Mohon tunggu...
Mariance Palit
Mariance Palit Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Saya guru yang hobi mendengarkan musik, menonton film, dan mencintai puisi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi Buruk

3 Desember 2023   20:15 Diperbarui: 5 Desember 2023   14:09 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mimpi Buruk


Oleh : Mariance Palit

"Braak" dengan amat keras pintu ruang tamu didobrak dari arah luar, seorang wanita tengah baya yang berbaju putih nan lusuh mengesot memasuki rumah. Entah bagaimana caranya menerobos pintu pagar rumah yang terkunci. Wajahnya tak nampak jelas, rambut keritingnya yang berwarna kelabu terlihat kusut terurai menutupi wajahnya. Sontak aroma anyir memenuhi ruangan, anyir yang memualkan, membuat ingin muntah siapapun yang mencium aromanya. Tangan dan kaki perempuan itu terikat rantai besi yang kuat dan ketat menimbulkan luka basah berdarah dan bernanah, pasti dari situlah aroma busuk berasal. Dari luka di tangan dan kakinya. Dia menggerakkan badannya mencoba memasuki rumah dengan sisa tenaganya, kepalanya menggeleng geleng seperti orang panik dan ingin menghindari sesuatu. Dengan terseok dia berusaha secepat mungkin memasuki rumah meninggalkan bekas darah yang kotor di lantai tempat dia lewat. Badannya amat kurus dan penuh luka, dia amat kotor, bau dan kesakitan.

Hari itu siang bolong, ketika mentari tepat di atas kepala. Terik yang amat mencekit di hari Sabtu tiga minggu yang lalu. Waktu yang sangat nikmat digunakan untuk tidur nyenyak di kasur yang empuk. Badan yang lelah pasti lelap ditengah suhu sejuk kamar akibat air conditioner. Siang itu amat sepi, Sekar tidur sendiri di kamarnya, tidurnya amat lelap dan tenang.

Di tengah tidurnya, "braak" terdengar dobrakan kedua, kali ini bukan pintu depan rumah, melainkan pintu kamarnya. Aroma busuk berebutan memenuhi kamar berukuran 3 x 4 meter itu. Saking busuknya aroma itu, Sekar kaget dan terbangun dari tidurnya karena mual yang tak tertahan. "Hoeeek...." Sekar muntah di kasurnya sendiri. Belum cukup mual itu, dia terkejut melihat sosok buruk rupa itu memegang kakinya. Sekar kaget dan berteriak "kamu siapa?", mata Sekar melotot dan secara refleks dia beringsut mundur menjauhi wanita itu.

Tanpa peduli melihat kondisi Sekar yang ketakutan, wanita itu semakin mendekati Sekar, "tolong aku..." begitu katanya. 

Sekar merinding, ketika wanita itu semakin mendekat, dia berusaha mencerna siapa sosok wanita buruk rupa itu, antara jijik dan takut semua bercampur menjadi satu menimbulkan perasaan yang sangat tidak menyenangkan. Menimbulkan rasa sakit yang amat sesak. Belum usai rasa terkejut itu tak lama kemudian terdengar derap kaki yang amat ribut, seperti suara kaki yang terburu-buru. Suara kaki itu mirip suara kaki tentara yang latihan baris berbaris. Suara itu meyakinkan Sekar bahwa jumlahnya pasti lebih dari satu orang, mendengar suara itu, wanita tua itu panik lalu melompat dengan sekuat tenaga menerjang tubuh Sekar yang meringkuk di sudut tempat tidur. Sekar menjerit tak berdaya, tubuhnya disebu wanita itu. Sakit yang luar biasa seketika menyergap tubuhnya. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang, perutnya semakin mual, kepalanya pusing, mata berkunang-kunang, tangan dan kakinya sakit luar biasa, bahkan sekujur tubuhnya terasa sakit dan perih. Sepersekian detik Sekar merasakan perubahan luar biasa pada dirinya. Sakit dan pedih yang tak dapat diungkapkan.

Sekar hampir tak sadarkan diri ketika dua lelaki berbadan besar menerobos kamarnya. Dua lelaki tinggi yang masuk ke kamar Sekar itu memiliki badan berotot yang amat kokoh. Mereka memakai jubah berwarna hitam polos. Di tangan mereka memegang cambuk yang cukup panjang. Cambuk itu memiliki panjang sekitar 2 meter, tali panjangnya berduri tajam, dan ujung talinya ada bola besi berduri. Terlihat jelas bahwa cambuk itu berlumuran darah segar. Sekar menangis kesakitan, perih di sekujur tubuhnya tak tertahankan rasanya, dia ingin pingsan saja.

Tanpa jeda untuk mencerna keadaan itu kedua lelaki tadi secara bergantian mengayunkan cambuk itu ke tubuh Sekar, tanpa ampun dan membabi buta mereka menghajar Sekar. Sekar menangis kesakitan, darah mengucur di sekujur tubuhnya, membasahi baju dan wajahnya. Sekar menjerit kesakitan. 

Sekar berteriak "tinggalkan aku, aku kesakitan, tolong pergi"

"Tolong aku Sekar, tolong aku... " suara wanita tadi menggema di telingan Sekar.

"Aku kesakitan, tolong pergi dari tubuhku, jangan seperti ini, tolong" dengan sengit Sekar memotong terikan wanita itu.

"Tolong aku Sekar" wanita itu tak memperdulikan jeritan Sekar.

Tanpa ampun kedua lelaki tadi secara bergantian mengayunkan cambuk ke tubuh Sekar yang telah dirasuki oleh wanita itu. Sekar menjerit kesakitan setiap kali duri-duri yang ada di cambuk itu merobek kulitnya. Darah segar tak hentinya mengalir dari kulitnya yang awalnya mulus tanpa luka. Semakin lama makin tak kuasa dia menggerakkan tubuhnya, dia pasrah mengikuti tubuhnya dikuasai oleh wanita tua itu. Sekar terlalu lemah untuk melawan, semua ini terlalu menyakitkan. Sekar seperti berada di antara hidup dan mati.

Setelah betubi-tubi menghajar tubuh Sekar, salah satu lelaki itu mendekat, menjambak rambut Sekar dan menyeretnya, sakit yang luar biasa membuatnya lemah dan pasrah, kulit kepalanya terasa seperti sobek, darah mengalir dari sela sela rambutnya, dalam sekejap entah bagaimana caranya Sekar seolah menembus ruang dan waktu. Dia dilempar oleh lelaki itu ke sebuah tempat yang tak pernah dilihat sebelumnya. Rasanya dia terlempar keluar dari kamarnya, dan sosok wanita tua itu telah lepas dari raganya. Sekar terjatuh di tanah basah, tubuhnya yang telah lemah dibanting sekeras kerasnya. Sekar mengerang kesakitan, air mata dan keringat membasahi wajahnya. Bajunya lusuh dan rambutnya kusut mirip rambut ibu-ibu pejabat setelah melepas sanggulnya. Kusut bekas disasak. Kulitnya yang awalnya mulus tanpa luka terlihat sobek di beberapa bagian. Darah segar mengucur dari luka-luka tersebut. Dengan sekuat tenaga Sekar mencoba mengumpulkan energinya. Gelap dan dingin menyergap kulitnya yang penuh luka. Bajunya yang telah sobek-sobek seolah memberi celah bagi udara dingin tempat itu untuk membekukan tubuhnya.

Butuh waktu beberapa detik untuk bisa menyesuaikan matanya dengan kondisi remang tempat itu. Bulu kuduknya berdiri dan tubuhnya mengkerut seketika saat dingin mulai menusuk-nusuk kulitnya. Sekar menangis tertahan, situasi ini sangat menyiksanya, tubuhnya masih kesakitan, meski dia sadar betul bawa wanita tua tersebut tak lagi merasukinya. Sekar kembali mencoba mengumpulkan sisa tenaganya untuk bangkit dari tempat dia terjatuh. Di seberang tempatnya terjatuh tadi Sekar melihat ada sebuah pohon yang amat lebat, dengan merangkak Sekar mendekati pohon tersebut. Segera dia bersembunyi di balik pohon itu. Nafasnya memburu begitu cepat, dibalik tangisannya, Sekar mencoba menenangkan dirinya. Belum lega menarik nafas, Sekar kaget karena dari kejauhan jerit wanita tua tadi kembali terdengar, dan bak suara petir secara bergantian dua lelaki tadi terus menyiksanya dengan cambuk duri. Sungguh iba dan pedih mendengar jeritan itu, rasanya ngilu. Kembali rasa takut meliputi hati Sekar. Sekar mencoba memincingkan matanya, mencoba menyaksikan apa yang terjadi di seberang sana.

Wanita tua itu terlihat mengesot ke arah depan sambil menjerit kesakitan, tanggan dan kakinya meringkuk mencoba menghindari sabetan cambuk. Tangannya menutupi wajahnya yang hampir hancur, kakinya menyeret mencoba menjauhi dua lelaki itu. Besi - besi yang membelenggu kaki dan tangannya bergesekan keras dengan tanah hal itu membuat darah dan nanah keluar dari luka-luka di tangan dan kakinya. Kedua lelaki tadi masih beringas mengayunkan cambuknya. Mata mereka terlihat mengkilat dan sadis. Duri-duri di cambuk itu menancap pada kulit punggung wanita itu, ketika sudah menancap, cambuk itu ditarik sehingga daging punggungnya terkoyak. Darah menyembur dari setiap kulit yang sobek akibat serangan itu. Walau jeritan, rintihan, seruan maaf dan ampun diucapkannya tapi kedua pria tersebut acuh, tak peduli. Seolah gelap, sepi dan dingin membungkam semua teriakan itu.

Sekar cukup takjub pula dengan kondisi wanita tua itu, dengan luka separah itu wanita itu masih kuat untuk merangkak, menjerit. Siapa dia sebenarnya? jika dia manusia mengapa dia belum mati mendapat siksaan sadis seperti itu?. Di persembunyiannya Sekar mencoba mencari tahu misteri apa yang sedang terjadi. Sementara itu dengan tubuhnya yang mulai hancur wanita itu mengesot lagi beberapa saat sampai kepala wanita itu menabrak sebuah pintu yang amat besar. Pintu itu terbuat dari kayu, usia kayunya cukup tua jika dilihat dari warnanya yang amat pudar. Pintu itu tidak bercat, sepertinya dibiarkan alami begitu saja. Dua daun pintu besar kokoh dibingkai dengan kusen yang juga terbuat dari kayu. Engsel besar berwarna hitam terlihat di beberapa titik pinggir pintu. Entah pintu menuju kemana, Sekar pun tak tahu. Ada apa di balik pintu itu? Semua hanya misteri.

Tangan wanita itu terus menutupi wajahnya, dari mulutnya yang berdarah dan giginya yang rompal, dia berteriak "buka pintunya, tolong!" begitu berulang-ulang. Kakinya menendang-nendang pintu itu, berharap seseorang akan membuka pintu itu untuknya. Setiap kali ia menendang pintu itu, tak ada getaran sedikitpun pada daun pintu itu, entah tendangan itu terlalu lemah atau pintu itu terlalu kokoh. Setiap kaki itu menendang, darah ikut keluar dari luka-luka di kakinya menimbulkan bercak-bercak darah pada daun pintu itu. Beberapa kali wanita itu berteriak dan merintih namun tak ada tanda-tanda pintu itu dibuka. Kakinya semakin melemah akibat terkena cambuk dan darah menggenang dimana-mana. Wanita itu menangis tersedu-sedu. Pasrah akan keadaan yang diterimanya.

Kembali rasa mual memenuhi perut Sekar, dia ingin muntah melihat kejadian mengerikan itu. Dia ingin pulang, badannya sangat sakit semua. Hatinya juga pedih melihat wanita itu disiksa seperti itu. Dalam diam Sekar berdoa agar semua ini hanya mimpi buruk dan ia ingin kembali ke kamarnya yang sejuk untuk melanjutkan tidur siangnya. Sepertinya wanita itu menyadari bahwa Sekar sudah tak kuat lagi dan ingin pulang. Dia menurunkan tangannya yang dari tadi menutupi wajahnya, dia mencoba mencari keberadaan Sekar. Sekar terjengkak, kembali dia sangat ketakutan, dia tidak ingin wanita itu kembali menguasai dirinya. Kepalanya menggeleng keras dan tatapannya seolah memohon ampun.

Sekitar dua puluh meter dari tempatnya meringkuk dia melihat dua titik mata manusia dalam kegelapan. Dia yakin itu adalah mata dari sosok Sekar yang bersembunyi di balik pohon. Wanita itu mengibaskan rambutnya yang basah kuyup karena darah dan keringat, ia membuka matanya lebar-lebar, mata yang berwarna merah seperti darah itu menatap Sekar dengan amat tajam. Mata itu melotot mirip mata monster. Sekar kembali mundur beberapa langkah, dia takut luar biasa melihat mata itu. Di sela basahnya rambut wanita itu, Sekar masih dapat melihat jelas raut wajahnya. Sekar melihat jelas bagaimana rupa wanita itu.

