Waktu membaca buku "30 Paspor The Peacekeepers' Journey" nya J.S. Khairen, aku terkagum-kagum dengan keberanian para mahasiswa yang tetiba harus berangkat ke luar negeri sebagai salah satu persyaratan mengikuti kelasnya Prof Rhenald Khasali di FEB UI.
Tak disangka, tak diduga, aku pun mengalaminya minggu lalu (10-17 November 2019), karena terpilih sebagai salah satu peserta (attendee) sebuah acara Google, yakni Connect Live 2019. Acara ini dipersembahkan oleh Google untuk para Local Guides yang mengikuti kompetisi untuk menghadiri acara tahunan ini.
Ketika mendapat email pemberitahuan bahwa aku diundang, berasa ngeri-ngeri sedap. Bagaimana tidak, aku harus mengusahakan dapat visa dalam waktu kurang lebih 2 minggu. Lalu setelah itu mengurus izin kepergian karena aku bekerja di sekolah. Melintas benua kan tak cukup sehari dua, minimal seminggu. Syukurlah semua itu bisa terlalui. Berikut adalah 12 tips jika tetiba harus sendirian melintasi benua.
Pelajari bahasa internasional, yakni bahasa Inggris. Ini sangat mungkin untuk dilakukan. Salah satu teman baru asal Brazil yang kutemui di acara, baru betul-betul belajar bahasa Inggris dua bulan sebelum acara. Dia berani berbicara dalam bahasa Inggris, walau terpatah-patah. Sebelum ngobrol, ia mengutarakan supaya kita berbicara perlahan karena ia baru saja belajar berbicara dalam bahasa Inggris.Â
Syukurlah aku bekerja di sekolah yang memang berbahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, yakni di Olifant School Yogyakarta. Karena berbahasa Inggris sebuah keharusan, keberanianku terbangun untuk mengutarakan sesuatu dalam bahasa Inggris. Hal ini sangat membantu, terutama kalau mengalami seperti aku, sendirian melintas benua.
Biasakan berperilaku digital, sehingga smartphone kita itu berfungsi maksimal. Hal ini terutama dibutuhkan saat membuat visa secara online melalui ustraveldocs.com. Dari mulai apply, bayar, sampai dapat waktu wawancara di kedutaan. Saranku sih, untuk urusan penting lebih baik wawancara di Jakarta.
Kalau tiket perjalanan disediakan oleh panitia dari luar negeri, kita harus membangun kewaspadaan. Mereka tidak tahu kondisi penerbangan di tanah air kita. Aturan normal memang paling tidak 2 jam sebelum keberangkatan kita sudah harus ada di lokasi chek in pesawaat. Tetapi kalau penerbangannya berkelanjutan (connecting) seperti aku kemarin itu, waktunya harus lebih dari 2 jam, karena ada kemungkinan keterlambatan.Â
Kemarin itu aku disediakan penerbangan pk 10.05 dari Yogya, sementara penerbangan ke Hongkong adalah pk 14.25. Sepintas terlihat masih 3 jam waktu yang ada. Tiba-tiba alarm diriku bunyi, "Bagaimana kalau ada keterlambatan? Bisa-bisa ketinggalan pesawat menuju Hong Kong dan lanjut ke Amerika..." Jadilah aku ganti penerbangan dari Yogya ke yang lebih pagi. Jadi aku punya waktu sekitar 5 jam untuk melanjutkan penerbangan berikutnya.
Waktu yang 5 jam ini tak terasa, karena aku harus makan siang dulu sebelum terbang, agar perutku nyaman. Lalu mencari lokasi check in pesawat yang menuju Hong Kong. Lalu membungkus koperku dengan plastic wrapping, soalnya koperku dari kain yang aku khawatir terbeset sesuatu dan isinya berhamburan keluar.Â
Setelah itu semua, hanya kurang 20 menit, kemudian counter pesawatku buka. Itu juga antriannya panjang. Hal ini perlu lebih lagi diperhatikan kalau pesawat dari kota asal mendarat di terminal yang berbeda dengan pesawat yang akan ke luar negerinya, pasti butuh waktu yang lebih lama.
Sehubungan baru pertama kali ini ke luar negeri, yang jauh sekaligus, aku banyak bertanya ke teman-teman yang sudah pernah ke sana, semacam do's dan don'ts gitu. Salah satu temanku menyarankan untuk memkai bedak yang compact, dan tidak memakai bedak tabur berwarna putih. Bisa kena cekal, karena rupanya yang mirip dengan bubuk narkotika.Â