5 menit, pesanannya ada. Aku menganga.
      "Kok bisa?" gumamku kecewa.
Lagi-lagi ia tersenyum manja. Aku makin kecewa. Mau menggebrak meja, aku tidak berkuasa. Senyumnya yang menggoda melumat rasa kecewaku. Terpaksa aku kembali duduk, menunggu pesanan dengan segumpal emosi yang mati suri. Mau cari warung lain, astaga, hanya ada yang ini. Aku harus duduk saja. Sementara gadis berbaju jingga sudah setengah piring nasinya habis terkikis.
Aku menyalakan rokok, hitung-hitung untuk mengendurkan masamnya wajahku. Asap mengepul dalam ruangan sumpek itu. Aku tidak hirau, mungkin ada yang merasa terganggu. Tanpa sengaja aku menoleh ke sana, ke meja sbelah kanan. Ia hanya tersenyum saja. Ia menghentikan makannya. Ia sibuk mengusir asap rokokku yang memenuhi ruangan. Tanpa diduga-duga, aku mematikannya, mungkin karena senyumannya yang sangat bersahaja.
      "Es tehnya," kata pelayan itu setelah 1 jam menunggu.
      Ingin kumaki saja, sebab seleraku sudah menguap rupanya. Tapi apa daya, ada dia di sana, di mana aku tidak bisa berbuat apa-apa.
      "Makasih," kataku terpaksa senyum.
 Dengan segenap tenaga dan emosi yang terpendam lama, aku menyerubut pesananku dengan semangat membara. Sekian detik selesai. Pesananku tinggal gelas dan es batu yang masih membeku, seperti aku yang terlihat kaku tanpa aku tahu. Aku menatapnya lama, dan pura-pura kalau tertangkap. Lagi-lagi ia tersenyum saja.
      Lamunanku mengembara ke sebelah sana. Hiruk-pikuk penumpang yang kenyang tidak terbayang. Aku sibuk menenangkan jantung yang berdetak kencang. Aku serasa melayang ke sana, ke alam di mana aku dan dia berada.
      "Permisi," kata pelayan yang tadi berwajah suram.
      "Silahkan," kataku.