"Tolong aku nak" wanita itu merintih, amat pelan namun terdengar jelas di telinga Sekar . Mata Sekar bertatapan langsung dengan mata merah itu. Detik itu juga "deg" jantung Sekar terasa berhenti, sesak rasanya, udara terasa pengap dan dia tidak bisa bernafas. Perutnya kembali bergejolak. Mual luar biasa memenuhi dirinya, rasanya ingin muntah lagi. Mata dan suara itu, apakah Sekar mengenalnya. Rasanya suara dan wajah itu tidak asing, tetapi siapa? Sekelebat bayangan tentang seorang wanita yang dia kenal tiba-tiba muncul. Benarkah dia mengenal wanita itu? Apakah bayangan itu adalah sebuah petunjuk?

Rasanya kepala Sekar berputar, layaknya penyakit vertigo. Pusing dan mual rasanya, lebih pusing dan lebih mual dari sebelumnya. Perlahan lahan gambar suram tentang wanita itu pudar berganti setitik cahaya mulai menusuk matanya hingga semakin terang dan jelas.

"Aaaarggghh" Sekar mengeram keras disertai dengan kesadaran penuh, dia duduk terbangun. Dia duduk di kamarnya yang sejuk, jam di dinding menunjukkan pukul 14.00, berarti sudah sekitar 2 jam dia tidur. Kamarnya bersih dan tidak berbau busuk. Tidak ada bekas darah dan lumpur. Semua bersih seperti sebelum dia tidur. Pintu kamar pun tertutup rapi. Sekar menarik nafas lega, rambutnya basah terkena keringat bahkan bajunya pun basah. Sekar menangis, begitu buruk mimpi siang itu. Seperti mendapat sial rasanya. Perutnya masih terasa mual karena dia kembali mengingat bau busuk itu. Ketika akan menyeka keringatnya, Sekar merintih sakit,

"Aduh..."

Sekar melihat kondisi tangannya, beberapa bagian tangannya terlihat membiru. Kakinya pun begitu. Sekar panik dan menangis. Disentuhnya memar yang paling biru di lengan kirinya, "aduuh..." sakit saat disentuh. Sekar yakin kondisi tubuhnya tadi sebelum tidur tidak seperti itu, tapi ini kenapa? Kenapa saat bangun tubuhnya menjadi memar-memar? Sekar kembali merinding mengingat mimpi yang baru saja dia alami barusan, jika semua itu hanya mimpi buruk lalu kenapa memar dan sakit ini nyata?

Sore itu rasanya lambat sekali, Sekar tak sabar ingin berjumpa dengan Dara, kakaknya. Sekar segera ingin menceritakan mimpi yang telah dia alami siang tadi. Memar di tubuhnya masih nyata dan tidak pudar.

"Brrr brrr brrr" suara motor parkir di halaman rumah, Dara pulang.

Sekar menunggu di depan pintu sambil menunggu kakaknya melepas helm dan jaket. Melihat Sekar, Dara segera berlari dan memegang tangan Sekar. Secara seksama diperhatikan tangan, kaki, dan wajah Sekar. Sekar hanya pasrah diperlakukan seperti itu oleh kakaknya.

"Mana lagi yang sakit? Kamu diapakan wanita itu? Dia masih mengganggumu?" Tanya Dara secara beruntun. Sekar belum sempat menjawab pertanyaan Dara, Sekar kaget kenapa kakaknya berkata begitu sedangkan dia belum bercerita apapun. Sekar mengikuti Dara duduk di sofa ruang tamu.

"Kakak kok tau?" Sekar menuntut jawaban tanpa menjawab pertanyaan kakaknya.

Dara diam, seolah bingung bagaimana cara menjelaskan masalah ini kepada Sekar. Mendung yang tiba-tiba menyelimuti sore itu membuat suasana makin mencekam, bunyi gemuruh guntur melengkapi kesan mistis sore itu. Beberapa menit terdiam, hujan memecah kebisuan mereka. Bukan hujan yang deras, tapi rintiknya cukup membuat sejuk semesta kala itu.

"Aku buru-buru ke sini setelah mendapat firasat bahwa kamu diganggu wanita itu" Dara memulai pembicaraan

"Siapa sih kak wanita itu?"

"Wanita yang kamu lihat di mimpimu adalah Bu Tedjo, teman kerjaku yang telah meninggal sebulan yang lalu"

"Bu Tedjo????" Sekar bergidik ngeri, kembali dia mengingat mimpi itu. Setelah berusaha sejenak untuk mengingat Sekar menyadari, pantas saja di dalam mimpi Sekar merasa seperti mengenal wanita itu. "Kenapa dia seperti itu kak?"

"Beberapa waktu lalu dia juga menggangguku, dia berdiri di depan pintu rumahku, tepat saat hujan deras, kondisinya mengerikan, kaki dan tangan terikat rantai besi, dia dihajar dan dicambuk oleh dua lelaki berbadan besar, dia menjerit memanggilku dan memohon untuk kutolong..."

"Kondisnya persis seperti di mimpiku, kak! Sungguh mengerikan! Apa yang telah terjadi padanya!" Sekar tak sabar dan menyela cerita kakaknya.

"Dalam perenunganku, aku mencoba menelisik dan masuk ke alamnya, memang sungguh mengerikan kondisinya, aku tidak tahu pasti apa yang telah dia perbuat sehingga dia memperoleh siksaan seperti itu, namun aku mendapat sedikit penglihatan bahwa di saat dia masih hidup, dia sering menggunakan uang yang bukan haknya." Dara menghela nafas panjang.

" Ya Allah, ternyata seperti itu kisahnya, lalu apa yang harus kita lakukan kak? Aku takut dia mengangguku lagi, aku takut kak!" Sekar mulai ketakutan lagi.

"Sebagai manusia tentunya kita hanya bisa mendoakan, semoga dengan doa dari kita, dia memperoleh pengampunan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kamu jangan takut lagi, dia hanya sekali saja datang memberi pertanda, selanjutnya dia tak akan menganggumu lagi, asal kamu jangan lupa mendoakan dia" Sekar berusaha menenangkan Dara.

Malam itu Sekar terlalu takut untuk tidur sendirian, sehingga dia tidur ditemani mamanya. Tangan dan kakinya sudah tidak terlalu skait, namun masih meninggalkan bekas berwarna kebiruan. Setelah beberapa saat kesulitan memejamkan mata, Sekar akhirnya ketiduran. Dalam lelap tidurnya, Sekar bermimpi seolah dia berada di sebuah tanah lapang yang cukup sejuk. Di sekeliling tempatnya berdiri adalah pohon-pohon dan rumput yang rindang, angin sore berhembus sangat lembut membuat udara semakin sejuk saja. Kilauan senja mengintip di balik pepohonan yang daunnya rindang. Kembali Sekar bertanya dalam hati di manakah dia? mimpi apa lagi ini?

Sekar berusaha berjalan sambil berharap dia bertemu seseorang. Sepanjang penglihatannya tak terlihat seorangpun di tempat itu, Sekar menjadi takut. Di kejauhan ujung matanya menangkap sosok seseorang yang bersembunyi di belakang pohon.

"Siapa itu?" teriak Sekar panik "Tolong jangan sakiti aku!"

Bayangan itu berpindah tempat, membuat jantung Sekar menjadi deg-degan. Sekar mulai panik, tubuhnya gemetaran. Ditambah lagi senja di tempat itu hampir lenyap berganti malam. Sekar kembali ingin menangis, tangan dan kakinya dingin membeku. Dia takut mimpi ini menjadi mimpi buruk lagi seperti mimpi tadi siang. Dalam sekejap bayangan itu kembali muncul, berdiri di sisi sebelah kanan Sekar, kurang lebih berjarak 15 meter dari tempat Sekar berdiri.

Ternyata yang berdiri adalah seorang wanita, wanita itu menggunakan kerudung dan baju berwarna hitam. Sekar tak bisa melihat wajahnya karena wanita itu membelakanginya, namun Sekar yakin wanita ini pasti Bu Tedjo yang tadi siang hadir dalam mimpinya. Tanpa menoleh, Sekar mendengar wanita itu berkata lirih.

"terima kasih sudah membaca pesanku, tolong doakan aku" ucapan itu amat lirih, namun Sekar yakin akan apa yang didengarnya.

Tanpa menunggu balasan kata dari Sekar, wanita itu berjalan maju perlahan, Sekar hanya mematung kebingungan. Langkah wanita itu tiba-tiba berhenti, diputarnya wajahnya ke arah belakang. Melalui sela kerudungnya, Sekar melihat wanita itu menyunggingkan ujung bibirnya, dia tersenyum. Setelah itu dia kembali berjalan hingga akhirnya hilang di ujung senja.

"Aaargghh...!" Sekar terbangun dari tidurnya. 

Keringat mengucur di dahi dan lehernya, tapi ada perasaan lega luar biasa setelah mengalami mimpi malam itu. Sekar yakin bu Tedjo tak akan datang lagi menganggunya.

"Semoga ibu bahagia di sana!" Ucap sekar untuk menutup doanya.

Doc  Omera Pustaka
Doc  Omera Pustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun