Ada yang kurang sehabis makan. Makan buah-buahan? Ah, tidak! Itu kehidupan bangsawan. Minum susu? Tentu tidak pula, itu bukan gaya kehidupanku. Sebenarnya mau, hanya tidak punya uang saja. Jadilah aku di sini, di tepi jalan, berharap ada kawaku memberi rokok.
  Aku memastikan pandanganku. Aku takut salah. Samar-samar, dalam gelap, aku melihatnya. "Mungkinkah itu spiderman?" gumamku. "Jangan-jangan...." Aku tak sanggup memikirkannya. Aku mulai keringatan. Darahku berdesir. Aku hendak pulang, tetapi, "Prak!" suara sepotong seng yang tak sengaja kuinjak. Pandangannya mengarah padaku. Aku makin takut. Ia mengenakan baju serba hitam dengan tatapan yang tajam.
  "Mungkinkah ia dukun santet? Iii," aku makin takut.
   Aku ingat cerita ayahku dulu. Beberapa di kampung kami meninggal gara-gara santet. Menurut cerita, dukun santet kerap ke luar rumah malam-malam.
  "Aku belum mau mati," gumamku.
  Aku bersiap. Aku mengambil nafas dalam-dalam. Ya, aku harus berlari secepat mungkin. Tak mungkin aku terjatuh berlari dalam gelap. Ini kampungku, aku tahu ke arah mana aku berlari.
   Mulutku dibekap. Aku berteriak itu tak mungkin.
   "Jangan teriak," bisiknya.
   Aku bermandi keringat. Aku pasrah. Setelahnya aku tak ingat. Aku siuman beberapa saat kemudian. Aku kaget, ada beberapa bungkus rokok di dekatku, dengan beberapa lembar uang.
  "Hei, di sini malingnya," seseorang berteriak ketika melihatku. Aku bingung. Tak ada pilihan selain berlari. Sialnya aku lupa rokok-rokok itu.
11 Oktober 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H