Masih ingat dengan kasus Jouska yang baru-baru ini heboh di media sosial? Perusahaan jasa Perencana Keuangan (Financial Planner) ini dilaporkan telah merugikan banyak kliennya dengan  melakukan kegiatan usaha investasi tanpa mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Padahal, izin usaha yang dimiliki oleh Jouska adalah sebagai kegiatan jasa pendidikan lainnya.Â
Tentu saja kegiatan pengelolaan dan penempatan dana klien ini telah melanggar fungsi Jouska sebagai perencana keuangan yang salah satu tugasnya memberikan nasihat dan saran terkait rencana keuangan. Akhirnya, OJK memblokir segala kegiatan usaha Jouska terkait manajemen investasi tanpa izin.
Sebelum diblokir OJK, akun Jouska sangat digandrungi kaum milenial di media sosial. Pasalnya, postingan-postingan Jouska sangat mengedukasi dan menggugah pengikutnya melek literasi finansial.Â
Informasi-informasi yang diunggah sangat relevan dengan kondisi generasi milenial, dengan bahasa sederhana dan tambahan visualisasi yang semakin mempermudah pengikutnya memahami informasi tersebut. Tapi sangat disayangkan ternyata ada kepentingan lain dibalik itu semua. Klien-klien Jouska yang dirugikan ini sebagian besarnya adalah kaum milenial.
Baru-baru ini, Satgas Waspada Investasi OJK juga mengumumkan telah menghentikan kegiatan 694 fintech peer to peer lending (P2P) tanpa izin OJK pada semester I tahun 2020. Maraknya perusahaan fintek ilegal ini telah merugikan banyak masyarakat.
Bunga yang tinggi serta tenor yang singkat membuat banyak nasabah tidak mampu membayar pinjaman sehingga berujung pada gagal bayar. Ketika gagal bayar maka keamanan data nasabah yang menjadi taruhannya.
Menurut data dari laman resmi OJK, sebesar 70,28% pengguna Financial Technologi berusia 19-34 tahun. Artinya, pengguna fintek sebagian besarnya adalah kaum milenial. Bisa dibayangkan berapa banyak generasi muda yang menjadi korban rentenir berbasis fintek ilegal ini.
Kedua kasus diatas menjadi bukti rendahnya literasi finansial masyarakat Indonesia khususnya kaum milenial. Pertama, masih banyak masyarakat khususnya milenial yang belum bisa membedakan perencana keuangan dan manajemen investasi.Â
Padahal keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Perencana keuangan berfungsi sebagai penasihat terkait rencana keuangan sedangkan manajemen investasi sebagai pengelola dana masyarakat melalui rekening dana investor.
Kedua, masih banyak juga generasi milenial yang asal dalam menggunakan produk keuangan tanpa memperhatikan legalitas perusahaan keuangan dan tanpa mempertimbangkan resikonya. Literasi finansial yang rendah ini membuat generasi milenial tak mampu mengelola keuangannya dengan baik. Kemudian, milenial tidak mampu memahami manfaat serta resiko dari produk dan jasa keuangan yang digunakannya.
Saat ini Indonesia sedang mengalami bonus demografi, dimana penduduk usia produktif berada lebih dari dua pertiga jumlah penduduk keseluruhan. Berdasarkan data dari Indonesia Millenial Report tahun 2020, populasi penduduk produktif sebesar 67% dari total populasi penduduk Indonesia. Sekitar 35% dari angka usia produktif tersebut merupakan generasi milenial. Gambaran ini menunjukkan, generasi milenial mempunyai peranan penting dalam pembangunan Indonesia.
Perilaku milenial yang menyukai hal-hal instan dan mudah membuat milenial tak berpikir kritis dalam mengambil keputusan, terutama dalam hal finansial. Keinginan untuk cepat kaya dan sukses di usia muda tanpa literasi finansial yang mumpuni membuat banyak milenial terjerumus dalam perilaku keuangan yang buruk, salah satunya terjebak investasi bodong.
Sebenarnya, apa sih literasi finansial itu? Literasi finansial merupakan pemahaman yang komprehensif serta mendalam tentang pengelolaan keuangan personal sehingga mempengaruhi keputusan keuangan yang diambil. Komprehensif artinya wawasan luas dan dapat dipahami dengan baik dan menyeluruh. Artinya pemahaman keuangannya gak boleh setengah-setengah, harus detail dan menyeluruh.
Bagaimana cara agar milenial melek finansial?
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan literasi finansial masyarakat Indonesia. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan meluncurkan program AKSIMUDA untuk mengedukasi generasi muda terkait literasi finansial.Â
Beberapa program AKSIMUDA adalah aksi menabung, investasi melalui Simpanan Mahasiswa dan Pemuda (Simuda), dan lain-lain. OJK juga gencar roadshow ke kampus-kampus untuk memberikan sosialisasi dan pemahaman keuangan kepada mahasiswa.
Akan tetapi, program ini masih bersifat insidental dan belum mampu menjangkau seluruh milenial yang tersebar di Indonesia. Maka diperlukan kurikulum pendidikan keuangan yang komprehensif agar masyarakat Indonesia dapat terliterasi dengan baik. Pendidikan keuangan ini dapat dimulai sejak dini dan dimasukkan ke kurikulum sekolah untuk hasil yang maksimal.
Namun, dibutuhkan juga kerjasama kita semua agar generasi milenial melek literasi finansial. Apa yang bisa kita lakukan?
- Pertama, kita harus rajin membaca. Tak dapat dipungkiri, literasi tanpa membaca sama dengan omong kosong. Di era digitalisasi informasi ini kita bisa mengakses berbagai informasi ekonomi dari website dan sosial media. Tapi, bacanya harus dari sumber yang terpercaya ya. Kita juga bisa mengikuti seminar atau webinar ekonomi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau lembaga keuangan lainnya untuk meningkatkan pemahaman keuangan kita.
- Kedua, berpikir kritis. Sebelum memutuskan menggunakan produk keuangan atau berinvestasi kita harus memahami apa kebutuhan dan tujuan keuangan kita sehingga kita bisa menggunakan produk atau investasi yang sesuai kebutuhan. Jangan gampang tergoda dengan return yang tinggi tanpa memperhatikan resikonya.
- Ketiga, rajin reshare informasi yang kita baca ke sosial media agar teman-teman kita yang lain bisa membacanya.
Hal sederhana diatas dapat membantu diri sendiri dan generasi milenial di sekitar kita terliterasi. Kalau kita bekerja sama bayangkan berapa banyak generasi milenial di seluruh Indonesia menjadi  melek literasi finansial.
Generasi milenial yang melek literasi finansial akan turut membantu pembangunan Indonesia salah satunya dengan ikut serta dalam Creative Financing yang dilakukan pemerintah. Creative Financing adalah cara menghasilkan dana pembangunan dengan memanfaatkan sumber pendanaan baru diluar utang, salah satunya investasi.
Beberapa tahun belakangan, Indonesia mulai menerbitkan  Surat Berharga Negara (SBN) sebagai cara untuk membiayai pembangunan nasional. Akhir Agustus 2020 kemarin, pemerintah meluncurkan surat berharga syariah untuk ritel yaitu Sukuk Ritel seri SR013. Investasi berbasis syariah ini digunakan untuk membiayai pembangunan nasional yang dananya berasal dari masyarakat.Â
Untuk kita generasi milenial, bisa mencoba berinvestasi ke instrumen ini karena resikonya yang rendah (low risk) juga sebagai bentuk kontribusi kita terhadap pembangunan negeri. Karena ini untuk kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H