Mohon tunggu...
Mariani Sutanto
Mariani Sutanto Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog yang berkecimpung dalam parenting, perkembangan anak hingga remaja, dan eksplorasi diri.

Lakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar (Ibu Teresa)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Menjadi Jogja, Saya Berproses Menjadi Indonesia

28 Agustus 2017   23:09 Diperbarui: 29 Agustus 2017   08:35 1387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pawai Budaya @ Malioboro 2010, penulis ketiga dari kiri (Dok. Pribadi)

"Jogja itu Indonesia mini". Ah, sepertinya itu slogan lawas. Benar bahwa di Kota Pelajar ini berkumpul siswa dan mahasiswa dari berbagai kota dengan bahasa, agama, karakter, dan kebiasaan berbeda. Ditingkahi gaya hidup yang semakin mendekati gaya hidup kota besar, maka Jogja sebagai "Indonesia Mini" hanya sebuah konsep. Kecuali ... jika yang terhisab ke dalam kota Yogyakarta menghidupinya, mengambil roh darinya, serta mengadopsinya sebagai bagian dari gaya hidup--barulah ia lulus "menjadi Jogja menjadi Indonesia".

Saya beruntung mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk menumbuhkan kecintaan pada kota ini; menyerap dinamika gerak hidup penduduknya, mencecap gempita malam-malam penuh parade puisi di boulevard UGM, atau sorak kemerdekaan antarfakultas di rerumputan depan Gedung Pusat UGM.

Keberuntungan itu semakin terasa saat saya melangkahkan kaki memasuki halaman luas sebuah rumah tipe lama di sebuah jalan besar di kawasan Sagan. Masih teringat jelas pohon cemara besar di samping pintu utama. Saat saya menekan bel, muncul seorang ibu tua berwajah cantik dengan senyum yang menghangatkan hati. Ternyata keberuntungan memihak saya, karena masih tersedia kamar kosong di kos-kosan itu. Dan, Tante kos juga tinggal di sana, ini yang membuat saya semakin mantap untuk tinggal di sini. Orangtua saya pasti tenang bila anak perempuan satu-satunya ini punya induk semang.

Malam pertama di kos terasa sangat canggung saat selesai makan malam terdengar suara Tante, "Mbak, kalau habis makan, piringnya dibawa ke dapur ya?" Teguran halus ibu kos itu kontan menghentikan langkah saya. Dengan perasaan gak enak gimana gitu, saya kembali ke meja makan dan melaksanakan perintahnya. Teman-teman kos yang sudah lebih lama di sana, tersenyum-senyum.

"Pasti sebelum ini nggak pernah ya disuruh bawa piring kotor ke dapur? Dulu pas pertama di sini kami juga ditegur Tante kayak kamu sekarang ini. Santai aja, itu peraturan tak tertulis di sini." Karena penjelasan ini, saya yang tadinya ingin segera kembali ke kamar, jadi ikut nimbrung di meja makan. Mula-mula terasa garing, tapi lama kelamaan obrolan kami makin asyik, hingga tak terasa kami keterusan bersenda gurau hingga saat tidur malam tiba. Percakapan meja makan malam itu menjadi tonggak perubahan dalam hidup saya.

Semakin lama, saya semakin cinta dengan kos-kosan itu. Bukan hanya bangunannya yang memberi perasaan tenteram setiap pulang kuliah, tetapi juga perasaan aman terlindung karena kos kami punya induk semang dan peraturan ketat. Maklum, Tante kos saya dulu mengenyam pendidikan Belanda. Apa lagi yang masih kuharapkan bila  kos kami sudah all in; makan, air minum, cuci baju, seprai, dan sarung bantal guling semua tersedia. Kami hanya tinggal belajar serta mencuci pakaian dalam, tak perlu memikirkan tetek -bengek kebutuhan dasar lainnya.

Teman-teman kos sangat heterogen. Beberapa dari Jakarta, jadi sesekali terdengar logat Betawi yang tercetus tak sengaja saat ngobrol. Ada juga yang sesuku denganku, Tionghoa, dari berbagai kota: Purworejo, Tulungagung, Solo, Tegal, Kediri, dan Surabaya. Selain itu ada Jawa, Batak, dan Minang. Campur baur, sampai kami mulai memperhatikan kebiasaan masing-masing dan perlahan-lahan kami beranjak memahami kebiasaan itu. Misalnya, ada satu teman yang suka duduk di kepala meja makan, maka yang lain tak akan mengusik homeostatis-nya. Ada juga yang hidupnya teratur banget, tiap selesai makan malam, langsung ke tempat baju yang sudah disetrika. Maka, kami maklum bila ia terganggu dan mulai ngomel agar kami segera mengambil baju yang sudah disetrika. Ada juga yang rutin dikirimi paket dari kota asalnya.

Suatu kali ada paket dalam dos rokok yang besar. Semua mengira itu paket untuk teman kami. Karena paket itu datang dalam kondisi sudah terbuka dan isinya mangga, maka dos itu langsung ditaruh di kursi dekat meja makan. Tidak ada nama tujuan paket, maka kami berasumsi pastilah paket itu untuk teman kami yang rutin dikirimi paket. Atas izin teman kami itu, setiap orang boleh ambil mangga itu. Ketika mangga sudah hampir habis, baru kelihatan label paket itu. Daaan ... paket itu ternyata untuk teman yang selama ini belum pernah sekali pun menerima paket! Untunglah teman kami itu tidak menyuruh kami mengganti mangga-mangganya, ia hanya berujar pelan, "Yaah ... abis deh mangganya ...."  Uniknya, ada teman kami yang kalau makan, banyak sekali. Suatu kali, saat ia sedang lengah, kami menambahi nasinya. Ia nyeletuk, "Koq nasinya gakhabis-habis ya?" Saat itulah tawa kami meledak dan kami mengaku salah. Mula-mula ia kaget, tetapi tak lama kemudian ia pun larut dalam derai tawa.

Ada pengalaman yang menyenangkan, ada juga yang bikin mewek. Suatu kali saya belajar bahasa Jawa di ruang tamu samping. Saat itu waktu istirahat siang, dan biasanya Tante kos tidur siang. Saking serunya pelajaran itu, saya lupa kalau suara kami bisa terdengar hingga kamar Tante. Akhirnya pembantu rumah kami datang dan meminta kami memelankan suara. Saya langsung merasa tidak enak, tetapi tetap melanjutkan pelajaran.

Sore hari, seperti biasa kami minum teh bersama. Saya sudah lupa kejadian siang itu. Tiba-tiba Tante lewat, langsung saya didekatinya. Wah! Saya deg-degan, merasa akan dimarahi habis-habisan karena tadi siang mengganggu tidur siangnya. Sambil memegang bahu saya, Tante berkata begini, "Mbak, koq belum minta maaf ke Tante, kan tadi siang ribut sekali?" sambil menatapku penuh sayang. Wah ... saya langsung merasa terpukul, sambil menyadari keteledoran itu. Teguran halus Tante sekali lagi membukakan mata saya bahwa sebenarnya seseorang bisa tahu perbuatan salahnya dan tidak perlu dimarahi hingga hatinya terluka.

Pengalaman hidup di kos-kosan selama enam tahun itu secara tidak saya sadari telah memperkaya hidup saya. Di kos-kosan inilah saya belajar keterampilan hidup, bergaul dengan teman dari berbagai suku dan agama. Bagi saya, menjadi Jogja menjadi Indonesia itu nyata sekali dalam kehidupan di kos saya. Heterogenitas di kos itu menjadi "platform" dalam kehidupan saya yang lebih luas.

Selepas mahasiswa, saya menetap di Jogja, tetapi pergaulan saya semakin beragam. Setelah menikah, saya ikut dalam kegiatan dasa wisma di RT tempat tinggal saya. Tak kaget lagi saya melihat beragam ibu-ibu dengan keunikan masing-masing, bahkan saya bisa langsung ikut nimbrung: ramai-ramai mengunjungi ibu yang baru pulang naik haji, mengunjungi yang sakit, ikut dalam kedukaan keluarga pak RW kami. Dengan segala plus minus, saya merasa hidup saya semakin lengkap.

Dalam profesi saya (Psikolog), karena tempaan di kos, saya semakin menikmati kedekatan dengan kolega-kolega yang beraneka ragam. Jika kami bertemu di pelatihan-pelatihan, dan kebanyakan dengan orang yang sama sekali baru, banyak yang bisa saya ambil hikmahnya. Selain wawasan bertambah luas, hati saya juga semakin lapang menerima keberagaman di sekeliling. Saya yang dulu selalu menjaga jarak melihat orang yang berbeda, karena kehidupan kos yang kondusif dalam keberagaman, sekarang malah dengan mudah merangkul orang-orang yang berbeda. Apalagi saat mengampu divisi psikologi di sebuah sekolah multikultur, pengalaman hidup di kos dulu sangat membantu. Terutama ketika menyatakan kesalahan dan menegur secara arsetif anak-anak yang melakukan kesalahan, seperti yang dulu pernah saya terima dari Tante kos yang kini telah almarhumah.

"Menjadi Jogja menjadi Indonesia" akan selalu saya genggam erat. Saya yakin karya saya saat ini merupakan awal dari mata rantai membangun Indonesia melalui kearifan lokal Jogja. Seperti dulu saya berproses menjadi Indonesia melalui Jogja, saya juga berharap murid-murid saya kelak memiliki wawasan keindonesiaan yang seluas hamparan samudera karena mereka telah telah menjadi Jogja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun