Mohon tunggu...
Mariann3
Mariann3 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Favoritku, Rose si MoodBoostherapy

4 November 2016   21:57 Diperbarui: 4 November 2016   23:17 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kecil dulu, setelah mandi, orangtuaku selalu membalurkan minyak kayu putih di perutku. “Supaya hangat,” itu kata mereka.

Namun, semakin dewasa kebiasaan itu hilang. Minyak kayu putih digantikan oleh bodyspray, cologne, parfum. Aroma khas minyak kayu putih digantikan dengan aneka wangi bunga.

Minyak kayu putih hanya kuingat saat membeli hadiah untuk bayi yang baru lahir atau saat para tetua, itu sebutanku untuk orang-orang (yang memasuki usia) tua dalam keluargaku, sedang tidak enak badan dan akan bepergian. Minyak kayu putih merupakan salah satu ‘benda wajib dibawa’ oleh para tetua saat bepergian.

Karena itu, aku menempatkan minyak kayu putih jauh-jauh dari jangkauan tanganku, supaya tidak mendapat mendapat julukan tetua.

Aku berhasil melakukannya hingga siang itu, beberapa tahun lalu.

Saat itu aku tengah (berusaha) melarikan diri dari seseorang yang mengikutiku. Bukan sok atau mengada-ada ya, tapi itulah yang terjadi saat itu. Orang itu, mengurungkan niatnya kembali ke Jakarta, memutuskan naik bis ke arah Tuban yang aku naiki. Selama empat jam perjalanan dari Kudus hingga Tuban, aku terus berpura-pura tidur.

Saat orang itu sedang melakukan sholat Ashar di Masjid Agung Tuban, aku langsung angkat kaki dari sana, berlari secepat mungkin ke jalan raya dan melompat ke bis pertama yang melintas.

Saat berada di dalamnya, barulah aku sadar kalau bis yang aku naiki ternyata bis ekonomi. Tapi, karena kawatir si penguntit menemukan dan mengikutiku lagi jika aku turun dan menunggu bis patas, aku memutuskan duduk di kursi deretan depan, menempuh tiga atau empat jam perjalanan menuju Surabaya.

Satu jam pertama belum berlalu tapi aku sudah kewalahan. Bau amis ikan-ikan dalam bubu (orang Jawa bilang wuwu) yang dibawa beberapa penumpang, berbaur dengan bau keringat dan ketiak orang-orang yang berpegangan pada palang atau dinding bis. Semua aroma itu membuatku pusing, mual.

Angin yang menerobos dari jendela bis yang sengaja aku buka berhasil sedikit mengurangi sakit kepalaku. Namun perutku terus saja bergolak oleh rasa mual. Aku ingin turun, berganti bis patas. Namun aku tidak tahu apakah bis patas melewati rute yang sama dengan bis ekonomi. Apalagi bis ekonomi yang aku naiki menuju terminal Osowilangun, bukan Bungurasih. Daripada tersesat atau kemalaman di tengah jalan, aku memutuskan bertahan dalam bis.

Aku membuka jendela lebih lebar, menempelkan sisi kepala di kaca agar hembusan angin menerpa bisa membuatku lebih baik.

“Pakai ini, Nak.”

Masih menempelkan kepala di kaca bis, dan memeluk erat tas punggung, aku menatap ibu yang duduk di sebelahku, yang mengulurkan botol kecil berwarna hijau transparan padaku.

“Oleskan di perut, pelipis, juga bawah hidungmu. Kamu akan merasa lebih segar, tidak pusing lagi.” Saat aku tidak juga meraih botol kecil itu, si ibu berkata, “Ini minyak kayu putih, Nak. Ibu juga pakai kok.”

Aku tahu. Aku mencium aromanya saat si ibu berkali-kali mengoleskan minyak kayu putih itu ke pelipis, juga menghirupnya. Tidak ingin pusing dan mual lebih lama lagi, aku mengambil botol kecil itu sambil mengatakan, “Terima kasih,” lalu mengoleskannya di perut, pelipis dan sedikit di bawah hidung.

https://www.facebook.com/blue.bell.1428

https://twitter.com/mariann3_andr3/status/794549263531274240

https://4catatanku.wordpress.com/2016/11/04/di-atas-sebuah-bis-dari-tuban-menuju-surabaya/

Sekian detik kemudian, aroma segar ekaliptus membuat sakit kepalaku berkurang. Rasa hangatnya membuat perutku nyaman, rasa mulasku berkurang, dan aku merasa lebih segar. Selama hampir tiga jam berikutnya, beberapa kali si ibu baik hati memberikan botol minyak kayu putihnya padaku. Selama itu pula aku berkali-kali memakainya dan tak lupa mengucapkan terima kasih padanya.

Walaupun begitu, setelahnya, aku masih saja menjaga jarak dari botol minyak kayu putih. Jarang membawa dan memakainya. Alasannya sama, aku tidak ingin disebut tetua. Kalaupun harus memakainya, terutama saat di kantor yang dingin, aku memakainya saat jam istirahat atau saat shalat. Jadi, tidak banyak orang yang tahu dan atau terganggu oleh baunya. Beberapa orang tidak suka bau khas minyak kayu putih.

Tapi, kini ada minyak kayu aromaterapi dari Cap Lang. Ada empat aroma pilihan. Green tea yang menyegarkan. Lavender yang menenangkan. Rose sang pemberi semangat. Dan Ekaliptus yang berguna sekali saat gejala masuk angin datang.

Ke-empatnya dikemas dalam botol hijau transparan. Tapi membedakannya tidak sulit. Lihat saja warna tutup botol, itu penanda paling jelas. Tutup botol aroma lavender berwarna ungu. Rose berwarna merah muda. Sedangkan green tea dan ekaliptus, tutup botol keduanya berwarna hijau. Untuk membedakan keduanya, lihat saja gambar dan tulisan di botol.

Aroma pertama yang aku coba adalah rose, karena mawar salah satu bunga favoritku.

Aku sedikit terkejut, kecewa, karena aroma mawar tidak tercium saat aku menghirup dari tutup botol yang terbuka. Yang tercium adalah aroma ekaliptus.

Tapi, setelah tiga puluh detik aku oleskan di tangan, seiring menghilangnya aroma ekaliptus, harum bunga mawar mulai tercium. Rasanya seperti menempelkan hidungku di sekuntum mawar. Aroma mawar dan rasa hangatnya pun tahan lama. Oke pokoknya.

Sejak itu, tidak masalah lagi kapan dan dimana menggunakan minyak kayu putih, karena Cap Lang memberikan empat pilihan aroma yang bisa dipilih sesuai keinginan, kesukaan setiap orang.

Hanya saja, tidak mudah menemukan aroma rose di toko, apotik atau minimarket sekitar rumah. Bahkan yang green tea pun jarang. Kebanyakan hanya menjual aroma lavender dan ekaliptus. Karena itu, seringkali aku harus beralih pada aroma lavender. Tidak masalah. Aroma lembut lavender juga enak kok.

Kini, jika ingin, butuh, rasa hangat minyak kayu putih, namun tidak terlalu suka aroma ekaliptus atau tidak ingin dicap tua, coba deh pakai minyak kayu putih aromatherapy dari Cap Lang, dan temukan aromaterapi favoritmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun