Mohon tunggu...
Rizka Marianna
Rizka Marianna Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan biasa-biasa aja

Reading beyond the lines. Professional Loner.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sebuah Kursi dan Sebuah Cerita, Fenomena Pop Culture Kursi Depan Indomaret

27 Agustus 2024   10:19 Diperbarui: 27 Agustus 2024   19:16 1657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gerai Indomaret. (Sumber: SHUTTERSTOCK/FARISFITRIANTO via kompas.com)

Kursi di depan minimarket seperti Indomaret telah menjadi simbol tempat "pelarian" sederhana bagi orang-orang yang membutuhkan waktu untuk merenung atau beristirahat secara emosional. 

Ini melambangkan ruang publik yang bebas biaya, tempat orang dapat "melarikan diri" dari tekanan sehari-hari, meskipun hanya untuk sesaat. Sebab kegiatan ini biasanya dilakukan saat jeda pendek dari pekerjaan, misal sebelum berangka / pulang kerja, dll.

Facebook Indomaret Point
Facebook Indomaret Point
Kritik Terhadap Sistem Kesehatan Mental 

Idiom ini juga dapat dilihat sebagai kritik terselubung terhadap kurangnya dukungan yang memadai dari pemerintah dan sistem kesehatan mental. Dengan semakin banyak orang yang merasa tertekan oleh masalah kesehatan mental.

Disadari atau tidak ada kebutuhan yang lebih besar untuk akses yang lebih mudah dan terjangkau ke layanan seperti terapi dan konseling. Ketika ini tidak tersedia, masyarakat mungkin mencari alternatif lain yang lebih murah, meskipun tidak selalu efektif atau sehat.

Budaya "Selesaikan Sendiri" dan Stigma Kesehatan Mental 

Selain mencerminkan masalah biaya, idiom ini juga bisa merujuk pada budaya di mana masalah kesehatan mental sering dianggap sebagai sesuatu yang harus diatasi sendiri tanpa bantuan profesional. 

Duduk di depan Indomaret bisa menjadi representasi dari cara masyarakat mengatasi stres atau kecemasan tanpa mencari bantuan medis, baik karena stigma yang melekat pada gangguan mental atau karena alasan ekonomi.

Sebab di Indonesia para penderita atau penyintas depresi ini sering diberikan stigmasi sebagai seseorang yang lebay dan tidak dekat dengang agama, sehingga krn hal ini membuat banyak penderita/penyintas memilih diam dan memendam. 

Isu mengenai kesehatan mental ini masih menjadi sesuatu yang asing, khususnya apabila kita berada pada suatu lingkungan yang (mohon maaf) menengah ke bawah, isu ini sebatas di stigmasi sebagai kondisi seseorang yang kurang beribadah, kurang mendekatkan diri pada yang Maha Kuasa.

Padahal siapapun dalam kondisi apapun bisa memiliki mental health tak dibatasi oleh usia, gender, profesi, status dan beragam situasi-situasi lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun