Mohon tunggu...
Maria Novela Wulandini
Maria Novela Wulandini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memaknai Konflik Israel-Palestina melalui Lensa Orientalisme

4 April 2024   10:20 Diperbarui: 4 April 2024   10:57 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akar Sejarah Konflik Israel-Palestina: Nakba 1948

Nakba merupakan peristiwa pengusiran terhadap warga Palestina dari tanah kelahiran mereka sendiri dengan cara-cara kekerasan. Pengusiran ini dilakukan oleh para pasukan Zionis dan tentara Israel setelah Negara Israel berdiri. Israel sendiri didirikan dengan tujuan untuk membentuk negara yang mayoritasnya adalah kaum Yahudi. Akar terjadinya Nakba yang juga memengaruhi konflik Israel-Palestina hingga saat ini disebabkan oleh kemunculan Zionisme. Zionisme sendiri muncul pada akhir abad ke-19 ketika para kaum Yahudi yang tersebar di Eropa memutuskan untuk bermigrasi ke tanah suci, yaitu Palestina dan mendirikan negara bagi kaum Yahudi di Palestina sebagai suatu gerakan nasionalisme kaum Yahudi dan juga sebagai solusi dari fenomena antisemitisme atau kebencian terhadap Yahudi di Eropa dan Rusia. Kemudian, kaum Yahudi datang ke Palestina sebagai penjajah dan mulai melakukan perampasan tanah dari penduduk asli, yaitu Arab Palestina.

Pembentukan negara Israel juga dipengaruhi oleh adanya campur tangan dari Inggris. Palestina yang sebelumnya dikuasai oleh Ottoman kemudian dikuasai oleh Inggris setelah Ottoman mengalami kekalahan pada Perang Dunia I. Setelah itu, Perdana Menteri Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang menyatakan bahwa Inggris menjanjikan wilayah Palestina sebagai national home bagi para kaum Yahudi yang selama ini tersebar atau berdiaspora karena tidak memiliki tanah mereka sendiri. Alhasil, kaum Yahudi yang berpindah dan menetap di Palestina jumlahnya mengalami peningkatan sehingga menimbulkan ketegangan antara kaum Zionis yang ingin menciptakan negara bagi para kaum Yahudi di Palestina dan warga Arab Palestina yang ingin mempertahankan tanah air mereka.

Namun, pada tahun 1947, isu perebutan wilayah antara Israel dan Palestina diserahkan oleh Inggris kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB kemudian mengeluarkan sebuah resolusi tentang pembagian wilayah kepada masing-masing Yahudi dan Arab Palestina yang kemudian ditolak oleh pihak Arab Palestina karena pembagian yang ditetapkan tidak imbang, sebab Israel yang komposisinya merupakan kaum pendatang mendapatkan lebih banyak wilayah daripada Palestina yang komposisinya merupakan penduduk asli. Palestina melihat resolusi tersebut merupakan keputusan yang terlalu memihak kepada kaum Zionis dalam berupaya untuk mengusir warga Arab Palestina. 

Penolakan tersebut kemudian memicu perang antara warga Arab Palestina dengan kaum Zionis sehingga akhirnya menyebabkan peristiwa Nakba 1948. Pasukan Zionis melakukan penyerangan terhadap wilayah-wilayah yang termasuk sebagai wilayah Arab Palestina pasca resolusi PBB sehingga warga Palestina terpaksa mengungsi. Hal ini merupakan upaya kaum Zionis untuk menjadikan wilayah Palestina didominasi oleh kaum Yahudi dengan melakukan pengusiran terhadap Arab Palestina. Dengan adanya peristiwa ini, istilah pengusiran sudah tidak lagi relevan dengan memuncaknya konflik sehingga istilahnya berkembang menjadi tingkatan yang lebih ekstrem, yaitu pembersihan etnis terhadap Arab Palestina. Nakba sendiri tidak hanya berhenti pada tahun 1948, tetapi tetap terjadi hingga saat ini dalam rangka penguasaan wilayah Palestina oleh Israel.

Konflik Israel-Palestina Pada Masa Kini

Konflik Israel-Palestina memanas kembali, bermula pada 7 Oktober 2023 hingga saat ini. Perlawanan awal oleh kelompok Hamas dari Palestina dengan Operation Al-Aqsa Flood dilancarkan melalui serangan udara lewat roket dan serangan darat ke wilayah Israel lewat invasi terhadap Israel melalui Jalur Gaza. Serangan ini dilakukan ketika kaum Yahudi di Israel sedang merayakan hari Sabat Yahudi.  Hal tersebut terjadi sebagai upaya kelompok Hamas dalam menanggapi fenomena semakin kuat dan meluasnya gerakan Zionisme Israel di wilayah Palestina. Meluasnya gerakan tersebut dapat dilihat dari perluasan permukiman kaum Yahudi, penguasaan wilayah Al-Aqsa, serta pengepungan atau blokade atas Gaza yang semua dilakukan oleh Israel sehingga mengancam posisi dan eksistensi Palestina. 

Perluasan pemukiman Yahudi oleh para Zionis dilihat dari adanya pengesahan pembangunan tiga pemukiman di bagian selatan dari wilayah pendudukan Tepi Barat. Hal ini dilakukan dalam rangka Israel ingin merebut wilayah Tepi Barat, padahal upaya tersebut merupakan upaya yang melanggar hukum internasional. Selain itu, penguasaan wilayah masjid Al-Aqsa oleh Israel menjadi pemicu penting pula karena penguasaan tersebut merupakan tindakan yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Wilayah Al-Aqsa seharusnya merupakan wilayah yang memiliki status quo yang dijaga oleh Yordania. Namun, pada realitasnya, pihak keamanan Israel-lah yang mengatur akses atas wilayah Al-Aqsa. Tentu hal ini menjadi kekhawatiran bagi warga Palestina sebab Al-Aqsa yang merupakan kiblat utama umat Muslim malah direbut oleh Israel.

Kemudian, dalam konteks aksi blokade yang dilakukan Israel terhadap Gaza selama 17 tahun, hal ini juga menjadi pendorong bagi Hamas untuk melakukan penyerangan kepada Israel. Hal ini terjadi karena kelompok Hamas yang pada saat itu menguasai Gaza tentu dirugikan oleh aksi blokade tersebut sebab ruang gerak mereka dan masyarakat Palestina lainnya sangat dibatasi oleh Israel. Pembatasan ini bagi Israel dilakukan demi melindungi warga Israel dari kelompok Hamas. Alhasil, hal tersebut mendorong dan memperkuat motivasi kelompok Hamas untuk melawan Israel lewat serangan militer demi mempertahankan dan merebut kembali wilayah Palestina yang sudah dicaplok oleh Israel.

Namun, kemudian serangan dari kelompok Hamas menuai respons dari Israel dengan dideklarasikannya pernyataan perang. Israel membombardir Gaza dalam rangka melawan mundur atau mengusir kelompok Hamas. Operasi yang dilakukan oleh Israel dikenal sebagai Operation Iron Swords yang dilakukan untuk melawan kembali dan merebut kembali wilayah dari Hamas. Dalam operasi ini, Israel melakukan penyerangan terhadap markas kelompok Hamas dan juga menyerang area-area publik, seperti stasiun radio, tempat hunian warga, kamp pengungsian, masjid, serta rumah sakit sehingga warga sipil Palestina juga menjadi korban, baik karena penembakan, pengeboman, maupun penyanderaan. Israel juga melakukan blokade total terhadap gaza sehingga pasokan makanan, bahan bakar, dan listrik terputus. 

Perspektif Orientalisme dalam Memahami Konflik Israel-Palestina

Konflik Israel-Palestina merupakan salah satu praktik dari Orientalisme. Orientalisme menurut Edward Said menggambarkan cara pandang Barat terhadap Orient yang mengacu pada bangsa Timur, termasuk Palestina. Cara pandang Barat terhadap Orient didasarkan pada stereotip dan prasangka negatif sehingga Orient dianggap sebagai sebuah peradaban yang primitif, rendah, imoral, dan irasional.  Dengan cara pandang inilah kolonialisme yang dilakukan oleh Barat terhadap Timur  menjadi semakin kuat dan terjustifikasi. Cara pandang ini digunakan oleh Barat sebagai alat untuk dapat menguasai dan merendahkan bangsa-bangsa Timur. Adanya unsur supremasi Barat dalam perspektif Orientalisme menjadikan bangsa Orient yang tinggal di wilayah koloni Barat dianggap sebagai kelompok inferior dan kolot sehingga kehadiran Barat diyakini dapat menjadi penyelamat untuk membentuk peradaban yang lebih rasional.

Dalam konteks konflik Israel-Palestina, kerangka atau konsep Orientalisme ini dijadikan sebagai landasan bagi Barat untuk mendukung kaum Zionis dalam upaya menguasai Palestina melalui kekerasan, seperti merendahkan, mengusir, dan membersihkan etnis Arab Palestina. Hal ini dilakukan oleh Barat atas dasar kepentingan kolonialisme pada saat itu agar Barat mendapatkan dukungan yang lebih untuk memperkuat posisinya di wilayah Timur. Oleh sebab itu, kedatangan para Zionis dan berdirinya negara Israel di wilayah Palestina yang didukung oleh Barat memperlihatkan sebuah fenomena berdirinya negara Barat di wilayah Orient yang oleh Barat dianggap sebagai wilayah yang ketinggalan zaman dan perlu dilakukan transformasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun