aku mencopotnya dan melemparnya entah kemana.
   "Hai, Savio," Siren mengagetkanku.
   Aku memandanginya dengan tatapan tajam. Sepertinya Siren bisa membaca air mukaku.
   "Ini Devan, sepupuku yang sering kuceritakan," jelasnya.
    Aku terdiam, menyembunyikan jemariku yang tak mengenakan cincin. Aku terpaku ketika Siren memegangi tanganku.
    "Sav," Siren menatapku.
    Seorang gadis belia menghampiriku. Ia Diana, gadis mungil sahabat adik perempuanku yang sangat dekat denganku. Ia tiba-tiba merangkulku. Siren terdiam. Ia menggeleng, seolah memaknai hal ini sesuai prediksinya. Aku hanya terdiam, menatap Diana untuk memberinya tanda melepaskan rangkulannya. Siren menghilang di balik kerumunan. Aku sibuk mencari cincin yang kubuang.
8 Nov 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H