Mohon tunggu...
Anne Maria
Anne Maria Mohon Tunggu... -

Bendul Merisi 82 Surabaya Ice cream & Chocolate

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Mimpi Masa Kecil yang Terlupakan

31 Oktober 2014   14:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:04 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Menurutku, kamu berbakat jadi penulis, Mai."

Kedua alisku terangkat tinggi. "Yang benar saja, Vriend."

"Sungguh, Mai. Aku beritahu ya, setiap kali membaca emailmu, aku ikut merasakan apa yang kamu tulis, seakan aku mengalaminya sendiri."

Aku hanya menggelengkan kepala, mengangkat kedua alisku semakin tinggi dan menyeringai.

Vriend tidak menyerah, dia kembali berusaha meyakinkanku. "Coba kamu buat cerpen, esai atau tulisan apapun, kirim ke media cetak atau ikutkan lomba. Aku yakin tulisanmu bisa menang," Vriend medekatkan kepalanya, menatapku, "bisa jadi kamu akan menjadi penulis handal."

Aku, penulis handal?

Sulit bagiku mempercayai kata-kata Vriend.

Namun aku juga tidak bisa mengabaikannya. Karena, berkali-kali Vriend meyakinkanku untuk mulai menulis. Tapi, ada satu alasan lain..Vriend telah mengingatkanku akan satu mimpi masa kecil yang telah aku lupakan.

Ya, di suatu masa aku pernah bermimpi menjadi penulis.

Berulang kali aku membuat dan mengirim cerpen ke majalah anak-anak mingguan. Tapi selalu mendapat penolakan. Hingga di satu titik aku mengambil kesimpulan kalau aku tidak mempunyai kemampuan menulis. Aku mempercayai kesimpulan itu. Dan aku berhenti menulis.

Hingga Vriend mengucapkan kata-kata itu, mantra pengingat akan satu mimpiyang kulupakan.

Tanpa sepengetahuan Vriend atau siapa pun, diam-diam, aku mulai menulis. Cerpen, esai bahkan novel, lalu mengikutkan tulisan-tulisanku itu ke lomna-lomba menulis.

Seperti sebelumnya, aku menerima penolakan demi penolakan, yang membuatku putus asa dan hampir saja, sekali lagi meyakini kesimpulanku sebelumnya, bahwa aku tidak memiliki kemampuan menjadi penulis dan memutuskan melupakan kembali mimpi itu.

Satu keajaiban kecil datang.

Aku mendapat paket, sebuah buku kumpulan cerpen, dancerpenku satu di antaranya. Senang, bangga, sulit percaya, juga sebal, bergumul menjadi satu di hatiku.

Rasa senang dan bangga sudah pasti, bagaimana tidak? Nama dan satu karyaku diabadikan dalam sebuah buku. Rasanya seperti mendapatkan medali emas olimpiade (hiperbola banget ya. Perumpamaan yang tidak sebanding. Tak mengapa, namanya juga euforia).

Belasan, mungkin puluhan kali aku melihat namaku yang tertera di buku itu, sekedar untuk menghapus rasa tidak percaya yang masih memenuhi hatiku.

Tapi, aku juga merasa sebal. Sangat.

Cerpen itu kukirim mengikuti lomba sekitar satu tahun sebelumnya. Sejak kukirim cerpenku itu, hingga aku menerima buku itu, aku sama sekali tidak pernah mendapat informasi apapun dari penyelenggara lomba. Tidak ada pemberitahuan siapa saja nominatornya, siapa pemenangnya,bahkan tidak ada pemberitahuan cerpen-cerpen terpilih akan diterbitkan menjadi sebuah buku kumpulan cerpen.

Saat kuhubungi penyelenggara lomba untuk menanyakan tentang hal itu, dengan tenang penyelenggara lomba mengatakan, "Maaf ya, Mbak, kami tidak memberitahu perihal penerbitan buku tersebut karena masalah administrasi. Dan sekali lagi kami minta maaf karena segala keuntungan dari penjualan bukutersebut akan didonasikan seluruhnya untuk kegiatan sosial, membantu anak-anak terlantar."

Kegiatan sosial ya? Oke, bisa aku menerimanya, hitung-hitung menambah pahala. Kalau mereka bohong, biar mereka tanggung sendiri dosa dan akibatnya.

"Segala peristiwa pasti ada hikmahnya." Itu kata-kata bijak yang sering kudengar, dan kupercayai.

Demikian juga kejadian itu, pasti ada sisi positifnya.

Buku itu melahirkan keyakinan baru padaku, bahwa aku bisa membuat tulisan yang bagus hingga layak diterbitkan. Semangatku tumbuh. Aku semakin rajin menulis, juga membaca tulisan penulis-penulis lain.Kuperbaiki gaya tulisanku, pilihan kata-kataku, dan kemampuan lain yang hanya bisa aku asah lewat menulis.

Setiap kali merasa lelah dan ingin menyerah karena penolakan dan kegagalan, aku menatap buku kumpulan cerpen bersampul hijau itu, menjadikannya suntikan energi yang membuatku kembali bersemangat untuk meraih satu mimpi masa kecilku.

Keyakinan, kerja keras dan kesabaranku mulai menampakkan hasil. Dua cerpenku memenangkan lomba, beberapa yang lain masuk nominasi dan dibukukan dalam kumpulan cerpen lagi. Dan, yang satu ini membuatku melayang ke langit biru. Satu minggu yang lalu, novel perdanaku dipajang di toko-toko buku.Bangga dan bahagia memenuhi diriku, membuat bibirku terus mengembangkan senyum lebar beberapa hari belakangan ini.

Itu sepotong kisah yang bisa kubagi melalui lomba menulis artikel yang diadakan Rasibook, yang kuharap bisa memberi semangat bagi para calon penulis lainnya untuk tidak mudah menyerah. Apalagi saat ini banyak cara dan kesempatan untuk menjadi penulis. Seperti Rasibook yang dengan baik hati menampilkan setiap naskah yang dikirimkan penulis di website mereka, dirasibook.comjuga akan dipromosikan melaluifanpagemereka, serta melalui twitter di @rasibook.

Jadi, jangan menyerah dan teruslah berusaha.

Satu tips terakhir dariku, cari dan milikilah teman yang melihat kemampuan kita, teman yang menyemangati kita untuk maju dan meraih impian kita. Untukku, dia adalah Vriend. Terima kasih, Vriend.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun