Mohon tunggu...
mariam febrianti
mariam febrianti Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia

3 Mei 2021   13:34 Diperbarui: 3 Mei 2021   13:36 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstrak

 Mengobarkan Pendidikan Islam Di Indonesia, Secara Historis Dimulai Dari Sebuah Pesantren Yang Bernama "Pesantren". Meskipun Belum Disebut Sebagai Pendidikan Resmi Dan Formal Di Era Majapahit. Namun Pada Era Mataram, Pendidikan Di Pesantren Sudah Mulai Merangkak Selangkah Demi Selangkah Menuju Ke Arah Ep Btj Langkah Menuju Bentuk Formalisasi. Apalagi, Pada Saat Yang Sama, Banyak Organisasi Sosial-Keagamaan, Pendidikan, Wacana-Wacana Bermunculan, Seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Al-Lrsyad, Jamyyatul Washliyah, Dan Lain-Lain. Pendidikan Islam Kita Akhir-Akhir Ini Mulai Berkembang Pesat Yang Pola Perkembangannya Lebih Modern Dan Kontemporer. Selain, Ada Beberapa Sekolah Islam Dari Sma Islam Sampai Islamic State Universitas (UIN) Atau Mulai Dari Perguruan Tinggi Islam Indonesia (UII) Hingga Perguruan tinggi Swasta Islam Lainnya Seperti Muhammadiyah Universitas Malang (UMM), Darul ULUM Universitas OFLOMBANG (UNDAR), Dan Lain-Lain. 

Kata Kunci: Historis, Pemikiran, Pesantren, Pendidikan Islam

Pendahuluan 

Pendidikan merupakan salah satu investasi yang sangat berharga bagi masyarakat. Pendidikan yang dapat menjanjikan terhadap masyarakat berarti pendidikan yang dapat mengantarkan perubahan yang sangat berarti dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya, perubahan model pendidikan yang beraneka,ragam dalam mewujudkan urgensinya tidak dapat dilepas, pisahkan dengan tuntutan situasi dan kondisi masyarakat yang dimaksud (ThibaqahuLiMuqtadhal Maqami) (Al,Akhdhari, tt.: 11). rosesi perkembangan pendidikan di tengah masyarakat ternyata seringkali terjadi kehilangan ruh al,Tarbiyah,nya, artinya, di sini ada keter, kaitan dengan pengembangan Tarbiyah Islamiyah (Al,Hijazy, 2001: 77). 

Tarbiyah Islamiyah dapat bergairah lagi dengan ruh al,Tarbiyah,nya, dengan memahami konsep Tarbiyah Islamiyah secara integrative dan komprehenship terdapat dua hal yang sangat urgen. Pertama, Tarbiyah yang berkaitan dengan murabbi, yakni sebuah Tarbiyah yang dilakukan murabbi terhadap ilmu,nya, agar ilmu tersebut dapatsempumadan menyatu dalam dirinya. Kedua, Tarbiyah yang berkaitan dengan orang lain, yakni, kerja Tarbiyah yang dilaku,kan murabbi dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dimiliki,nya. Akhirnya, berbagai usaha semangat untuk mengedepankan pendidikan terhadap masyarakat dibanding lain,nya tidak jarang terabaikan. 

Proble,matika internal pendidikan masyarakat yang sangat komprehenship perlu mendapatkan perhatian dan solusi terbaik, lebih,lebih masyarakat yang belumdapatmenikmatilayaknyapendidikanformal (Al,Hijazy, 2001: 85).Bertolakdari asumsidasardiatas,setidaknyadapatmelahirkanbasil eksplorasi intelektual dikalangan kaum pemikir, ulama dan cendikiawan terhadap dinamika pendidikan Islam pada masa klasik dan kontemporer di seputar kawasan Indonesia dewasa ini. Kegelisahan Intelektual terhadap Pendidikan Islam Berangkat dari problematika pendidikan secara umum di Indonesia dewasa ini dapat dijelaskan oleh Yahya muhaimin sebagai berikut: 

1) masih rendahnya pemerataan pendidikan; 

2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 

3) masih lemahnya managemen pendidikan (Muhaimin: 2001: 29). 

Lebihjelas pula, A. Malik Fajar menandaskan sebagai berikut: 

a) stigma keterpurukan bangsa; 

b) eskalasi konflik; 

c) krisis moral dan etika; d) pudar, nya identitas bangsa (Fajar, 2004: 7). Namun demikian, ia lebihmenekan, kankondisiriilbangsaketikakitamenginginkan berbagairancangandalam mewujudkan pengembangan pendidilcan Islam untuk upaya merespon tun, tutan global di negeriini.

 Dari faktor lain, secara internal dalam pendidikan sendiri terdapat pula berbagai problem di tengah realitas masyarakat, di antarannya ada:lah (Sunyoto, 2006: 2). Pertama, Problem pendidikan sejak sistem kolonial Belanda masuk ke,Indonesia secara tidak sadar membangun "mitos" (harapan kosong tidak tentu arah) pada kesuksesan. 

Pemahaman yang menyesatkan banyak kalang, an bahwa proses untuk menuju "perubahan clan kemajuan" yang berujung pada status social, hams lewat pendidikan secara formal. Padahal realitas logika di atas, sebagaimana berbenturan dengan realitas pengangguran yang semakin "menyampah". Janji *dan jaminan bahwa lembaga pendidikan menghasilkan orang sukses, praktis hanya diperuntukkan pada kelompok mereka yang berduit dan para bangsawan dalam lingkar elit kolusi dan nepotisme. Sekolah sudah gagal membentuk manusia yang berdikari clan berkarakter serta berkepribadian luhurclantawakkal.

Kedua, Problem pendidikan secara internal sebagai komoditas bisnis memenuhi berbagai tuntutan pragmatis, mengesampingkan pembentukan karakter perjuangan clan keberpihakan terhadap problem social. Paradigma pendidikan digiring untuk memenuhi koata industri dan pasar. Ketiga, Problem pendidikan sebagai instrumet (apparatus) kekuasaan * negara, sehingga tidak mempunyai independensi dalam menentukan arah dalam mengawal proses perubahan social. Keempat, Problem pendidikan sebagai proses perpanjangan tangan dari sistem kapitalisasi dunia Barat. Konsekwensinya sistem clan materi yang diajarkan hanyalah mengarahkan pada proses sekulerisme. Akibatnya agama dan sistem nilai spritual sudah tidak layak diajarkan, kalau perlu dianggap tidakrasional,karenatidakmampumemenuhi kebutuhanindustridanpasar. Kelima, Kemuncu1an model pendidikan non formal mulai dijadikan ajang bisnis komersil dengan biaya tinggi mengumbar janji, sehingga ke, hadirannya hanya sebagai candu untuk menampung alumni frustasi.Be, rangkatdarisignifikansiberbagai problematikadiatas,perlukiranyapenulis mendiskripsikan

"DinamikaPendidikanIslam diIndonesia(dariTradisional Menuju Kontemporer).

Pembahasan 

Pesantren;Historis dan Fakta Memahami realitas "pesantren'' secara tidak langsung kita harus me, nengok latar belakang historisnya. Ada: pandangan yang menarik bahwa "pesantren" telah ada sebelum masa Islam. Pemyataan tersebut dilontarkan Azyumardi Azra sebagai berikut; "Sebagai lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar sosio- historis yang sangat kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya, dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan. Kalau kita menerima spekulasi bahwa "pesantren" telah ada sebelum masa Islam, maka.sangat boleh jadi ia merupakan satusatunya lembaga pendidikan dan keilmuan di luar istana. Dan jika ini benar, berarti pesantren merupakan semacam lembaga "counter culture" (budaya tandingan) ter- hadap budaya keilmuan yang dimonopoli kalangan istana dan elit Brahmana" (Azra, 1998: 87).

 Pemyataan di atas, dapatpuladianggapbenarclanrelevanbilamana kita melihatnya dalan konteks masyarakat pribumi (tanahJawa). Karena masyarakat Jawa secara riil pada saat itu yang ada hanyalahagamamayoritas Syiwa,Budha. Dari sisi lain adalah betapa sulitnya proses islamisasi di tanahJawa itu penjelasan ini juga ditegaskanAgus Sunyoto sebagai berikut: "Catatan historiografi Jawa ini menunjukkan betapa sulitnya proses islamisasi di Jawa. 

Namun seiring kehadiran penduduk muslim Cina dan Campa pada abad ke-15, gelombang islamisasi sangat cepat. Salah satu proses islamisasi adalah melalui asimilasi budaya dan pengambil-alihan lembaga pendidikan Syiwa-Budha yang disebut Asrama dan Dukuh menjadi pondok pesantren. Hal itu memungkinkan terjadi, karena nilai- nilai yang dianut di lembaga pendidikan Syiwa-Budha memiliki kemiripan dengan ajaran Islam" (Sunyoto, 2006: 2). Sebagai penegasan kembali ''.Asrama clan Dukuh" milik lembaga pendidikan Syiwa, budha yang memiliki "kemiripan'' dengan ajaran Islam itu temyata sangat relevan dengan "kemungkinan keunikan spekulatif" Azra bahwa, "pesantren" telah ada sejak sebelum Islam dalam konteks masya, rakyat Jawa sebagai akibat pengambil,alihan lembaga pendidikan Syiwa, BudhayangdinamakanAsramaclanDukuh menjadi "pondok pesantren".

 Kemiripan nilai,nilai Syiwa,Budha dengan ajaran Islam dapat pula diring kaskan dalam4 hal.Pertama, Ghurubhakti adalah berisi tata tertip, sikap hormat clan sujud bakti yang wajib dilakukan siswa terhadap guru ruhani, nya. Kedua, Yamabrata adalah aturan yang mengatur pengendalian diri, yaitu; memiliki prinsip hidup yang disebut chimsa (tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak membunuh), menjahuisifat kroda (marah),moha (gelap pikiran), mana (angkaramurka), mada (takabbur), matsarya (iri, dengki). Ketiga, Niyabarata adalah memiliki tingkat yang lebih jauh, sebagai contoh Niyabrata tidak saja melarang wiku marah tetapi sudah pada tingkat wiku tidak marah (Akroda). Keempat, Awaharaghawa adalah bagian Niyabrata yang bermakna tidak berlebihan, memahami dalamkonsep jawa (orangoyo lanorangogso), tidak berlebihan(tidakmakanjikatidaklapar,makanpuntidakbolehkenyang), memakan makan suci, membatasi makanan daging (boghasarwangsa), ber, syukurmakananyangdimakan (santosa), tidakrakus(wuhuksah),tidakmalas menjalankan kewajiban (apramada) danlain,lain (Sunyoto, 2006: 47).

Proses perkembangan selanjutnya, pada akhir era Majapahit bahwa pesantren,pesantten telah bertumbuhkembang danmendapat pengakuan di tengah realitas masyarakat. Setidaknya ada 3 pokok fungsi pesantren:

 1) Transmisi ilmu pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge); 

2) Pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition); 

3) Pembinaan calon,calon ulama (reproduction of ulama); (Azra, 1998: 89). 

Namun, fungsi pesantreil ada dua hal. Pertama, sebagai lembaga pendidikan, pesantren me, nyelenggarakan pendidikanf ormal (madrasah, sekolah uinum, dariperguru, an tinggi), clan pendidikan non formal yang secara khusus mengejarkan agama yang sangat kuat dipengeruhi oleh pikiran,pikiran oleh ulamafikih, *. hadis, tafsir, tauhid, dan tasawuf yang hidup antara abad ke,7, 13 M. Kitab, kitab yang dipelajarinya ineliputi tauhid, tafsir, hadis, fikih, usulfikih, tasawuf, bahasa Arab (nahwu,* saraf, balaghoh, dan tajwid), mantic, dan akhlak. Kedua, sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa membeda,bedakan tingkat social ekonomi orang, tuanya. Biaya hidup di pesantren realitif lebih murah daripada belajar di luar pesantem (Mastuhu, 1994:59,60).Adalah menjadi kenyataan bahwa"pesantren" menjadi sorotan publik terutama. para tokoh masyarakat, yang senantiasa menginginkan anak, anaknya mempunyai kepedulian belajar ke pesantren clan mengalami proses belajar maksimal, sehingga pada akhimya mereka mendapatkan kesuksesan di masyarakat.

 Fenomena ini dapat digambarkan sebagaimana para putra raja, bupati, nayakapraja, saudagar, pujangga, petani, nelayan, clan perajin. Berangkat dari pesantren,pesantren inilah temyata mampu melahirkan tokoh,tokoh termasyhur di tengah masyarakat sebagaimana halnya, R. Parah, sultan Trenggono, Sultan Adiwijaya, sultan Agung, PatihJagul muda, Pangeran Kajoran, para sultan Yogjakarta, raja,raja Surakarta, raja,raja Mangkunegaran, para sultan Ceribon, pujangga Yosodipura, pangeran Diponegoro, Filosof Ronggowarsito. Karya,karya besar di bidang hukum seperti, Aiigger Surya Ngalam (KUHP Demak),Jagul Muda (KUHP Pajang), Angger Pradata Dalam clan Angger Arubiru (KUHP Mataram). 

Di samping itu, lahir pula karya,karya besar di bidang pemerintahan seperti, Serat Nitip raja, *serat nitisruti, Serat Tripama, Serat Wulangreh, bahkan karya,karya filsafat clan metafisika seperti, Sastra Gending, SeratJatimurti, Suluk Wujil, Wirit Hidayat Jati, Serat Kalatidha (Sunyoto, 2006: 3,4). Semua nama yang tennaktub merupakan hasil lulusan yang berkualitas semenjak ke,bangkitan kesultanan Demak s*aat itu (Arifin, 1993: 81). Sesungguhnya-siapa yang pertama kali memproklamirkan secara legal, formal "pendirian pesantren'' itu? Sebagaian ahli sejarah telah menjelaskan bahwatemyata ada perbedaan (khilafiyah)tentang "pendirianpesantren" di kalangan pelaku sejarah. Pertama, pendiri pertama pesantren di Jawa adalah Syaikh Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal dengan sebutan Syaikh Maghribi dari Gujarat India. Kedua, menurut Muh. Said clanJanimar Affan bahwa pesantren didirikan pertama oleh mbah Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Kembang Kuning Surabaya Jawa Tunur.

 Ketiga, menurut KH. Mahrus Aly bahwa di samping mbah Sunan Ampel pendiri pertama pesan, tren, ada pula yang beranggapan Sunan Gunung Jati di Ceribon sebagai pendiri pesantren pertama (Qomar, 2005: 8,9). Polarisai pendapat di atas, sangat memungkinkan bahwa Syaikh maghribi merupakan peletak dasar clan sendi,sendi pertama pesantren, sedangkan mbah Sunan Ampel sebagai penerus yang mengimplementasikan pembinaan pertama di Jawa Timur, Sementara Sunan Gunung Jati meneruskan jejak langkah senior sebelumnya yang juga mendirikan pesantren di JawaBarat. 1. Pesantren; Madrasah dan Perkembangannya Pendidikan di era Majapahit masih memiliki sistem pendidikan- (madrasah) yangsangatsederhanaclantradisionalapaadanya.

Namunlebih menarik lagi, ketika eraMataram "pesantren" sudahmenjadi lembaga pendidikan yang formal. Pola tatanan atau sistem pengembangannya sudah terdapat klasifikasi yang sudah dianggap mapan clan dapat digamb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun